Opini

Bahkan saat Wabah pun, Perempuan Tetap Nomor Dua

(Ilustrasi: Freepik.com)

Jika ditanya, siapa saja yang mungkin akan terpapar Covid-19, pasti akan dijawab oleh petugas kesehatan atau pejabat pengambil kebijakan, ya…siapa saja. Siapapun, tak peduli laki atau perempuan, miskin atau kaya, orang biasa atau pejabat, tua atau muda, jika ceroboh atau tidak patuh dengan protokol medis untuk menjaga dirinya, maka dia sangat mungkin akan terpapar virus yang saat ini menyebabkan pertikaian terbuka antara Donald Trump dengan para dokter di Amerika terkait dengan apakah kebijakan social distancing akan dilanjutkan ataukah dihentikan.

Berita bahwa pewaris tahta Kerajaan Inggris, Pangeran Charles, positif terpapar Covid-19 menunjukkan bahwa tidak ada satu pun orang yang bisa lolos dari keganasan virus ini. Ketika di awal-awal wabah, anak-anak muda merasa menjadi kelompok usia yang paling aman berdasarkan data kematian akibat virus Corona yang kebanyakan para lansia, saat ini pun tidak bisa lagi menepuk dada. Sampai-sampai WHO, organisasi kesehatan dunia, mengeluarkan himbauan khusus kepada anak-anak muda yang sok jago ini.

Tapi di antara semua kelompok sosial, siapa sih yang paling rentan terpapar virus jahat ini? Sahabat saya, aktivis Fatayat Jepara, Jawa Tengah, menulis di wall facebooknya sebagai berikut:

“Siapakah yang paling terdampak corona lebih dahulu?? Ibu2 ya gaes…. Karena apa? Sering keluar rumah pergi belanja untuk kebutuhan keluarga. Lagi2 perempuan menjadi kelompok rentan terhadap corona.”

Saya sepenuhnya setuju dengannya. Secara umum, dalam setiap bencana, perempuan dan anak-anak adalah kelompok sosial yang paling menanggung derita. Kerentanan anak-anak jelas disebabkan oleh kelemahan fisiknya. Namun karena kehidupan si anak tergantung sepenuhnya pada si ibu, apalagi bagi yang masih menyusu, hidup-matinya si anak secara langsung tergantung pada ibunya. Pada saat laki-laki hanya menanggung beban derita akibat bencana, perempuan menanggung beban ganda di pundaknya.

Baca Juga:  Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tentang Covid-19

Dalam masyarakat yang dibangun di atas ideologi patriarkhi, di mana kerja-kerja domestik dibebankan pada perempuan, bisa dibayangkan betapa beratnya hidup perempuan di tengah bencana. Bahkan saat ada seorang suami yang membantu istrinya menyelesaikan kerja-kerja rumahan karena kasihan melihat sang istri yang kelelahan menanggung beban ganda tersebut, masih ada laki-laki lain yang mengoloknya sebagai ISTI (Ikatan Suami Takut Istri).

Saat ini, saat wabah Corona menghantui semua orang, di mana saat kematian bisa menyergap siapa saja secara tiba-tiba, nyaris semua negara menerapkan kebijakan sosial distancing untuk memutus mata rantai penyebaran virus yang menjalar seperti api yang membakar daun-daun kering di musim kemarau ini. Praktik sosial distancing (menjaga jarak sosial) adalah dengan tetap berada di rumah (stay at home), kerja dari rumah (work from home), keluar rumah hanya untuk kebutuhan yang sungguh-sungguh penting, dan selalu menjaga jarak dengan orang lain sejauh satu meter. Dari seluruh praktik social distancing ini, siapakah yang mungkin akan “terpaksa” melanggar protokol ini?

Sepatuh-patuhnya kita terhadap protokol social distancing, aturan itu akan terpaksa diterobos oleh ibu-ibu. (Saya tidak berbicara tentang ketidaktahuan dan ke- ngeyel -an). Bukan karena mereka tidak sadar akan bahaya yang mengintai nyawanya. Tapi dia harus keluar rumah untuk belanja karena jika tidak, seluruh anggota keluarganya mungkin akan kelaparan. Saat dia pergi belanja, apalagi jika barang yang dibutuhkannya ada di pasar, bagaimana dia harus menjaga jarak satu meter?

Di mana sang suami? Mungkin masih tidur di atas ranjang menikmati kebijakan work from home yang dalam praktiknya tidak jarang menjadi liburan panjang. Suami berharap saat dia terbangun, di meja makan telah tersaji makanan yang siap untuk disantap sebagai sarapan. Jika seorang istri memutuskan untuk tetap berada di rumah, dia akan diolok sebagai perempuan yang tidak bertanggung jawab, bahkan dianggap sebagai perempuan yang tidak patuh kepada suami. Ending -nya bisa ditebak: si istri dicap sebagai perempuan terkutuk yang layak masuk neraka.

Baca Juga:  RMI NU Bersama Ulama dan Pesohor Galang Dana untuk Guru Ngaji

Saya mungkin terlalu kejam menggambarkan sosok seorang suami. Tapi, sekalipun saya menuturkannya dengan bahasa yang lebih lunak pun tetap tidak menghapus kenyataan bahwa perempuanlah yang paling “terpaksa” melanggar protokol social distancing karena harus belanja ke luar rumah, yang itu membuatnya harus menempatkan dirinya dalam posisi sangat berisiko. “Keterpaksaan” ini semakin tinggi bagi perempuan-perempuan kelas bawah yang harus bekerja di luar rumah karena hidupnya tergantung pada pendapatan harian dari pekerjaannya.

Apakah dengan melihat beban perempuan seperti ini membuat banyak orang mulai sadar akan arti penting seorang perempuan? Ideologi patriarkhi telah membatu sedemikian rupa sehingga wabah pun tidak sanggup menghancurkannya. Jutaan nyawa bisa dihancurkan oleh wabah, tapi ideologi “laki-laki’ tetap setangguh karang, bahkan mungkin lebih karang dari karang.

Saat wabah sampar (dikenal dengan istilah Black Death) merenggut sepertiga penduduk Eropa antara 1347-1351, para pastor tak sanggup lagi melayani sakramen menjelang kematian para umatnya. Ketidaksanggupan ini dikarenakan oleh banyaknya pastor yang meninggal karena wabah maupun karena ketakutan tertular wabah. Padahal sakramen menjelang kematian adalah sesuatu yang sangat penting bagi pengikut Kristen Eropa saat itu, karena itu akan mempersiapkan seseorang sebelum menempuh perjalanan panjang setelah kematian.

Dalam situasi yang sudah sangat darurat ini, pada 1349, Bishop Ralph Shrewsbury untuk wilayah Bath dan Wells mengeluarkan sebuah dekrit tentang tidak adanya sakramen penebusan dosa bagi umat Kristen yang mau meninggal dunia. Orang Kristen yang sedang sekarat diperbolehkan untuk membuat pengakuan dosa kepada setiap orang yang ada di sekitarnya.

Yang menggelitik dari dekrit ini adalah tetap berkuasanya ideologi patriarkhi di kepala sang Bishop. Di dalam dekritnya dinyatakan, “They should make confession of their sins to any lay person, even to a woman if a man is not available.”

Artinya, Hendaknya mereka membuat pengakuan dosa kepada setiap orang yang ada, bahkan kepada seorang perempuan jika memang tidak ada laki-laki di situ.”

Mengapa harus ada klausa “bahkan kepada seorang perempuan jika memang tidak ada laki-laki di situ”? Mengapa? Apakah perempuan begitu saja berderajat rendah dibanding laki-laki. Jika kemuliaan ditentukan oleh ketaatan kepada Allah, bukankah perempuan bisa lebih taat daripada laki-laki? Mengapa tidak dinyatakan “Hendaknya mereka membuat pengakuan dosa kepada setiap orang yang ada, yang dikenal sebagai orang baik, tidak peduli laki ataupun perempuan”?

Baca Juga:  Bentuk Lazisnu, NU Inggris Salurkan Bantuan untuk WNI Terdampak Covid-19

Apakah ini hanya terjadi pada tradisi Katolik? Tentu saja tidak. Kita mudah sekali menemukan perendahan derajat perempuan dengan mengatasnamakan doktrin agama, termasuk dalam agama Islam. Doktrin kepemimpinan laki-laki atas perempuan yang seringkali disandarkan pada salah satu ayat al-Qur’an selama ini banyak digunakan untuk menundukkan perempuan di depan laki-laki, tak peduli bahwa laki-laki tersebut tak memiliki kualitas apapun untuk menjadi seorang pemimpin.

Apakah ideologi “laki-laki” bisa dimatikan oleh virus Corona? Virus mungkin bisa membunuh ribuan orang, bahkan para raja yang menganggap dirinya titisan dewa atau tokoh agama yang mendapuk dirinya sebagai tentara Tuhan, namun sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan laki-laki tetap begitu kuat dipertahankan. Bahkan, saat wabah pun, perempuan tetap nomor dua. Mengapa? Karena saat wabah menghilang, laki-laki harus tetap di tampuk kekuasaan.

Ahmad Z. Elhamdi
Direktur Moderate Muslim Institute UIN Sunan Ampel Surabaya, Penasehat Senior Gusdurian, Pimpinan Umum arrahim.id, dan Wakil Rektor 3 UINSA Surabaya.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini