Beberapa tahun terakhir, banyak musikus atau artis yang berhijrah; dalam arti gerakan perubahan menuju baik dan sesuai dengan syariat Islam. Perubahan dari yang buruk menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik, “minadzdzulumaati ilannuur”. Sebagian orang juga memaknainya sebagai “gerakan tobat”.
Selain mulai mengubah penampilan zahir menjadi lebih syar’i, seperti gamis, celana cingkrang, merawat jenggot bagi laki-laki, atau bercadar bagi perempuan, artis atau musikus yang setelah hijrah tersebut biasanya memutuskan berhenti dari aktivitas seninya, yang dianggap profan itu. Bila ada alasan pribadi, tentulah itu adalah haknya. Namun, bila memakai alasan agama, maka patutlah kiranya itu menjadi pembicaraan umum.
Lalu setelah berhenti beraktivitas dari dunia entertainment dan seni, ke mana mereka? Tidak jarang mereka beralih ke aktivitas yang lebih religius dan islami; sebut saja berdakwah. Dunia dakwah ini dimaksudkan dalam arti sempit; menjadi penceramah, dai, ustaz atau ustazah. Berdakwah dianggap lebih “berpahala” daripada bermusik atau aktivitas seni lainnya.
Mereka kadang mulai bersikap skeptis terhadap seseorang yang belum hijrah seperti mereka; seseorang yang tidak berhijab, atau yang tidak bercelana cingkrang dan memelihara jenggot. Juga terhadap seni yang dianggap “tidak islami” atau produk “sekuler”, mereka akan melempar kritik.
Melakukan kritik berdasar suka dan tidak suka, tentu hak pribadi yang sah-sah saja. Namun, jika kritiknya itu didasarkan atas agama, tentulah orang boleh bereaksi.
Agaknya baik kritik atau sikap skeptisnya ini atas dasar agama, yaitu menganggap kesenian sebagai media atau alat dakwah. Kalau tidak cocok, alatnya ditinggalkan. Obsesi terbesarnya adalah berdakwah, bukan seni. Dan itu adalah haknya pula.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah seni itu merupakan alat dakwah ataukah sesuatu yang mandiri? Seni sebagai media dakwah atau sebagai simbol?
Tampaknya, artis, seniman atau musikus yang berhijrah tersebut melihat kesenian sebagai alat dakwah. Berdakwah tentu saja termasuk amal saleh, asal niat tulus dan ikhlas. Berdakwah dengan menggunakan seni sebagai alat? Nanti dulu! Perlu ada catatan terkait hal ini.
Seni mungkin berguna bagi dakwah. Tetapi kesenian hendaknya tidak dijadikan semata-mata sebagai alat. Nanti bisa jadi dakwahnya tidak kena, dan seninya tidak kesampaian.
Memang menyakitkan bagi ulama, kiai, pemuka agama atau seniman yang mau berdakwah ketika kesenian disebut bukan sekadar media dakwah. Selebihnya, ada kesan seolah-olah seniman ingin dikecualikan dari kewajiban berdakwah. Jangan buru-buru menyimpulkan dulu! Seniman juga berdakwah, namun dengan caranya sendiri.
Bila seni hanya sekadar alat, tentulah kalau tujuannya sudah tercapai, alatnya bisa ditinggalkan. Itulah sebabnya seseorang bisa berhenti berkesenian lalu beralih ke dunia dakwah seperti yang dilakukan artis atau musikus yang berhijrah di atas.
Dalam suatu diskusi PP Bahrul Ulum (Pondok Induk) di aula Ma’had Aly Tambakberas Jombang tempo hari, salah satu kawan saya, Ustaz Imam Nur Hadi, bertanya kepada para santri, “berapa orang telah masuk Islam sebab kesenian?” Maksudnya, apa benar kesenian itu efektif sebagai media dakwah?
Biasanya orang akan menyebut cara dakwah Wali Songo melalui pendekatan budaya dan persuasif, untuk menguatkan bahwa kesenian itu efektif sebagai alat dakwah. Atau riwayat Umar yang diam-diam mengagumi Alquran sebelum memutuskan masuk Islam. Atau juga banyak orang masuk Islam setelah mendengarkan azan. Pertanyaan kita selanjutnya adalah, yang efektif itu Alquran dan azannya, atau menyuarakannya?
Seni baca Alquran, azan, dan kaligrafi memang mempunyai pesona tersendiri, yang berbeda dengan kesenian biasa lainnya. Berapa orang yang masuk Islam karena kesenian, saya kira pertanyaan yang jujur.
Saya belum pernah mendengar ada orang yang masuk Islam setelah membaca puisi D. Zawawi Imron, atau melihat lukisan Gus Mus, atau menyaksikan film Surga yang Tak Dirindukan, atau mendengarkan lagu religi Hadad Alwi. Padahal mereka adalah seniman puncak-puncak, apalagi orang biasa seperti kami sebagai “seniman ngaku-ngaku”. Selain masuk Islam adalah berhubungan dengan hidayah, dalam hal ini ternyata kesenian juga tidak banyak membantu. Lantas untuk apa berkesenian jika tidak ada gunanya untuk berdakwah?
Ini berbicara seni atau hijrah..fokus dulu saja..indahnya keberagaman adalah modal dalam berkarya seni,