Salah satu ijtihad Umar ibn Khattāb yang sering disalahpahami adalah kebijakan khalifah Umar Ibn Khattāb untuk tidak membagi-bagikan harta rampasan perang berupa tanah di Irak dan di Mesir.
Kebijakan (ijtihād) Umar ibn Khattāb terhadap tanah-tanah tersebut dibiarkan kepada pemiliknya untuk dikelola dan kemudian mereka dibebankan membayar pajak kepada negara sebagai pemasukan untuk baitul māl.
Sebagian kalangan mengklaim bahwa kebijakan (ijtihād) tersebut berpijak pada dalil maslahat an-sich. Hal tersebut karena dalam teks al-Qur’an disebutkan bahwa harta rampasan perang (al-ghanīmah) harus dibagi menjadi lima bagian (al-khumus) kemudian diberikan kepada para pihak yang berhak, termasuk bala tentara perang.
Pada konteks inilah, kemudian Umar ibn Khattāb diklaim sebagai khalifah yang pemikirannya progresif dan berani “melampaui” teks- teks keagamaan berupa al-Qur’an, khususnya QS. Al-Anfāl: 41 dan QS al-Hasyar: 7-9.
Benarkah ijtihad Umar ibn Khattāb “bertentangan” dengan teks al-Qur’an? Atau, dengan kata lain benarkah Umar ibn Khattāb hanya berpijak pada dalil maslahat an-sich dan berpaling dari ketentuan teks al-Qur’an dalam masalah ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebelumnya perlu diketahui bahwa ijtihad Umar ibn Khattāb ini sejalan dengan pendapat jumhūr ulama fikih (Hanafiyah, Mālikiyah dan Hanābilah). Hanya mazhab Syāfi’iyah yang berbeda pendapat dari kalangan mazāhib al-arba’ah dalam masalah ini.
Selain itu, ijtihad Umar ibn Khattāb dalam masalah ini sama sekali tidak kontradiktif dengan ketentuan teks-teks al-Qur’an. Sebaliknya, Umar ibn Khattāb memahami sejumlah teks-teks tersebut secara komprehensif dan kontekstual.
Al-Būtī telah menguraikan dengan gamblang terkait masalah ini dalam bukunya “Dhawābit al-Maslahah fi al-Syarī’ah al-Islāmiyah” (hlm. 172-175). Penjelasannya begini:
Jika ditelusuri secara seksama, ayat-ayat yang membahas tentang hukum harta rampasan perang ini dapat dikategorikan menjadi dua bagian.
Pertama, QS al-Anfāl: 41 yang secara tekstual ayat ini bersifat umum (al-āyah al-‘āmmah) berlaku untuk harta rampasan perang berupa harta bergerak dan harta tidak bergerak (tanah). Allah berfirman: “wa i’lamū annamā ghanimtum min syai’in…”. Redaksi “min syai’in” menunjukkan lafaz umum tersebut.
Kedua, QS al Hasyar: 7-9 yang secara ekplisit berbicara tentang harta rampasan perang yang juga bersifat umum. Redaksi “mā afāa Allāhu ala rasūlihi min ahl al-qurā…” menujukkan bahwa “mā” di sini juga berlaku umum untuk harta rampasan yang bergerak ataupun tidak seperti tanah.
Akan tetapi, dalam QS al-Hasyar: 10 disebutkan bahwa yang berhak atas harta rampasan perang (al-fai) itu tidak hanya untuk pasukan perang, tetapi generasi muslim berikutnya juga memiliki hak yang sama dalam menerima manfaatnya berdasarkan adanya wāwu athaf (kata sambung) sebagaimana dalam firman-Nya: wa al-ladzīna jā ū min ba’dihim...” (dan orang-orang yang datang setelah mereka).
Konteks ayat tersebut, masih memiliki hubungan erat dan kedudukan yang sama dengan penerima manfaat (mustahiqqīn) atas harta rampasan perang yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, yakni QS. al-Hasyar: 7-9.
Oleh karena itu, agar harta rampasan perang tersebut tetap produktif dan berkelanjutan manfaatnya, maka tidak ada cara lain, kecuali dengan tidak membagi-bagikan harta tersebut kepada para mustahiqqīn yang ada saat itu, tetapi dikembangkan dan dikelola secara produktif untuk keberlanjutan manfaatnya bagi generasi muslim berikutnya.
Dan, perlu diketahui bahwa harta rampasan perang yang berpotensi dikembangkan secara produktif hanyalah harta yang tidak bergerak berupa tanah (al-iqār). Karena itu, dari sini, maka harta rampasan perang yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak seperti tanah, harus diperlakukan secara berbeda.
Dengan demikian, yang dimaksud harta rampasan perang dalam QS al-Hasyar: 7-10 di sini adalah khusus harta yang tidak bergerak (tanah). Sementara di pihak lain, QS al-Anfāl: 41 bersifat umum berlaku harta yang bergerak ataupun tidak.
Oleh karena itu, kekhususan QS. al-Hasyar ayat 7-10 untuk harta rampasan perang yang tidak bergerak (tanah) dapat digunakan untuk memahami maksud kandungan QS al-Anfāl: 41 melalui metode “takhsīs umūm āyat al-Anfāl bi khusūs āyat al-Hasyar” (mengkhususkan maksud keumuman ayat di Surah al-Anfal dengan berdasarkan kekhususan maksud yang terkandung dalam Surah al-Hasyar).
Dari sini, maka pemahaman (ijtihād) Umar ibn Khattāb dan jumhūr fukaha adalah berdasarkan pada penalaran bayānī terhadap teks-teks terkait secara sinergis (manhaj al-taufīq). Bukan merupakan ijtihad yang hanya didasarkan pada penalaran maslahat an-sich (mujarrad al-maslahah).
Selain itu, ijtihad Umar ibn Khattāb bukan berarti termasuk ijtihad yang melampaui teks, karena sejatinya pembacaan Umar ibn Khattāb terhadap teks-teks al-Qur’an dilakukan secara komprehensif dengan mensinergikan ayat satu dengan yang lainnya.
Bertolak dari uraian di atas, maka klaim bahwa Umar ibn Khattāb melampaui teks dan beralih kepada maslahat an-sich untuk menjustifikasi kesimpulan bahwa ” jika terjadi kontradiksi antara teks dan maslahat, maka maslahat yang harus dimenangkan” adalah tidaklah tepat.
Hal ini karena dasar ijtihad Umar ibn Khattāb justru sebaliknya, beliau sangat berpegang teguh pada kandungan teks-teks al-Qur’an terkait hukum harta rampasan perang secara komprehensif melalui penalaran bayānī yang canggih dan teliti (daqīq), bukan penalaran yang parsial dan dangkal (sathī).
Meskipun sekali lagi, tidak bisa dinafikan bahwa pembacaan teks QS al-Anfāl: 41 dan QS al-Hasyar: 7-10 secara sinergis semacam ini melahirkan sebuah kemaslahatan, yakni tercapainya keadilan dan pemerataan distribusi kemanfaatan harta rampasan perang yang lebih luas dan berkelanjutan.
Dengan analisis semacam ini, teks al-Quran dan maslahat dalam hal ini tidak saling kontradiktif. Karena maslahat di sini dilahirkan oleh penalaran bayānī yang kreatif dan komprehensif. Demikian halnya, ijtihad Umar ibn Khattāb juga tidak dapat dikatakan bertentangan dengan teks al-Qur’an, khususnya QS al-Anfāl: 41 dan QS al-Hasyar: 7-10.
Akhirnya, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ijtihad Umar ibn Khattāb jelas tidak mengabaikan teks al-Qur’an dan beralih kepada dalil maslahat an-sich sebagai pijakan ijtihadnya.[IZ]
Wallāhu a’lam.
[…] konteks inilah, logika ijtihad Umar ibn Khattāb dapat dipahami. Dengan model pemahaman semacam ini, kemaslahatan publik dapat terejawantah berupa […]