Siapa yang tidak kenal dengan sosok Sosrokartono, Kakak kandung R.A Kartini. Salah satu putra bangsa yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Tokoh bangsa yang menguasai puluhan bahasa asing dan lokal. Dikisahkan Sosrokartono menguasai 26 bahasa asing dan 10 bahasa lokal Nusantara. Ia juga disebut sebagai manusia Polyglot pertama di Indonesia.
Sosrokartono lahir di Mayong, Jepara, pada Rabu Pahing, 27 Rabiul Awal 1297 H dan bertepatan dengan 10 April 1877 M. Ia dilahirkan dari sepasang anak bangsawan dan kyai, yaitu R. M. Adipati Ario Soroningrat bin R. M. A. A Tjondronegoro IV yang merupakan Bupati Demak saat itu, dan M. A Ngasirah bin KH. Modirono, seorang ulama yang mengasuh pondok pesantren di daerah Telukawur Jepara.
Sejak kecil kehidupan Sosrokartono diliputi budaya literasi dan keagamaan yang kuat. Ia dikenal sosok anak yang rajin membaca dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Sosrokartono pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda, Europe Lagress school (ELS) di Jepara, kemudian melanjutkan di Hogere Burger School (HBS) di Semarang. Setelah itu, Sosrokartono melanjutkan kuliah di Negeri Belanda, tepatnya di Universitas Laiden pada fakultas sastra Timur.
Sosrokartono merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang melanjutkan studi di Negeri Belanda. Setelah menyelesaikan kuliahnya Ia kemudian memfokuskan mencari pekerjaan di Eropa. Ia tercatat pernah menjadi wartawan perang dalam Perang Dunia I di sebuah koran Internasional The New York Herald, sebagai juru bahasa tunggal pihak sekutu, sebagai ahli bahasa di Kedutaan Perancis untuk Deen Hag, kemudian terakhir Ia menjadi penerjemah untuk segala bahasa di Liga Bangsa-bangsa (League of Nations) di Swiss.
Dari pengalaman belajar hingga menduduki jabatan penting di Eropa itu, Sorokartono tampaknya tidak merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya. Pengembaraannya yang lama di Eropa, dengan memiliki status intelektual yang prestisius, karier yang mapan, reputasi yang mentereng, rumah mewah, gaji dan kekuasaan yang besar. Namun kenyataannya Ia justru merasa terjerumus kehampaan duniawi. Boleh jadi secara material memiliki segala-galanya. Tapi Ia justru tidak menemukan kedamaian dan kebahagiaan hakiki.
Sebab itu, Sosrokartono lebih memilih kembali ke tanah air untuk mencari arti kebahagiaan yang hakiki. Di tanah air, Ia memiliki visi baru hidupnya, yaitu Ngawulo marang kawulone gusti atau bisa diartikan sebagai mengabdi kepada manusia , dan Ngabekti marang gusti atau berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa. Kebahagiaan hakiki menurut Sosrokartono adalah memiliki kedekatan spiritual dengan Allah yang Maha Kuasa, dan diimplementasikan dengan perbuatan baik kepada sesama manusia.
Kehidupan sehari-hari Sosrokartono sejak kembali di tanah air lebih banyak digunakan untuk menjalankan laku spiritual sebagai wujud pengabdian kepada Allah, dengan melakukan tirakat-tirakat seperti puasa sunnah, puasa ngerowot, puasa mutih dan sebagainya. Dan kemudian Sosrokartono juga mewakafkan dirinya untuk umat manusia. Dirinya lebih sering menolong dan membantu kaum-kaum yang membutuhkan.
Ribuan orang bahkan puluhan ribu orang telah Ia tolong, baik yang meminta pertolongan untuk mengobati penyakit, kesusahan, penderitaan, gangguan jiwa dan lain sebagainya, semuanya Sosrokartono tolong tanpa membeda-bedakan agama, suku, etnis maupun budaya. Rumah kontrakan yang ia tinggali, selalu terbuka lebar untuk siapapun yang membutuhkan bantuan. Puluhan hingga ratusan orang tiap harinya selalu mendatangi rumah kontrakkannya tersebut untuk meminta pertolongan.
Itulah arti kebahagiaan hakiki menurut Sosrokartono, yaitu menjalankan laku spiritual kepada Allah dengan penuh kesederhanaan, tanpa kemewahan harta maupun jabatan tinggi dan dilanjutkan perjuangan untuk kemanusiaan dengan lebih banyak membantu dan menolong siapapun yang membutuhkan, utamanya kaum-kaum lemah dan miskin. Bahkan semasa zaman penjajah, sering kali ia mendapat tawaran jabatan dari rezim kolonial Belanda maupun Jepang. Namun dengan tegas Ia menolaknya lantaran Ia ingin memfokuskan hidupnya untuk ngabdi kepada Allah dan kemanusiaan.
“Terima mawi pasrah; suwung pamrih tebih ajrih; langgeng tan ono susah tan ono bungah; anteng manteng, sugeng jeneng.”
Kalimat tersebut merupakan salah satu pepatah dari Sosrokartono yang menggambarkan kebahagiaan hakiki. Terima mawi pasrah bermakna menyerahkan sepenuhnya kepada Allah apa yang sudah menjadi kehendak-Nya. Suwung pamrih tebih ajrih bermakna segala apa yang dilakukan semata-mata hanya mengharap ridho Allah dan tidak mengharapkan sesuatu yang lain.
Langgeng tan ono susah tan ono bungah, kebahagiaan bagi dirinya adalah manakala dirinya mampu menolong orang lain serta membantu menyelesaikan masalah-masalah yang menimpa sesama. Anteng manteng, sugeng jeneng, dalam menjalani kehidupan seyognya dijalani dengan tenang (Anteng) dan fokus (Manteng) tanpa terpengaruh apapun sehingga nantinya akan mendapatkan kesentosaan (Sugeng jeneng) dimana Allah akan menurunkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
“Sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji, nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake.”
Diatas juga merupakan prinsip hidup yang dimiliki oleh Sosrokartono. Sugih tanpo bondo atau kaya tanpa harta. Baginya kaya bukanlah kaya materi atau banyaknya harta, tapi kaya yang sesungguhnya adalah kaya batin, kaya hati, dan kaya ilmu. Digdaya tanpo aji atau Sakti tanpa aji. Baginya sakti itu bukan banyaknya mantra atau aji-aji, karena satu-satunya pelindung dan perisai adalah Allah.
Nglurug tanpo bala atau maju tanpa pasukan. Baginya berjuang adalah tanpa mengandalkan atau bergantung bantuan orang lain, bersikap mandiri dan berani menanggung beban berat dan pahitnya kehidupan sendiri. Menang tanpo ngasorake atau menang tanpa merendahkan. Baginya menang adalah dengan tidak merendahkan, menghinakan dan menistakan orang yang dikalahkan. Wallahu a’lam bisshowab. []
[…] itu, pasti merasakan keduanya, bahagia dan sedih. Inilah kefanaan dunia. Ia selalu silih berganti. Kebahagiaan yang abadi adalah di surga-Nya. Tetapi, ada beberapa tips dari ulama yang diambil dari sabda Nabi, agar hati […]