Cerpen Lelayu

Semua orang mengetahui bahwa Yu Salam menderita lemah jantung, jadi warga Sumber berusaha sangat hati-hati untuk menyampaikan kepadanya selembut mungkin berita kematian suaminya. Tak seorangpun membayangkan betapa mengerikan untuk Sofa, anak semata wayang keluarga tersebut jika kehilangan ibu bapaknya dua hari berturut-turut.

Kartijah -sebagai tetangga dan teman terdekat yang ditugaskan, memberitahunya dengan nada terputus-putus;  petunjuk majazi yang terungkap dalam kalimat tersembunyi.  Adik lelaki Yu Salam, Sutarman, juga ada di sana, di dekatnya.

Tarmanlah yang berada di Banyuagung, memandikan sapi ketika berita tentang perahu terbalik di Rengel diterima wong ndalem. Kang Salam sebagai salah satu abdi masuk dalam daftar korban, bersama Gus Kaji Ngamil yang tilar dunyo. Tarman bergegas pulang untuk mencegah warga yang kurang hati-hati dan kurang lembut dalam menyampaikan pesan sedih ke mbakyunya.

“Sabar yo, Yu… Sampean ikhlasno.” ucap Kartijah.

Yu Salam mendengar kematian suaminya dengan ketidakmampuan cerna yang melumpuhkan indera untuk menerima signifikansi berita duka.  ia terdiam beberapa waktu dan membatu lalu menangis tanpa suara menggenggam tangan Kartijah.

“Kang Salam katanya akan dibawa pakek kol Truntung bareng Gus Kaji. ” Sutarman memecah sedu sedan. “Alhamdulillah, awake ora usah nggolek dokar, ”

Yu Salam mengangguk. Ia pamit pergi ke kamarnya sendirian.

Tarman segera menghampiri Trinil istrinya dan para tetangga lalu membantu membersihkan rumah. Pelayat di rumah mereka takkan sebanyak di rumah Gus Kaji, memang, tapi bukan berarti mereka tak cukup dihormati. Banyak yang harus dilakukan termasuk mencari penggali liang lahat, membeli lawon dan mengirim kabar ke Sofa untuk bersama menunggu jenazah bapaknya.

Yu Salam berdiri menghadap lemari yang terbuka di samping sebuah kursi tak nyaman berpunggung tinggi. Ke dalam pikirannya ia tenggelam, ditekan oleh kelelahan fisik yang menghantui tubuhnya dan menjangkau ke dalam jiwanya.

Ia harus mengganti baju jarik dan bayaknya yang cerah berbunga. Nyai Jah, guru ngaji semua perempuan Lemah Abang sudah memberi contoh ketika kiai Dul sedo. Harus cemeng, peteng atau putih sampai satuse tambah sebulan. Tidak boleh ke musola atau dolan, pergi ke kebun atau sawah juga tidak boleh lama-lama. ia tidak sendiri, ning Roh istri Gus kaji juga kehilangan suami. Mungkin bedanya hanya ning Roh mencopoti perhiasannya dan tak perlu nyambangi kebun sendiri untuk bisa makan.

Yu Salam tak punya mas-masan untuk dilepaskan. Selebihnya tak masalah.

Pada tubuh atasnya yang telanjang hanya tertutup kutang, terentang kulit warna tembaga berbatik bekas luka dan lebam. Lengan kirinya masih biru dari bekas cengkeraman. Saat berganti jarik, di atas lutut kanan ada beberapa luka bakar bekas rokok. Punggungnya adalah mosaic memar hasil hempasan, entah ia menabrak tembok, lemari atau jatuh di sudut meja.

“Dasar anak e pe-ka-i!”

“Turunan setan!”

Awalnya ketika suaminya ditipu orang -uang tabungan hasil paroan sawah Gus Kaji Ngamil yang akadnya dibelikan sapi, lenyap tak kembali. Hutang pupuk menumpuk, Kang Salam nyethét, uang belanja habis hanya untuk rokoknya saja. Kang Salam lalu ingin menjual tanah warisan orang tua Yu Salam yang mereka tempati.

Baca Juga:  Muhammadkah Aku, Muhammadkan Aku

ia menolak. Tarman memang tak keberatan, tapi tanpa ketela, sayuran dan jualan pisang hasil kebun, mereka takkan bisa hidup, Sofa nanti juga tak mungkin bisa sekolah tinggi. Penolakannya adalah petaka ditambah fakta bahwa keluarganya memang pelarian insiden PKI Madiun. Lari pulang ke  Sumber ketika bapaknya dibawa pergi tentara.

Demikianlah kemalangan Yu Salam dimulai. Seiring waktu, semua yang tidak beres di rumah tangga mereka adalah salahnya.

“Sawah e saiki diwehno Kasno, goro-goro awakmu gak taat nang bojo! Dikongkon sowan Nyai Jah gengsi!”

Bagaimana ia harus menebalkan muka lagi dan meminta perpanjangan giliran menggarap sawah? Mbah Nyai sudah tidak menagih setoran 4 panen terakhir. Sawah sebahu itu adalah sawah pondok. Hasil sawah yang mereka hutang tiap panen adalah jatah makan sekian bulan puluhan santri. Yu Salam menangis malu ketika meminta maaf belum bisa mengembalikan.

Beberapa minggu setelah itu, Nyai Jah menawarkan posisi satpam pondok. Pekerjaan yang sebagian besar hanya mengawasi onthel dan brompit; menunjukkan arah dan mengobrol sambil minum kopi serta setiap hari ada saja tawaran rokok gratis dari wali santri. Kadang jika butuh tukang angkat-angkat, Gus kaji akan mengajak Kang Salam pergi.

Pekerjaan tetap tapi tak membuat hati suaminya melunak. Apalagi gaji di kota kecil, meski rutin dua minggu sekali, saat dijumlahkan tak sebesar hitungan hasil sawah sekali panen.

Tiga tahun berikutnya ia mendapat kado madu. Berganti tiap beberapa tahun sekali.

“Salahmu Sofa gak iso duwe adik! Awakmu panas, anakku mati kabeh.”

Gusti Allah, Bagaimana ia bisa tidak keguguran jika tak pernah berobat dan tak sempat istirahat?

Yu Salam memakai kebayanya. Desisan keluar dari bibirnya saat memasukkan lengan kiri. Ini ganjaran yang didapatnya tiga hari lalu karena meminta cerai. Ia tak punya beban lagi. Sofa sudah selesai sekolah guru dan sudah nyambut. Bulan lalu mereka juga ngunduh mantu, suami Sofa punya toko di Banyuagung.

“Raimu thok sing menungso, batine iblis! Seneng nek bojone susah.”

Sebenarnya Yu Salam paham, tak mungkin ia diceraikan. Pria itu tak punya tempat kembali, yatim-piatu tak tahu asal usulnya. Tanpa dirinya dan Sofa, pria itu takkan punya apa-apa.

Dari jendela Yu Salam bisa melihat jalan terbuka di depan rumahnya, puncak-puncak pohon meranggas berseling tunas daun muncul dengan kehidupan yang baru.

Semi.

Ya, itulah namanya dulu. Sama dengan sebutan bagi pucuk bertunas yang baru tumbuh. Sekarang semua memanggilnya Yu Salam. Ia bukan dirinya lagi, Ia adalah istri Kang Salam atau makne Sofa. Ia bersemi seperti pucuk teh, diambil ketika muda, dijemur, dibiarkan layu lalu digiling dihancurkan waktu.

Baca Juga:  Mengenal Sastra Pesantren Bersama Ning Khilma Anis

Ada petak langit biru yang terlihat di sana-sini melalui awan yang bertemu dan menumpuk satu di atas yang lain di barat menghadap jendelanya. Napas hujan yang nikmat terasa di udara.  Di jalan di bawah seorang penjaja putu sedang memikul dagangannya. Nada dari lagu radio di sawah terdengar samar-samar, dan burung walet yang tak terhitung jumlahnya beterbangan tinggi di menara Masjid.

Yu Salam kemudian duduk dengan kepala bersandar ke punggung kursi, tidak bergerak, kecuali ketika isakan naik ke tenggorokannya dan mengguncangnya. Bagai seorang anak yang menangis sampai tertidur lalu terus menangis dalam mimpinya.

Umurnya belum lagi empat puluh, dengan wajah bulat, dan perawakan tenang, garis-garis mukanya tegas menunjukkan kekuatan tertentu.  Tapi sekarang ada tatapan tumpul di matanya, tertuju ke salah satu petak langit biru.

Nyai Jah pernah ngendiko bahwa memilih suami itu harus yang ngerti dengan agamanya. Rumah tangga itu hubungan agung dan tak ada pasangan yang sempurna. Suami yang ngerti takkan mudah menjatuhkan talak. Semarah apapun ia takkan sembarangan memutuskan jodoh yang diatur gusti Allah. Suami yang ngerti akan ingat jasa istrinya, kebaikan istrinya dan takkan tega berucap pisah, baik sharih maupun kinayah.

Duduk di emper mendengarkan Nyai Jah mengaji hampir seperempat abad lalu begitu berbeda dengan merasakan sendiri saat ini.

“Seandainya tidak gampang berucap talak adalah satu-satunya syarat suami yang baik, maka aku yakin Kang Salam termasuk di dalamnya.”

Setidaknya suaminya tak mengaku jadi pengeran dan membunuh bayi seperti Firaun. Setidaknya ia sudah melaksanakan petuah mikul duwur mendem jero. Dengan kematian Kang Salam, ia ikhlas semua kekurangan suaminya akan ikut ia kubur.

Ini adalah cara gusti Allah memberikan jalan bagi kebaikan keluarga mereka.

Kedua tangannya yang ramping meremas jari dalam genggamannya. Akhirnya sebuah bisikan kecil keluar dari bibirnya.  ia mencoba mengatakannya berulang-ulang dalam hati: “bebas, bebas, bebas!”

Tatapan kosong dan ekspresi ketakutan yang mengikutinya hilang dari mata. Sekarang tajam dan cerah.  Denyut nadinya berdenyut cepat, dan darah yang mengalir menghangat dan mengendurkan setiap inci tubuhnya.

Yu Salam tidak berhenti untuk menanyakan pada nuraninya apakah kesedihan atau kegembiraan yang luar biasa yang menahan dirinya. ia tahu bahwa ia akan menangis lagi ketika ia melihat jenazah suaminya. wajah yang tidak pernah tampak menyimpan cinta padanya. Mulut yang selalu garang dan berkata-kata kejam. Nanti semuanya akan tanpa ekspresi.

Yu Salam tersenyum tipis. ia melihat di balik momen pahit itu, prosesi panjang tahun-tahun mendatang akan menjadi miliknya sepenuhnya.  Sofa akan bisa pulang dengan bebas. Tak lagi tercabik hati antara penderitaan ibunya dan ketidakberdayaan melawan ayahnya.

Yu Salam akan membuka dan merentangkan tangannya untuk menyambut putrinya. ia  bebas. Tidak akan ada tangan kuat yang membengkokkan keinginannya. Kegigihan buta para lelaki yang percaya bahwa mereka memiliki hak untuk memaksakan kehendak pribadi pada keluarganya.

Baca Juga:  Buku dan Perubahan Dunia

“Bebas! Tubuh dan jiwaku bebas!”  ia terus berbisik.

Trinil istri Sutarman berlutut di depan pintu memohon untuk masuk. Sudah empat kali dalam tiga jam ini dia dan Kartijah mengintip lubang kunci, pemandangannya selalu sama. Yu Salam duduk terkulai di depan jendela.

“Piye-piye ngunu Kang Salam kui bojone, Nil. Yo mesti kelangan talah!” Ucapnya sambil berbisik

“Bojo nggepukan terus mati, pas ditinggal yo aku bakal sueneng.”

“Untung Tarman ora moroan tangan yo,”

“Lha peno Yu, omah nemplek pager kok ora nulungi mbakyuku?”

“Bojoku ora ngolehi melok-melok.”

“Podo. Lha omahku beda desa. Yu Salam juga nek ditanya bilang gak ada apa-apa.”

Terdengar suara berderit dari kamar.

“Mbakyu, buka pintunya! Sampean lapo? Nanti sakit lho, ayo buka pintunya.” Trinil berseru.

“Pergilah! Aku ndak sakit apa-apa.”

Yu Salam tersenyum kecut, dirinya kan sedang menghirup aroma kebebasan melalui jendela yang terbuka. Khayalannya terbang sepanjang hari-hari di depannya.  Hari-hari musim hujan yang hijau dan hari-hari musim kemarau yang cerah, dan segala macam hari baik yang akan menjadi miliknya.  Ia mengucapkan doa agar umurnya panjang.  Lucu sekali baru minggu kemarin desis makian dan sundutan rokok suaminya membuat ia takut bahwa hidupnya mungkin akan berbilang.

Yu Salam berdiri dan membuka pintu.  Ada kemenangan di matanya. Tanpa disadari membawa dirinya dengan anggun dan tegak.  ia memeluk adik iparnya dan menggandeng Kartijah. Bersama-sama mereka menuju ruang tamu.

Ternyata hari sudah beranjak sore. Bau gurih masakan menguar di udara. Beras dan sayuran yang dibawakan tetangga sudah diolah. Yu Salam sama sekali lupa bahwa nanti mereka harus membawa tumpeng untuk tukang gali kuburan. Wak Mudin sudah membaca rangkaian qulhu dan menunggu mereka di halaman.

Tung…  Truntung…  truntung… suara kol terdengar jelas. Segera seluruh pelayat beringsut berdiri. Mobil hijau berbelok dari jalan dan memasuki halaman.

Yu Salam diapit menuju pintu depan

Dengan heran Yu Salam melihat Sutarman keluar lalu menahan pintu penumpang agar tetap membuka. Dari dalamnya Kang Salam turun, ada perban di lengan dan bajunya sangat lusuh karena perjalanan. Rupanya dia tidak terseret arus air jauh-jauh dan berhasil ke tepian. Rupanya polisi salah mengirim telegram ke rumah Gus Kaji Ngamil. beliau yang jadi korban karena tidak pandai berenang. Bengawan Solo jelas lebih galak daripada danau berair tenang di ujung desa mereka. Suaminya selamat.

Kang Salam baru tegak berdiri saat kaget mendengar teriakan tajam istrinya; kaget pada lolongan minta tolong Kartijah; kaget pada gerakan cepat Trinil untuk menangkap tubuh Yu Salam.

Sore itu ketika mantri dan dokter datang, mereka berkata bahwa Yu Salam meninggal karena penyakit jantungnya. Karena kegembiraan sangatlah yang membunuhnya. []

Aida Mudjib
Santriwati, Penulis Antologi Sahabat Inspirasi dan Aktivis PwD

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Cerpen