Belakangan, term “halal” begitu trending dan banyak dibicarakan di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bahkan muslim dunia. Namun, jangan kaget seringkali term“halal” ini bukannya banyak diperbincangkan dalam rangka memenuhi pemenuhan syari’at Islam sebagaimana mestinya, akan tetapi pemenuhan kebutuhan pasar yang dapat meningkatkan nilai jual suatu produk ataupun jasa. Tak tanggung-tanggung, pelabelan halal ini, tidak hanya digunakan untuk produk makanan, obat-obatan dan kosmetik saja, bahkan kini elektronik pun ikut-ikutan dilabeli halal juga.

Tak bisa dipungkiri, adanya label halal dalam suatu produk memang dapat mempengaruhi para calon pembeli (konsumen) dalam memutuskan membeli suatu produk. Adanya label halal tersebut dapat membuat para calon pembeli (konsumen) lebih yakin akan keamanan, kehalalan dan ke”thayyib”an  suatu produk tertentu. Kehalalan produk merupakan salah satu parameter penting ketika seorang konsumen memutuskan untuk membeli atau tidak membeli produk tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Qurroh Ayuniyyah dari International Islamic University Malaysia, menyatakan bahwa sertifikat halal suatu produk merupakan suatu faktor penting yang menentukan para pembeli memutuskan untuk membeli suatu produk atau tidak.

Halal berasal dari term arab yang berarti  “diperbolehkan”  dan “sah menurut hukum”, halal memiliki makna segala sesuatu dan aktifitas yang diperbolehkan oleh syari’at. Landasan hukum produk halal ini salah satunya berasal dari Q.S. Al-Baqarah: 168 yang berbunyi

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, menjadi salah satu pelopor dalam sertifikasi produk halal yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan membentuk lembaga pemeriksa halalnya yaitu Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) pada tahun 1989 sebagai pihak yang menerbitkan sertifikat halal. Dan yang paling terbaru adalah telah disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH). Halal life style ini semakin merambah ke berbagai sektor selain pangan, obat-obatan dan kosmetik, namun juga pada sektor pembangunan dan wisata, dengan makin maraknya pembangunan perumahan-perumahan khusus muslim dan pengembangan halal tourism atau wisata halal.

Baca Juga:  Pergeseran makna Halal bi Halal (Mengurai Kata Halal)

Label “halal” yang melekat pada berbagai produk dan jasa seringkali ditawarkan kepada masyarakat hanya sebagai “pemanis” agar produk dan jasa yang mereka tawarkan laris manis di pasaran. Dengan dalih label “halal” yang mereka tawarkan, mereka mengklaim produk mereka lebih syar’i dan aman sehingga layak jual dibandingkan dengan produk lain sejenis yang tidak berlabel halal. Selain itu, para produsen seringkali menaikkan harga produk karena telah bersertifikat halal, karena produsen menanggung biaya untuk mendapatkan sertifikat halal tersebut.

Halal life style yang semakin marak di kalangan masyarakat, membuat mindset  masyarakat menganggap bahwa segala seuatu HARUS berlabel halal, dan segala sesuatu yang berlabel halal itu selalu lebih baik sekalipun sejatinya produk atau jasa itu tak begitu memerlukan label “halal” tersebut. Seperti halnya, produk elektronik, perumahan-perumahan muslim ataupun wisata halal. Dengan adanya perumahan yang khusus untuk penduduk beragama muslim saja, hal ini akan meningkatkan eksklusifitas muslim yang akan menjadikan tingkat toleransi antar umat beragama semakin rendah, karena masyarakat yang beragama muslim hanya akan tinggal bersama sesama muslim saja, tidak dengan yang lain. Tidak semua produk atau jasa yang tidak berlabel halal itu tidak halal atau buruk, karena untuk mendapatkan sertifikat halal dibutuhkan biaya yang cukup besar yang kemungkinan tidak bisa dipenuhi oleh para pelaku usaha kecil menengah, seperti halnya, penjual pecel di persimpangan jalan, penjualan gorengan keliling di kompleks rumah, penjual kopi di warung kopi kampong sebelah, dan lain-lain.

Sebagai muslim kita memang sudah seharusnya berhati-hati dalam memilih makanan yang kita konsumsi dengan memperhatikan kehalalannya, namun niat yang kita miliki harus baik yaitu untuk menjalankan syariat agama Islam, tidak hanya sebagai life style  saja sehingga segala sesuatu harus berlabel halal tanpa memperhatikan unsur-unsur lain yang lebih substansial. Terimakasih. Wallahu a’lam bish shawab.

Luluatul Hamidatu Ulya
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Santri PP. Nurul Ulum Malang dan PP. Sunan Pandanaran Yogyakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri