Siapa sangka judul sebuah cerpen yang sekilas menimbulkan kesan glamouritas, feminitas, ini justru arahnya menyindir empati sosial masyarakat modern dewasa ini. Banyak sekali orang-orang yang terlalu menomor satukan perasaannya sendiri. Ketika sedang sedih seolah dialah manusia ternelangsa sedunia. Ketika bahagia, seolah hanya dia yang paling berjaya sehingga tak mampu mengingat dengan baik orang-orang yang telah berjasa dalam hidupnya.
Dalam cerpen Lipstick dikisahkan perjuangan Ima, istri seorang lelaki desa yang menjelma menjadi ‘orang kaya baru di Ibu Kota’ agar mampu memantaskan penampilannya saat kondangan menyertai suaminya. Namun berkali-kali usaha yang dilakukannya gagal, bahkan bermacam-macam merek lisptick telah ia beli dan tak ada satu pun yang membuat dandananya benar di mata suaminya. Hal ini berhasil membuat Bu Ima dalam puncak putus asa. Dalam puncak keputus asaannya ia justru mengadu pada sahabatnya dari kampung yang miskin dan papa.
Diantara hal yang menarik dalam cerpen ini menurut saya adalah penggunakan lipstik sebagai media pembangun komunikasi penulis dengan pembaca. Dengan ‘lipstick’ penulis pelan-pelan berusaha membawa pembaca masuk dalam ruang privat perempuan, lalu diajaknya pembaca masuk dalam materi ‘ngaji akhlak’ tanpa ada kesan menggurui.
…….Kami bertiga menyaksikan tangan itu lincah menuangkan bakatnya dengan warna lipstick yang beragam, baby pink, shocking pink, deep purple, dan red hot. (Lipstick: 157)
Lipstick itu berubah menjadi benda yang sangat berharga bagi Nuril, anak dari sahabat Bu Ima, Sri. Dari anak dan sahabatnya yang miskin itu Bu Ima mampu menyadari kebahagiaan yang lalai ia syukuri. Tokoh Bu Ima dengan lembut dan apik menyindir para pembaca dalam kalimat terakhirnya, “Setiap aku merutuki hidup, Sri berhasil membuatku menertawakan kecengenganku!”
Hampir semua cerpen dalam Antologi Lipstick ini bernuansa ‘fiksi akhlaki’. Tak kalah menarik cerita pendek yang ditulis Arie Singawidjaya yang menyinggung diksriminasi terhadap etnis Tionghoa. Digambarkan oleh Arie penolakan sepasang orang tua terhadap kekasih putranya karena persoalan rasial. Latar kisah ini adalah peristiwa 14 Mei 1998. Selain mengajak pembaca ‘ngaji akhklak’ penulis juga mengajak pembaca ‘ngaji sejarah’, bahwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa bukan hal yang baru. Kebencian terhadap etnis Tionghoa adalah warisan peninggalan politik Belanda saat itu.
Secara tersirat penulis mengajak pembaca meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. yang santun terhadap semua suku, ras, bahkan terhadap orang-orang yang memusuhinya. Hal senada juga disampaikan oleh Najhaty Sharma dalam ‘Singapore Senja Itu’. Membaca judulnya bayangan pembaca akan langsung tertuju pada patung singa raksasa di Merlion Park Singapore. Sesungguhnya Najhaty ingin menyampaikan wajah dakwah dalam rupa yang lain, dalam kemasan yang seringkali diabaikan oleh sebagian kalangan muslim pesantren tradisional. Ia mengajak pembacanya ‘ngaji akhlak’ dari dua tokohnya Naqiyuddin dan Farhan, bagaimana seorang pendakwah perlu membekali dirinya tak hanya dengan ilmu tapi juga keluasan hati dan kebijaksanaan menerima perbedaan-perbedaan pandangan dalam tradisi dan budaya. Juga dalam cerpen ‘Dua Perempuan Bercadar’ , ‘Gadis Bersegel’, dan masih ada Sembilan atau sepuluh judul lagi yang layak untuk dibaca semua kalangan, mulai dar remaja hingga orang tua.
Meski terdapat beberapa ganjalan-ganjalan terhadap alur cerita, dan beberapa metaphor dalam beberapa cerpen, tapi buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, tidak hanya sebagai sebuah karya fiksi tapi juga sebagai buku yang memuat ajaran akhlak bersosial dan beragama.
Dalam hemat saya menyampaikan kebenaran melalui cerita jauh lebih bisa mengena dan memberi kesan mendalam. Maka tidak heran jika Al-Quran sendiri banyak memberikan nasihat-nasihat kebaikan kepada pemeluk agama islam dengan menggunakan instrumen kisah-kisah. Meski hanya sebuah kisah fiksi, namun cerpen termasuk media yang menarik dan efektif untuk mempengaruhi pola pikir manusia.
Teringat sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Quraisy Syihab ‘Yang Hilang Dari Kita adalah Akhlak’ rasanya kehadiran karya fiksi dengan corak akhlaki, memuat nilai-nilai moral dalam kehidupan beragama dan bersosial seperti antologi cerpen ini, adalah oase di tengah terik cuaca hati dan pola pikir masyarakat kita dewasa ini yang cenderung hedonis, kurang memiliki empati dalam kehidupan bersama, gemar merasa benar sendiri, mudah saling menyalahkan dan antipati terhadap sesama saudara seagamanya sendiri. [HW]