Kerancuan Perspektif Al-Ghazali dengan Filsuf Lain terhadap Kekekalan Alam

Kerancuan dalam pembahasan mengenai dasar-dasar dalam agama Islam sudah terjadi sejak dulu. Pembahasan ini dirangkum dalam ilmu kalam yang tentu menjadi hal yang penting untuk dibahas dan dipelajari oleh siapa saja yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam dan dapat menjadi dasar pengetahuan keagamaan. Secara umum ilmu Kalam membicarakan tentang teologi atau ilmu tauhid dan dasar pembahasannya adalah mengenai Allah dan Rasul. Ilmu kalam terkait yang akan menjadi bahasan pada artikel ini adalah pembicaraan terhadap kekekalan alam. Pada pembahasan ini akan dijabarkan kerancuan yang sering terjadi pada perspektif masing-masing tiap tokoh termasuk pada al-Ghazali yang tidak sependapat dengan para tokoh lainnya.

Memiliki nama lengkap Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali yang sekarang lebih dikenal dengan nama al-Ghazali. Dilahirkan di suatu kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).[1] Sedari kecil al-Ghazali menyadari kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan yang menjadikan semasa mudanya banyak mempelajari tentang teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufismedan ilmu-ilmu alam. Berangkat dari situ pertama kali Al-Ghazali mempelajari ilmu pengetahuan termasuk agama berasal dari keluarganya sendiri. Memiliki kepintaran yang kritis menjadikan Al-Ghazali menjadi salah satu tokoh pemikir Islam yang besar dalam sejarah islam, teologi, filosof dan sufi yang termasyhur dan contoh bagi tokoh-tokoh yang lain.

Al-Ghazali adalah salah satu tokoh filsuf terkenal yang sering menyanggah dan menentang pemikiran dari tokoh-tokoh lain yang bertentangan dengan Islam. Ada salah satu kitab karangannya yang khusus membahas masalah kerancuan yang ada pada para filsuf yang kemudian oleh al-Ghazali dikritisi yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu kerancuan tersebut yang akan dibahas adalah persoalan tentang kekekalan alam. Konsep kekekalan alam ini sebenarnya merupakan implikasi dari konsep Tuhan oleh para filsuf. Pendapat dari Aristoteles tentang kekekalan alam berarti membutuhkan penggerak dan penyebab efisiensi dari gerak tersebut.

Baca Juga:  Kritikan Akan Membuat Semakin Terkenal; Belajar dari Al-Ghazali

Penyebab dari efisiensi gerak kekal itu harus bersifat immaterial dan harus terlepas dari materi sebab keefisien terpisahkan dari semua itu. Pendapat tersebut diikuti oleh al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan adalah ada yang pertama dan sebab dari segala hal yang maujud termasuk alam.[2] Dikarenakan bagi al-Farabi maujud awal merupakan puncak dari sebab akibat, pendapatnya ini sama dengan Ibnu Sina Bahwa Tuhan merupakan sebab yang pertama dari semua yang maujud sesuai dengan sifat Tuhan karena tidak jauh berbeda dengan zat Tuhan. Penjelasan dari al-Farabi bahwa wujud-wujud bisa ada karena berbagai sebab bukan karena adanya penciptaan.

Dari penjelasan ini para filsuf yakin bahwa alam itu bersifat kekal karena alam ada ketika Tuhan ada. Pendapat mereka tentang adanya alam ini bersamaan dengan hadirnya Tuhan sehingga tidak mungkin ada jarak waktu ketika Tuhan ada baru kemudian alam juga ada. Para filsuf ini meyakini alam itu qadim karena alam terbentuk karena kehadiran Tuhan. Hal ini mengakibatkan konsekuensi yaitu terjadinya kekekalan alam. Pendapat dari para filsuf muslim bahwa alam itu qadim karena sebab awalnya karena penciptaan dari Tuhan. Karena tidak mungkin Tuhan berubah dari yang awalnya tidak menciptakan menjadi mencipta, maka dari itu disebut yang qadim.[3] Inilah yang menjadi salah satu alasan para filsuf bahwa alam itu qadim, karena berawal dari Tuhan dan mustahil baginya baru.[4]

Al-Ghazali menentang keras penjelasan kekekalan alam ini karena baginya ini tidak sesuai dengan ajaran dari Al-Qur’an. Jika alam itu bersifat qadim maka mustahil alam itu dapat dibayangkan bahwa diciptakan oleh Tuhan, jadi paham qadim ini berkesimpulan bahwa alam ada karena dengan sendirinya bukan karena ciptaan dari Tuhan. Padahal pada hakikatnya alam ini ada karena diciptakan dengan sengaja dan terencana bukan ada karena suatu kebetulan dan alam ini tidak bersifat kekal sesuai dengan apa yang diucapkan al-Ghazali.[5] Al-Ghazali pun juga mengatakan bahwa alam itu suci baru artinya ada jeda ketika alam ini diciptakan oleh kehadiran Tuhan yang tidak memiliki keberagaman, Tuhan ada terlebih dahulu sebelum ketika alam diciptakan. Dari pendapat ini jelas dapat diketahui bahwa kekekalan alam itu tidak benar adanya karena alam itu adalah kehendak dari Tuhan yang dapat tercipta dan hilang sesuai kebebasan dari Tuhan sesuai pendapat dari Al-Ghazali bahwa alam tidak bersifat kekal. []

Baca Juga:  Hunain Ibn Ishaq, Penerjemah Islam tapi Nasrani

Sumber :

Sirajuddin, (2007), Filsafat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nasr al-Farabi, Abu, Ara’ Ahl al-Madinah al Fadilah, (1995), Mesir: Dar wa Maktabah al-Hilal, Cet. I.

Al-Ghazâlî, Imam, (2016),  Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Penerjemah: Ahmad Maimun, Bandung: Marja, cet. 5.

Kartanegara, Mulyadi, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, Jakarta: Erlangga.

[1] Sirajuddin, Filsafat Islam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) , hlm. 155.

[2] Abu Nasr al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al Fadilah, (Mesir: Dar wa Maktabah al-Hilal, Cet. I, 1995), hlm, 5.

[3] Abu Hamid al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, Cet. VI, T.Th.), hlm 90.

[4] Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Penerjemah: Ahmad Maimun, (Bandung: Marja, 2016), cet. 5, hlm 64

[5] Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia.(Jakarta: Erlangga), hlm 8.

Dwi Ayu Angraini
Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini