Faktanya seseorang pasti punya aturan dan tahap-tahap tertentu untuk bisa melangsungkan kehidupannya di dunia ini. Manusia tidak akan bisa hidup sempurna tanpa memperhatikan tahapan-tahapan tersebut. Demikian halnya juga dengan orang belajar santri (thalib al-ilm) punyak aturan main tersendiri. Baik belajar ilmu yang sifatnya keislaman maupun keduniaan serta ilmu-ilmu lainnya, selalu ada etika dan tata-cara yang harus di ikuti oleh seorang santri ketika belajar.
Syaikh az-Zarnuji misalnya dalam kitab Ta’limul Muta’alim menuliskan syair indah dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, tentang syarat dan etika belajar seorang santri:
الا لا تنال العلم الا بستة سأنبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطباروبلغة وارشاد استاذ وطول زمان
Artinya:“Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu yang berkualitas kecuali dengan memenuhi enam syarat. Aku akan beritahukan semuanya secara terperinci, yaitu kecerdasan, kemauan yang kuat, kesabaran yang tinggi, biaya pendidikan yang cukup, adanya bimbingan guru (patuh pada ustadz), dan waktu yang lama.”
Syahdan, menurut Gus Ulil, ada banyak hal yang berharga didalam ajaran-ajaran ulama Islam, tentang bagaimana kita belajar dan bagaimana kita memperlakukan ilmu. Dalam hal ini, tugas-tugas seorang santri sebelum memasuki dan memulai kegiatan belajar di kelas, yang harus ditanamkan dalam fikirannya supaya belajar lebih efektif terlebih membawa manfaat besar.
Adalah membersihkan hati dan jiwa dari radhail al-akhlaq (sifat buruk). Membersihkan hati, karena konsepsi al-Ghazali tentang seorang yang mencari ilmu adalah “ibadah qalbiyah” (ibadah hati). Artinya, seseorang yang mencari ilmu dia sudah beribadah secara fikiran. Penguasaannya, mensyaratkan receptor (hati) yang jernih dan bebas dari sifat-sifat yang buruk. Karena itu, seringkali kita dengar ungkapan “adab sebelum ilmu”, bahkan di pesantren-pesantren biasanya dianjurkan untuk berwudhu’ terlebih dahulu. Karena belajar adalah kategori ibadah. Sebuah hadits mengatakan:
لا تدخل الملائكة بَيْتَا فيه كلب
Artinya: “Dan tidak akan masuk malaikat kedalam rumah yang didalamnya terdapat anjing”.
Tentang hadits diatas, al-Ghazali memberikan tafsir yang berbeda. Al-Ghazali memberikan makna metaforis (majaz); “rumah” dimaknai dengan “hati” manusia, dan “anjing” sebagai lambang “sifat buruk”. Jelasnya: “Malaikat tidak akan memasuki hati manusia yang didalamnya masih terdapat sifat-sifat yang buruk (radhail al-akhlaq).”
Tak hanya itu, Gus Ulil mengatakan bahwa dalam kitab Misykat al-Anwar, al-Ghazali juga menjelaskan semua ilmu itu bersifat ilahiyah dan berasal dari alam malakuti, kecuali ilmu-ilmu yang tercela seperti, ilmu sihir. Ilmu hanya dapat diserap oleh perangkat halus yang memiliki sifat-sifat ilahiyah, yaitu hati yang suci dan bersih. Malaikat sang pembawa wahyu dan ilmu tidak akan pernah masuk kedalam rumah; hati manusia yang dikotori dengan sifat-sifat buruk seperti, dengki, hasud, dan lainnya.
Sudah jelas, bahwa orang yang dalam hatinya masih ada sifat buruk, maka selamanya malaikat tidak akan pernah memasukinya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, bisa saja dia sukses secara akademis seperti, meraih titel Ph.D misalnya. Tapi, ilmu yang di peroleh bukan dalam kategori ilmu hakiki dan al-jalib as-sa’adah (mendatangkan kebahagiaan), melainkan ilmu yang bisa mendatangkan kecelakaan. Termasuk kecelakaan kita sekarang, dalam bahasa Sayyid Husein Nasr disebut dengan “kesengsaraan manusia modern”, yang bisa menghancurkan alam.
Istilah al-Ghazali untuk orang ini adalah “al-mutarassimun”, yaitu orang yang hanya memahami dan meraih ilmu sebatas (rasm) tulisan saja (belajar hanya dipermukaan saja), tidak dengan memahami ilmu secara hakiki, sehingga ilmu yang di perolehnya tidak tertanam pada “sum-sum” batinnya (akibat kekeringan jiwa dan crisis of meaning dan purpose lantaran di isi dengan wealth, social prestige dan berbagai wordly pursuits yang menjadi tolak ukur kesuksesan dan kebahagiaan era modern ini). Pendek kata, ilmu yang tidak transformatif (tidak bisa merubah dirinya).
Tak hanya itu, al-Ghazali juga mengkategorikan, bahwa orang yang mengerti tindakan-tindakan maksiat yang melanggar akhlak dan etika adalah seperti racun yang membunuh. Orang itu tahu bahwa racun bisa membunuh, tapi masih kokoh untuk meminumnya. Sekali lagi, ini adalah pertanda bahwa ilmunya tidak bisa merubah dirinya dan tidak mendatangkan kebahagiaan.
Alih-alih tak bisa merubah, sambung Gus Ulil, hal inilah yang paling sering bahkan dilupakan oleh pencari ilmu sekarang, terlebih dalam dunia modern yang kecenderungannya materialistik dan redusksionis. Ia memandang segala sesuatu dari jism bisa di indera, didefinisikan, dan dimanipulasi. Bahwa segala yang ada di alam ini bersifat accidental, random, dan purposeless. Bentuk yang bisa bertahan adalah yang paling absolut, yang sesuai untuk kondusi saat ini, tak terkecuali ilmu yang kemudian direduksi hanya sebagai informasi saja tanpa dimasuki nilai-nilai dan dimensi spiritualitas.
Artinya, ilmu pengetahuan saat ini sudah menjadi instrumental; terjadi proses instrumentalisasi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya yang dikatakan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin yaitu mencari ridha Tuhan, melainkan hanya (diperlakukan) sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang sepenuhnya bersifat duniawi saja, pungkas Gus Ulil. Wallahu a’lam bisshawab. []