Setelah kita sejenak mengarungi kehidupan, mungkin tak sekali terbesit pertanyaan dalam hati; Untuk apa Allah menciptakan kita, padahal Dialah Dzat yang maha kaya dan tidak membutuhkan apapun? bukankah menciptakan makhluk seperti kita ini merupakan kesia-siaan? ternyata 14 abad yang lalu, jauh sebelum kita bertanya-tanya Allah telah memberikan jawaban dalam Al-Qur’an melalui Rasulullah shallallah a’laihi wasallam.
قال الله تعالى: أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ
“Maka apakah kamu mengira, sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Ayat di atas menjawab bahwa Allah tak menciptakan kita sia-sia, dalam arti tanpa ada hikmah yang Allah. Dalam ayat lain Allah secara jelas menyebutkan hikmah penciptaan kita; bangsa manusia dan jin.
قال الله تعالى: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mengabdi kepada-ku”
Setelah kita menelisik dan membaca dua ayat di atas, maka sudah bisa dimengerti bahwa kita diciptakan Allah bukan sebuah kesia-siaan, namun agar kita menyembah Allah, taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya.
Kemudian, bagaimana cara kita menyembah Allah? jawabannya adalah dengan ilmu syari’at, ilmu agama yang Allah ridhai yaitu Al-Islam. Bukankah jika kita Bertani, maka kita membutuhkan ilmu pertanian? bukankah jika kita berdagang, maka kita harus mengetahui ilmu perdagangan? begitu juga untuk menyembah Allah, maka kita juga perlu dan bahkan harus mempunyai ilmu, agar apa yang kita lakukan segaris dan sejalan dengan apa yang Allah wahyukan kepada baginda Rasulullah shallallah a’laihi wasallam.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari sahabat Abdullah bin Umar :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما عبد الله بشيء أفضل من فقه في الدين
“Rasulullah bersabda: ‘tidaklah Allah disembah dengan suatu apapun yang lebih utama dari faham dalam agama’.”
Secara garis besar kita diciptakan untuk ibadah dan ilmu merupakan penuntun kita untuk beribadah kepada Allah, dan keduanya merupakan satu bingkai, satu kesatuan yang terus beriring. Ilmu untuk diamalkan dan amal harus menggunakan ilmu dan bahkan suatu amal tidak akan diterima jika didasari oleh kebodohan.
Dalam kitab Risalah Mu’awanah karya Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad ada sebuah kisah yang diceritakan oleh As-Syekh Muhammad bin A’rabi: ada seorang ahli ibadah dari daerah Magrib, dia membeli keledai betina yang tak pernah digunakan olehnya (hanya di kandang). Suatu Ketika ada seseorang bertanya mengenai sebab mengapa dia tidak menggunakan keledai tersebut. Ahli ibadah itu menjawab: aku tidak memelihara keledai ini melainkan untuk menjaga kemaluanku (aku setubuhi). Kemudian ahli ibadah tersebut diberitahu bahwa mengawini hewan itu haram lantas dia menangis sejadi-jadi. Menyimak kisah tersebut kita bisa mengetahui betapa pentingnya ilmu dan betapa bahayanya kebodohan.
Kemudian, sebagai kesatuan yang terus beriring, maka ilmu yang wajib juga harus diamalkan. Ada sebuah ungkapan: “ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah“. Lalu apa artinya pohon yang dinanti buahnya namun malah tak berbuah? tak ada artinya. Bahkan orang yang mempunyai ilmu namun tidak mengamalkannya mendapat ancaman dari Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam:
إن أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لم ينفعه علمه. رواه الطبراني
“Orang yang paling pedih siksaannya di hari kiamat ialah orang alim yang tidak manfaat ilmunya”
Dua hal tersebut telah disinggung oleh imam Ahmad bin Ruslan dalam Nadzam Zubad :
وكل من بغير علم يعمل۞أعماله مردودة لا تقبل
فعالم بعلمه لم يعملن۞معذب من قبل عباد الوثن
“Orang yang beramal tanpa ilmu, maka amal-amalnya tertolak, tidak akan diterima”
“Orang berilmu yang tidak beramal dengan ilmunya, maka akan disiksa sebelum para penyembah berhala”
Semoga kita selalu dalam lindungan Allah dan diberi taufiq mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari. Wallahu a’lam. []
Sumber rujukan:
Tafsir al-Jalalain, Kitab Ghayatul Bayan bi syarhi zubad ibnu Ruslan dan Risalah Mu’awanah wal Mudzaharah.