Haji di Zaman Dulu Sekali, Agak Dulu dan Masa Sekarang

Dulu, dulu sekali, perjalanan haji memerlukan waktu lama sekali. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Para santri pergi haji sekaligus tinggal di tanah suci lama sekali untuk mendalami ilmu agama. Sebagian malah betah tinggal di sana dan menjadi tuan rumah untuk para santri yang datang ke tanah suci, termasuk untuk berkoordinasi membahas perjuangan Indonesia merdeka.

Ada satu peristiwa penting dalam sejarah haji yaitu pembukaan Terusan Suez di Mesir. Kapal-kapal Eropa semakin banyak yang berlalu-lalang, mengambil rempah-rempah dan apa saja yang bisa diperdagangkan, sambil membawa (Jawa: nyangking) jamaah haji.

Haji semakin mudah. Haji hanyalah urusan biaya. Secara bertahap, haji diikuti semakin banyak orang. Gelar Pak Haji dan Bu Haji rupanya juga membuat orang semakin bersemangat berangkat ke Tanah Suci, meskipun dengan menjual tanah warisan.

Dulu bahkan haji diurus oleh satu kementerian tersendiri. Haji juga memberikan keuntungan buat pemerintah. Para pegawai pemerintahan juga bisa dengan mudah bergelar haji (K Zainudin MZ mengenalkan istilah haji abidin yang berangkat haji atas biaya dinas).

Peristiwa yang tidak kalah penting dalam sejarah haji Indonesia adalah “Pak Harto naik haji”. Pemerintah (menjelang keruntuhan simbol komunisme Uni Soviet) semakin mengakrabi umat Islam. Perjalanan haji sang tuan besar ini menandai semakin masifnya orang umum yang berangkat ke Tanah Suci.

Tapi jangan lupa, lebih dari 20 tahun sebelumnya, pemerintah Orde Baru berhasil mengubah persepsi Kementerian Agama (sebagai penyelenggara haji) dari kementeriannya umat Islam menjadi kementerian agama-agama. Ada tahap dimana suatu agama diminta dihayati tidak sebagai satu-satunya jalan kebenaran, tapi hanya salah satu saja. Agama ditarik masuk ke urusan pribadi, pengalaman spiritual.

Pendeknya, haji semakin masuk ke ranah spiritual. Pengalaman spiritual haji (dan umroh tentunya) lebih luar biasa dibanding dengan kesalihan sosial. Orang lebih butuh untuk berhaji meskipun dengan biaya besar (sebagian -maaf- dengan biaya non halal). Calon haji berangkat ke tanah suci dengan meninggalkan tangisan haru dan bangga keluarga besar dan pengiringnya yang masih miskin. Semua ingin berhaji. Pengalaman spiritual haji bisa diceritakan berjam-jam dan diulang-ulang tanpa bosan.

Baca Juga:  Daun yang Tak Gugur

Lalu, kebijakan pemerintah menampung dulu dana haji dan membuat daftar antrian haji tak pelak menjadikan kompetisi haji semakin menjadi-jadi. Dunia perbankan juga membuka tabungan haji. Sebagaimana kurban, orang juga bisa menyicil biaya haji. Para ahli fatwa juga telah punya definisi terbaru tentang istitha’ah atau batas kemampuan sehingga orang wajib haji. Semua berhak haji.

Para biro haji bahkan mengampanyekan begini: Sebagaimana ibadah shalat Jumat yang sunnah bagi ibu-ibu dan musafir, haji juga begitu. Meskipun belum wajib, perjalanan haji sekarang bisa menggugurkan kewajiban haji kelak kalau sudah wajib. Para calon jemaah haji juga sering diingatkan posisi haji sebagai rukun Islam kelima yang penuh dengan pengalaman spiritual.

Pendeknya, cita-cita berhaji semakin merata dan antrian semakin panjang. Sebagian tak sabar, pilih umroh saja toh biayanya hampir sama; pengalaman spiritualnya sama.

Jadi di luar ramai-ramai perbincangan elit soal dana haji yang triliunan itu dan kegalauan biro haji-umroh, kekecewaan pembatalan dua kali haji karena ulah markopid ini perlu dipahami dari sisi itu. Kita sedang membahas haji, bukan siapa menterinya atau pengelola dana hajinya. Wallahu a’lam. []

A Khoirul Anam
Dosen UNUSIA Jakarta dan Redaktur NU Online.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini