Hadis merupakan sumber ajaran Islam ke-2 setelah al-Qur’an. Hal ini telah disepakati oleh kalangan jumhur ulama. Melihat peran sentral hadis tersebut, tentunya kehidupan manusia―khususnya umat Islam―tidak akan bisa terlepas dari hadis. Antara hadis dengan al-Qur’an, keduanya memiliki hubungan yang saling melengkapi satu sama lain. Hal termaktub jelas membuat keduanya tak bisa dipisahkan. Manusia tidak boleh hanya menjadikan ‘salah satu’ dari mereka sebagai pedoman, harus ‘keduanya’.
Bicara soal hadis, sebenarnya apa sih definisi hadis itu?. Sebelum ke sana, nampaknya perlu dicatat bahwa kaum yang membahas pasal hadis bukan hanya para cendekiawan muslim. Para sarjana Barat ternyata juga tak ketinggalan mengulas soal hadis. Mereka ini masyhur disebut orientalis. Secara sederhana, orientalis bisa didefinisikan sebagai orang-orang Barat yang mengkaji tentang ke-Timur-an. Seiring berjalannya waktu, definisi tersebut menyempit menjadi orang-orang Barat yang mengkaji tentang keislaman―termasuk dalam hal ini hadis.
Adanya dua kubu yang melakukan kajian terhadap hadis tersebut membuat khazanah Islam―khususnya di bidang hadis―menjadi lebih beragam. Terjadi perbedaan pendefinisian hadis antara kubu cendekiawan muslim (dalam hal ini muhadditsin) dengan kubu para orientalis. Penyebabnya bermacam-macam, bisa karena sifat sudut pandang yang digunakan (subjektif atau objektif), lingkungan sosial, bahkan tak menutup kemungkinan menyangkut kepentingan politik. Guna mengetahui lebih jelas perbedaan definisi hadis antara dua kubu tadi, mari simak penjelasan berikut.
Definisi Hadis Perpektif Muhadditsin
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mengungkapkan bahwa hadis dalam pengertian terminologi yakni segala yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw baik perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat fisik dan psikis. Sifat fisik di sini mengarah pada jasmani Rasulullah saw, misalnya tinggi badan, bentuk tubuh, warna kulit. Sementara itu, yang dimaksud sifat psikis adalah karakter atau akhlak Nabi Muhammad saw kepada penghuni seluruh alam.
Ibn Taimiyyah mendefinisikan hadis sebagai semua perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Rasulullah saw selepas beliau diangkat menjadi Rasul. Mengingat hadis berasal dari Nabi saw, maka ia harus dipercaya. Bila ia mengandung hukum (wajib/sunnah/mubah/makruh/haram), maka ia harus ditaati. Lain halnya dengan ulama usul fiqh, mereka menyatakan bahwa yang dimaksud hadis adalah segala perkataan Nabi saw yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syariat.
Pada umumnya, dalam sudut pandang ulama hadis, antara hadis dan sunnah adalah dua entitas yang sama. Namun, sebagian ulama hadis menganggap bahwa sunnah berbeda dengan hadis. Menurut mereka, sunnah adalah segala yang berasal dari Nabi saw, baik itu terjadi sebelum beliau diutus menjadi rasul maupun sesudahnya. Sedikit berbeda dengan pengertian tadi, menurut ulama fiqh yang dimaksud sunnah adalah segala yang berasal dari Nabi saw tetapi tidak termasuk dalam kategori fardhu dan tidak pula wajib.
Definisi Hadis Perspektif Orientalis
Para orientalis menganggap bahwa hadis dan sunnah merupakan dua hal yang berbeda. Ignaz Goldziher mengungkapkan bahwa yang dimaksud hadis adalah sebuah disiplin ilmu yang bersifat teoretis, sementara sunnah berisi aturan-aturan praktis. Gampangnya begini, kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum itu disebut sunnah. Sedangkang, pernyataan tentang kebiasaan-kebiasaan termaktub disebut hadis.
Ignaz Goldziher juga menyatakan bahwa ciri dari hadis adalah berita lisan, sementara sunnah berwujud adat kebiasaan. Ia juga memaknai hadis sebagai suatu kisah dan komunikasi yang tidak hanya berlaku dalam konteks keagamaan, tetapi juga mencakup informasi historis. Ignaz Goldziher juga mendefinisikan hadis dalam konteks sebuah legenda, dongeng, atau cerita. Definisi yang disebut terakhir itu selaras dengan definisi hadis menurut makna dasarnya.
Demikianlah pemaparan definisi hadis dari dua kubu, kubu muhadditsin dengan kubu orientalis. Lebih lengkapnya bisa dilihat dalam buku Hadis & Orientalis karya Prof. Dr. H. Idri, M.Ag. Semoga kita bisa mengambil definisi hadis yang tepat dan objektif serta menjadikan definisi hadis yang kurang tepat sebagai tambahan referensi ilmu pengetahuan. Wallahu A‘lam. []