Cinta juga Butuh Alasan

Bukan cinta jika masih penuh tanya dan alasan, karena sejatinya cinta tanpa alasan. “aku mencintaimu tanpa alasan apapun, jika cinta beralasan bukan lah cinta yang haqiqi” celoteh yang terus bergema di telinga kaum hawa, “Sudah jangan tanya perihal alasan dik, aku mencintai mu tanpa karena” Tentu bukan hal yang asing lagi kan? Walau tidak sama persis, paling tidak hampir-hampir mirip.

Atas nama cinta suara yang cempreng, bahkan teramat jelas cemprengnya akan terasa merdu mengalahkan ratu dangdut Indonesia, Elvi Sukaesih ataupun rajanya si Rhoma Irama, karena dasar cinta pula menutupi berbagai kejelekan dan keburukan, yang tersisa akan tampak hanyalah keindahan, “aku bersaksi tiada perempuan yang lebih cantik dari engkau”, bahkan untuk yang lebih sadis “no someone are better than you, you’re best of the best. No body else only you”.

Atau ada juga yang nampak lebih religius nan spirituilana uhibbuka/ki fillah” aku mencintaimu karena Allah. Adem tenan ya ketika mendengar ungkapan ini.

Namun, perlu diakui untuk mencapai hal tersebut tidak semudah ucapan tadi, untuk menuju level ini juga butuh proses panjang. Paling-paling ini cinta yang berbalut nuansa religius yang pastinya tidak menghilangkan unsur-unsur kesubjektifan aspek akal dan seksualitas manusia.

Kalo menilik gagasan Plato sebagai senior filsuf ia membagi cinta menjadi 3 tahapan; pertama, Cinta Jasmaniyah, dalam bahasa Yunani disebut Eros keinginan untuk memiliki dan mencari suatu objek keindahan atau kebajikan demi kesenangan atau kepuasan. pada level ini masih tahap awal atau level mawaddah belum mencapai level mahabbah apalagi rahmah, pada level ini dapat dikonotasikan pada level pacaran atau cinta monyet yang sekedar melihat fisik belaka; kedua, Cinta Persahabatan, dalam bahasa Yunani disebut Philia perasaan cinta yang ditujukan kepada semua orang tanpa terkecuali. Didorong oleh ketulusan hati, semata-mata demi kebahagiaan dan kesenangan orang lain; ketiga, Cinta ketuhanan, dalam bahasa Yunani disebut Agape manifestasi dari adanya karunia tuhan dan ciptaanNya kepada manusia. Sehingga akan muncul seperti ini “Aku mencintaimu bukan karena apa agamamu dan bagaimana fisikmu. Tetapi, aku mencintaimu karena ada ruh Tuhan yang bersemayam dalam dirimu.” Atau persis sama sebagaimana uhibbuka fillah tadi.

Baca Juga:  Satu Ayat, Mencakup Seluruh Pesan dan Laku Agama

Dari pembagian tersebut pun berlandaskan alasan. Sekali lagi “Emang bisa cinta tanpa alasan?” hal ini yang terus menggeranyangi kepala saya dan terus menjadi momok yang sukar dipecahkan. Sampai-sampai saya sempat berpikir “memangnya kita ini Tuhan yang dapat mencintai tanpa perlu alasan dan balasan, terus memberikan nikmat tanpa berpikir akan dapat balasan apa dari mahlukNya, yang terus menyayangi tanpa dikasihi, yang terus memberi tanpa diminta”

Cinta tanpa alasan adalah hal yang mengada-ada, jujur saja saya sendiri bukan tipikal orang yang dapat mencintai tanpa sebab. Apa mungkin ada akibat tanpa sebab atau muncul asap tanpa api? Dalam hukum logika tentu akan tertolak dan dikategorikan sebagai logical fallacy atau logika yang salah. Meski demikian, bukan berarti saya mendewakan hukum logic dalam ranah cinta, karena cinta terkadang tak butuh logika.

Alasan dan sebab ini hadir bukan menggugurkan sakralitas cinta, tapi cinta juga butuh proses, baik yang berdurasi panjang ataupun singkat. Yang jelas bukan ujug-ujug bertemu, kenalan, lalu aku cinta padamu. Saya tetap mengimani bahwa cinta tetap butuh alasan seburuk dan sesepele apapun.

Jangan lupa kita ini mahluk bernalar, mahluk rasional yang dibekali akal pikiran, dan mahluk yang berperasaan. Jatuh cinta dengan beragam alasan sah-sah saja, bukan aib, bukan pula kesalahan yang menyalahi tabiat dan fitrah kemanusiaan. Pasti setiap dari kita, maksudnya saya memiliki kriteria pasangan yang pas dan cocok bagi kita untuk menjalani hubungan bersama nantinya.

Bagaimana jika hal tersebut dalam hal ini “cinta tanpa alasan” termanifestasi dalam laku keberagamaan? Misalnya cinta pada Tuhan. Kalau mau jujur, hal ini juga membutuhkan proses panjang yang tidak mudah semudah membolak-balikkan telapak tangan. Proses ini untuk sekedar mencari bukti dan alasan mengapa perlu mencintaiNya, toh ini juga sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah yang diberikan dengan mengoptimalkan pemberianNya, bukan lantas mengerdilkan kuasa dan ke-Maha-an-Nya. Saya rasa Tuhan bukan dzat yang beku jika terus dipikirkan, tetap segar, dan akan terus segar walau akal tak kuasa menjangkauNya. Paling tidak dengan pemahaman itulah diperoleh keimanan yang mantap nan kokoh.

Baca Juga:  Tafsir Surat An-Nisa Ayat 3: Hikmah Poligami yang Dilakukan Rasulullah

Perlu digarisbawahi saya tidak mengatakan kalau cinta yang beralasan akan melepas iman, dan tidak pula mengatakan cinta menjadi peluntur iman. Tapi bagaimana cinta terejawantah menjadi support system sebagai penyokong dan pengokoh iman. Dengan kata lain kita beriman bukan lagi karena perintah dan kewajiban, menghindari semua kemaksiatan bukan lagi karena bentuk takut akan murka dan hukumanNya, terlebih sekedar mengekor (taklid) karena agama orang tua. Namun jauh dari pada itu, cinta diharapkan dapat mengubah segalanya, menjalankan segenap laku peribadatan, ketundukan dan kepatuhan hamba terhadap sang pemilik semesta atas dasar cinta bukan lagi karena perintah atau laranganNya. Meski hal tersebut sangat sukar, tapi bukan pula mustahil.

Bukankah hal serupa pernah juga diterapkan seorang sufi wanita legendaris yang sering disebut-sebut dan dikutip sana-sini hingga kini; Rabiah al-Adawiyah dengan mazhab cintanya.

Kisah heroik yang terus diceritakan dan melegenda, saya rasa tidak perlu membicarakan panjang lebar bagaimana sosok Rabiah al-Adawiyah menentengi air di tangan kanan dan obor di tangan kiri di siang bolong hingga membuat orang bertanya-tanya dan kebingungan atas apa yang dilakukan padahal tidak terjadi sesuatu hal apapun.

“Aku akan membakar surga dengan obor dan memadamkan neraka dengan air ini. Agar supaya tidak ada lagi seseorang mengharapkan surga dan menakutkan neraka dalam laku ibadahnya.” Kira-kira demikian.

Wallahu a’lam bi al-Shawab. []

Ali Yazid Hamdani
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga yang menulis isu-isu sosial keagamaan.

Rekomendasi

1 Comment

Tinggalkan Komentar

More in Opini