Belajar adalah kewajiban semua umat Islam mulai dari lahir hingga mati, begitulah beberapa guru atau kyai kita menekankan akan pentingnya ngaji, terutama ngaji ilmu agama, sebagaimana dawuh

من يرد به الله خيرا يفقه في الدين
“Barangsiapa Allah Swt menghendaki kebaikan, maka Allah Swt akan memahamkan dalam ilmu agama”

Berangkat dari dawuh tersebut, ketika kita masih diberikan kesempatan untuk belajar agama berarti kita akan dikehendaki baik oleh Allah, dan ketika kita dikehendaki baik oleh Allah maka kita adalah hamba yang disayang dan diperhatikan oleh Allah.

Kurang lebih begitu logika dasar mengapa keutamaan belajar ilmu agama itu melebihi kelebihan majlis maulid dan ibadah lainnya. Salah satu yang sering kita pelajari dan kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari adalah ilmu fiqih.

Ilmu fiqih sebagaimana kita kenali memiliki empat madzhab utama yakni madzhab Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi.
Banyak sekali orang-orang yang suka berdebat tentang madzhab atau justru karena madzhab ini malah saling menyalahkan golongan lain yang tidak sesuai dengan yang dianutnya, seolah-olah beda madzhab adalah sebuah kekeliruan, namun disisi lain muncul perbedaan madzhab yang kurang dipahami sehingga mengakibatkan adanya campur aduk dalam urusan madzhab.

Madzhab sebenarnya mempunyai dua arti, yaitu ‘pendapat’ atau ‘metode’. Sayangnya yang kita dapati madzhab itu seperti dijadikan sebuah organisasi layaknya jika Shubuh menggunakan Qunut berarti NU, kalau tidak berarti Muhammadiyyah, sehingga memunculkan sebuah paham jika sudah masuk dalam madzhab tersebut tidak boleh keluar lagi dan tidak boleh mencampur adukkan keanggotaan dalam madzhab tersebut.

Dengan demikian akan muncul pertanyaan “apakah setiap orang wajib bermadzhab?” lalu coba gunakan pertanyaan tersebut dengan arti dari madzhab “apakah setiap orang wajib memiliki pendapat atau metode dalam islam?” tentu saja tidak jawabannya.

Dalam buku ‘Ngaji Fiqih’ karangan Prof Nadirsyah Hosen dijelaskan bahwa orang awam itu tidak harus bermadzhab. Orang awam bebas memilih pendapat mana saja yang ia sukai. Kaidah mengatakan, “Al-‘am la madzhaba lahu (orang awam itu tidak bermadzhab)”

Baca Juga:  Untuk Pertama Kalinya, G20 Menyertakan Agama-agama Dunia sebagai Bagian dari Solusi untuk Krisis Global

Berkaitan dengan pindah-pindah madzhab, kita harus pahami beberapa hal berikut:

Pertama, Mentarjih pendapat ulama, Hal ini dapat banyak kita temukan dalam beberapa kitab fiqih, asalkan kitab standar, kita buka saja dalam salah satu rujukan madzhab imam Syafi’i yang biasa kita sebut dengan Kitab Mahalli disana ada beberapa point dimana Imam Nawawi dan Imam Ramli saling berbeda pendapat dalam satu madzhab Imam Syafi’i. Mentarjih pendapat ulama itu merupakan pekerjaan yang tidak sembarangan.

Kita harus tahu betul pendapat para ulama dan dalil-dalilnya, lalu kita teliti setiap argumennya baru kemudian kita tentukan mana pendapat yang paling kuat (Tarjih). Ahli tarjih harus memiliki kualifikasi yang mumpuni. Dari penjelasan ini jelas kita sebagai orang awam bukan bagian kita dalam urusan mentarjih seperti ini.
Selanjutnya, Mencampuradukkan berbagai madzhab (talfiq), kalau yang ini yang biasanya yang membuat ramai jagat keilmua fiqih para orang yang suka berpendapat.

Dalam hal ini ada sebuah dawuh yang sangat cocok dari KH Miftah Maulana Habiburrahman atau sering kita kenal dengan Gus Miftah “Ikutilah pendapat para ahli, jangan mengikuti orang yang ahli berpendapat”. Perihal masalah talfiq yang biasanya jadi permasalahan adalah masalah plinplan, yang pangkal masalahnya ada berpindah-pindahnya madzhab sebab selera dan mencari yang mudah saja, berbeda dengan talfiq yang mengutamakan pendapat yang lebih kuat.

Dalam hal ini sebenarna para ulama masih berbeda pendapat tentang masalah talfiq, ribet sekali ya? Tadi masalah beda pendapat perbedaan madzhab ini justru malah perbedaan dalam pindah madzhab, tapi jangan disalahpahami kalau perbedaan pendapat ini ngawur, ulama dulu beda pendapatnya pakai kajian ilmiah dan dalil, beda kelas dengan kita yang beda pendapatnya hanya karena tidak cocok dengan pendapat lain.

Baca Juga:  Maqashid al-'Ibadat: Menuju Kesempurnaan Memahami Agama

Nah dalam bagian talfiq ini ada beberapa poin lagi yang perlu kita pahami. Pertama, sejumlah ulama tidak membolehkan bersikap plinplan. kedua, sejumlah ulama membolehkan sikap plinplan meskipun berdasarkan niat untuk mencari yang gampang-gampang saja. Ketiga, ditengah-tengah bersikap harus dilihat dulu dalam kasus apa dan apakah para imam yang diikuti pendapatnya itu tidak saling membatalkan.

Sebagai contoh : saya berwudlu dengan menggunakan madzhab Imam Syafi’i, tetapi ketika bersentuhan dengan wanita bukan mahram, saya pindah ke madzhab Imam Hanafi.

Bagi ulama pertama jelas hal ini tidak boleh karena mencari mudahnya saja, bagi ulama kedua tentu saja boleh-boleh saja. Sementara bagi ulama ketiga, kasus seperti wudlu ini tidak boleh, karena wudlu dengan madzhab Imam Syafi’i, dipandang tidak sah di mata Madzhab Imam Hanafi, lalu batal wudhu dengan madzhab Imam Hanafi, dipandang tidak sah oleh Madzhab Imam Syafi’i.

Jadi akhirnya ia melakukan satu perbuatan yang masing-masing madzhab tidak mengesahkannya. Nah yang boleh menurut ulama ketiga ini adalah kalau perbuatan yang satu dengan yang lain tidak ada hubungannya. Misalnya, wudlu dengan cara madzhab imam Syafi’i, sementara ketika mau niat puasa dengan madzhab Imam Hanafi. Antara wudlu dan puasa tidak ada hubungannya, maka menurut ulama ketiga ini sah.

Jadi mau ikut ulama yang mana ? kalau saya memilih menurut selera saya karena menurut pendapat Al Kammal bin Al Hammam secara tegas bahwa masalah plinplan itu dibolehkan secara mutlak! Alasan saya selain dari arti kata madzhab itu sendiri juga islam adalah agama yang mudah.

Namun perlu digarisbawahi bahwa kita harus punya sedikit pengetahuan tentang keragaman pendapat ini, jangan cuma asal dapet dari omongan sana langsung ambil saja, minimal tahu akan ilmu fikih.

Ketiga, Pindah madzhab secara total, kalau ini gampang sekali, misalnya kita dari madzhab Imam Syafi’i pindah ke Madzhab Imam Hanafi, artinya tidak ada kasus per kasus yang perlu dikaji sebagaimana poin kedua. Hal ini dilakukan secara total tidak kasus per kasus dan juga tidak perlu melihat mana pendapat yang paling kuat.

Baca Juga:  BOSe AGOMO (Bosnya Agama)

Dari penjelasan diatas kita harus tahu bahwa islam itu adalah agama yang mudah jika kita punya ilmunya, fenomena kita hari ini adalah kita tidak tahu apa-apa lalu menyalahkan orang lain yang menurut kita tidak benar. Semangat dakwah yang tinggi itu baik, namun juga harus diiringi dengan ilmu yang mumpuni, dan harus jelas sanad atau sumber keilmuannya sambung sampai Rasulullah.

Perbedaan pendapat masalah agama itu sudah ada sejak jaman sahabat, seperti tidak sependapatnya pendapat Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar tentang pengumpulan dan penulisan Al Qur’an karena banyaknya penghafal Al Qur’an yang meninggal saat perang. Sebagai muslim yang baik janganlah mudah menyalahkan, bisa jadi siapa yang kita salahkan keilmuanya lebih banyak dibanding kita, apalagi sampai menyalahkan atau justru menuduh sesat terhadap pendapat kyai yang tidak sependapat dengan kita, cukuplah jika kita menemui sebuah perbedaan dan kita tidak sesuai kita diam, karena dengan kita bisa diam adalah salah satu tanda kita diselamatkan Allah dari buruknya ucapan. Perbedaan itu adalah rahmat dapat benar-benar kita rasakan dari perbedaan madzhab, bayangkan jika hanya satu madzhab saja pasti ada kemungkinan rasa keberatan itu akan muncul, beda cerita jika kita keberatan dengan kondisi yang bagi kita sulit kita bisa beralih mengikuti madzhab, apalagi jika kita mengikuti pendapat ulama kedua yang penting selama kita tahu kita boleh pindah-pindah dengan selera kita karena ada pendapat yang membolehkan secara mutlak. Jadi bermadzhab itu mudah kan? (IM)

Alfin Nor Hasan
Santri Alumni PonPes Darul Huda Mayak Ponorogo, Santri PonPes Raudhatul Qur’an An Nasimiyyah Semarang dan Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] kitab bughyatul mustarsyidin di jelasakan bahwa orang awam tidak harus bermadzhab bahkan ketika ibadah atau mu’amalah yang dia lakukan sesuai dengan pendapat qoul shohih salah […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini