Sejauh ini, pesantren mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengimplementasikan pendidikan karakter terhadap anak didiknya (santri). Namun demikian, eksistensi pesantren sebenarnya tidak hanya terfokus pada objek internal (santri) sebagai sasaran utamanya, lebih dari itu, pesantren juga harus memperhatikan lingkungan eksternal (masyarakat) pada umumnya. Pesantren dituntut untuk tidak tinggal diam dengan mereka yang tidak mengenal atau tidak hidup di lingkungan pesantren. Sebab selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga memiliki peran sebagai agen perubahan sosial.

Maraknya penceramah agama yang memberikan kajian keagamaan di sosial media yang hanya berbekal satu dua hadits saja, bertaburnya konten-konten yang dibalut dengan nama Islam akan tetapi berisi radikalisme, judgemen kafir bid’ah sesat yang tidak dilandasi teori-teori hukum Islam, menggugah pesantren untuk mengembalikan minat belajar masyarakat di pesantren. Menyaksikan video ceramah via youtube, instagram yang hanya berdurasi satu dua menit memang dirasa lebih simpel dan mudah dipahami ketimbang belajar dasar-dasar ilmu agama seperti nahwu, shorof, ushul fikih, balaghoh, Bahasa Arab yang memakan waktu bertahun-tahun. Banyak masyarakat yang ingin belajar ilmu agama, akan tetapi orientasinya adalah memilih sesuatu yang praktis dan sudah matang (produk hukum), ketimbang mengetahui proses bagaimana hukum tersebut diberlakukan. Realitas masyarakat belakangan ini memang lebih memilih mengaji lewat media sosial yang serba mudah dan cepat.

Berbagai upaya mengkampanyekan pesantren memang telah dilakukan oleh sejumlah pihak, utamanya oleh RMI NU (Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdhatul Ulama’) sebagai Asosiasi Pesantren di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah dengan menggaungkan jargon andalannya ‘Ayo Mondok, Pesantrenku Keren’. Jargon ini sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap minat masyarakat untuk belajar di pesantren. Namun demikian, jargon ini terkesan menonjolkan fisik pesantren. Sehingga dampak dari kampanye ini adalah orientasi utama dari pesantren bukan hanya seorang public figure atau pengasuhnya (kiai/bunyai), akan tetapi faktor materiil pesantren juga kini menjadi salah satu pertimbangan.

Baca Juga:  Tawaduk dalam Berilmu

Figur kiai/bunyai yang seharusnya menjadi indikator utama belajar di pesantren kini telah bergeser ke arah ketersediaan fasilitas. Tirakat (bersusah payah, atau usaha spiritual yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu) kini sudah menjadi nilai yang kesekian untuk dijadikan alasan mondok. Yang lebih penting sekarang adalah pertimbangan apakah pondoknya ber-AC, berapa daya tampung dalam satu kamar, bagaimana kondisi ketersediaan dan kebersihan air, apa saja menu makanannya, dan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan ‘kenyamanan’. Sehingga faktor non-materiil seperti keberkahan kiai/bunyai terkadang menjadi terabaikan.

Menghadapi fenomena seperti ini, pesantren tidak cukup menanggapi dengan (misalnya)

Fasilitas itu hanya bersifat duniawi, yang penting adalah keberkahan Kiai”, atau “Keberkahan mondok itu ada dalam tirakat, sebab nantinya kemudahan itu akan datang setelah ia merasakan kesulitan di pondok”.

Bagi sebagian kalangan yang telah mengenal tradisi dan nilai moral pesantren mungkin akan menerima prinsip ini, namun sebagian yang lain mungkin tidak. Masyarakat yang tidak tahu-menahu tentang sejarah pesantren, nilai kultural-spiritual yang ditanamkan, tidak dengan mudah menerima kampanye semacam itu.

Belajar di pesantren adalah tentang mengetahui bahwa talaqi (pertemuan atau interaksi langsung antara guru dan murid) dan sanad (rantai) keilmuan merupakan faktor yang penting dalam sebuah pembelajaran ilmu agama, agar tidak salah dalam memilih pengajian atau ustadz. Dua faktor itulah yang nantinya akan menentukan kualitas keilmuan seseorang, sekalipun ada juga faktor-faktor lain yang juga tidak kalah penting, yaitu keberkahan dan tirakat yang harus dilakukan, baik oleh kiai/bunyai maupun oleh santri itu sendiri. Sebab belajar ilmu tanpa diiringi dengan tirakat ibarat jasad tanpa ruh. Kering, gersang, tak menyejukkan.

Pesantren hingga kini memang masih memegang posisi sentral sebagai lembaga pendidikan yang menunjung tinggi nilai moral-kultural-spititual. Meskipun faktor material kini juga layak diperhatikan agar pesantren memiliki daya tarik yang lebih kuat, akan tetapi seharusnya faktor itu tidak menggeser nilai-nilai utama yang telah lebih dulu menjadi ciri khas pesantren hingga saat ini. [RZ]

Muhim Nailul Ulya
Pelajar S3 Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta, dosen STAI Khozinatul Ulum Blora

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini