Membicarakan kewalian Gus Dur seolah tidak ada habisnya. Begitu pula ketika Gus Dur muda sekolah dan nyantri di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.
Seperti yang disampaikan oleh Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Yahya Cholil Staquf bahwa di dunia ini ada banyak jenis waliyullah. Salah satunya yaitu wali dalam bidang pendidikan. Selama ini wali itu dianggap seorang yang sakti dan bisa mengobati, padahal tidak.
Salah satu wali tersebut adalah KH. Abdul Fattah Hasyim dari Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Kiai Fattah merupakan menantu dari KH. Bisri Syansuri.
Kewalian Kiai Fattah menurut Gus Yahya terlihat saat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mondok di rumah Kiai Fattah. Ibu kandung Gus Dur yang bernama Siti Sholehah merupakan saudara kandung dari istri Kiai Fattah, Nyai Musyarofah.
Saat usia Gus Dur mulai beranjak remaja, ia dititipkan oleh ayahnya KH. Abdul Wahid Hasyim ke Kiai Fattah di Tambakberas untuk belajar ilmu agama. “Kiai Fattah itu orangnya sangat ikhlas dan sabar dalam mendidik para santrinya. Salah satu santrinya yaitu Gus Dur,” katanya.
Hal itu disampaikan Gus Yahya Tsaquf pada acara Haul Masyayikh dan Haflah Kubro di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, Ahad (28/7).
Dijelaskan, di awal-awal mondok, Gus Dur belum merasa betah sehingga supaya tidak merasa kesepian ia dicarikan teman oleh Mbah Fattah. Teman bermain Gus Dur itu bernama Khudori dari Kabupaten Banyuwangi. Setiap hari, dua santri ini kemana-mana selalu bersama, termasuk saat mengaji kitab kuning.
“Khudori dari Banyuwangi ini yang menemani Gus Dur ke mana-mana,” tambah Gus Yahya.
Suatu hari ulama yang biasa disapa Mbah Fattah ini dalam keadaan lelah dan mengantuk, namun karena ada jadwal ngaji di hadapan para santrinya, Mbah Fattah tetap berangkat mengisi pengajian. Dalam kondisi yang mengantuk, Mbah Fattah akhirnya tertidur pulas saat mengajar.
Semua santri yang hadir saat itu tidak berani membangunkan Mbah Fattah, namun juga tidak keluar dari ruangan. Tapi hal ini tidak berlaku pada Gus Dur. Saat Mbah Fattah tidur, tiba-tiba di depan pondok lewat Lori (angkutan seperti kereta api pembawa tebu) menuju Cukir. Gus Dur lalu mengajak Khudori mengejar Lori dan naik ke atasnya hingga sampai di pabrik gula Cukir.
Setelah sampai di Cukir, kedua santri ini balik lagi ke Tambakberas menaiki Lori. Lalu kembali duduk dalam forum pengajian Kiai Fattah. Baru saja dua santri itu duduk, tiba-tiba Mbah Fattah bangun dan menanyakan pelajarannya sampai di mana. Tanpa merasa bersalah, Khudori langsung menjawab kalau dari Cukir, Kecamatan Diwek.
“Saat duduk, pas Mbah Fattah bangun dan lalu menanyakan ke para santri. Sampai mana tadi cung? Jawab Khudori, sampai Cukir Mbah. Kalau tidak wali maka tidak bisa ini. Sabar dan ikhlas,” cerita Gus Yahya.
Kejadian lain, di pesantren Kiai Fattah ada seorang santri yang nakalnya sangat luar biasa atau kelas dewa. Oleh pihak pondok sudah berkali-kali disanksi. Mulai disuruh ngaji, digundul, dijewer, dan jenis hukuman lainnya.
Pada suatu hari, santri tersebut nekat naik ke atas genting di tengah malam dan mengintip santri putri tidur. Saat sedang asyik melakukan aksinya, beberapa pengurus yang curiga ada penampakan di atap asrama lalu mendekati santri tersebut.
“Santri ini nakalnya sudah parah, bahkan Gus Dur usul ke Mbah Fattah agar santri tersebut dikembalikan ke keluarganya. Namun Mbah Fattah menolak. Alasannya, orang tua santri itu menitipkan agar diperbaiki akhlaknya. Masak akhlaknya belum betul sudah dikembalikan. Ini yang bisa melakukan hanya wali,” ujarnya.
Siapa sangka, lewat keberkahan kewalian Mbah Fattah, santrinya yang nakalnya cukup luar biasa tersebut di kemudian hari menikah dengan anak seorang kiai dan diminta mengurusi sebuah lembaga pendidikan cukup besar di Jawa Tengah. Ia sendiri saja kaget dengan nasibnya di kemudian hari.
“Saya tidak sebut namanya, biar tidak kalian cari. Tapi saat Gus Dur masih hidup, ia sering main ke sana dan gojloki santri tersebut,” tutup Kiai asal Rembang tersebut. (Syarif Abdurrahman)
Sumber tulisan : NU Online