Ijtihad Klasik dan Kontemporer

Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu dan al-Juhd yang artinya kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya (Yunus. 1990: 92-93 juga lihat Munawwir. 1997: 217). Menurut istilah, ijtihad berarti pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum syarak yang amali melalui penggunaan sumber syarak yang diakui (Al-Amidi. 1967: 204). Ijtihad dalam arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan (Djazuli. 2005: 71).

Ijtihad menurut ulama Ushul Fiqh ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci (Zahroh. 2000: 567).  Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah  mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah (Umam, dkk. 2001: 131).

Menurut Abdul Manan (2006) Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada beberapa kriteria kemampuan  yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan berijtihad: pertama, mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua, mengetahui bahasa Arab. Ketiga, mengetahui metodologi qiyas dengan baik. Keempat, mengetahui nasikh dan mansukh.  Kelima, mengetahui kaidah-kaidah ushul dengan baik dan dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut. Keenam, mengetahui maqashid al-ahkam (Manan. 2006: 162-163).  Karena ijtihad dilakukan atas dasar tuntutan beragama yang dilakukan sesuai syariat islam.

Dalam pembahasan ini akan saya kemukakan ijtihad yang dilakukan dari zaman nabi hingga zaman sekarang yang di hasilkan dengan menggali hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Ijtihad klasik

Orang yang pertama kali melakukan tugas berfatwa dalam Islam adalah Nabi Muhammad SAW., dimana fatwa-fatwa Nabi tersebut adalah merupakan wahyu dari Allah SWT. dan merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya (Mazkur. 1964: 136). Fatwa-fatwa ini lebih dikenal dengan Hadits atau Sunnah. Setelah Nabi Muhammad s.a.w meninggal dunia, tugas-tugas berfatwa tersebut dilanjutkan oleh para sahabatnya, dan tentu saja ada perbedaan antara fatwa Nabi dengan fatwa para sahabat. Fatwa-fatwa sahabat tersebut terkenal dengan  sebutan “Fatwa Shahabi”. Pada masa sahabat, materi fatwa itu dapat dibagi kepada 2 (dua) bentuk, yaitu: Pertama, fatwa yang materinya hanya pengulangan kembali apa yang telah jelas disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, artinya materi hukum yang di fatwakan oleh para sahabat itu memang sudah jelas dan terang; kedua, fatwa yang materinya merupakan hasil ijt ihad para sahabat itu sendiri. Dalam berijtihad tersebut, para sahabat tentu saja tidak  melepaskan diri dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Hadits.

Baca Juga:  Fikih Manhaji; Menggali Hukum Islam dalam Realitas Kontemporer

Ijtihad ekonomi telah banyak dilakukan oleh para ilmuan muslim pada era klasik diantaranya adalah Ibnu Khaldun (1332-1406), Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi . Selain itu juga, masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182H/798M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (w.203H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid (w.224H), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H) (Ikhsan. 2011).

Ijtihad KONTEMPORER

Ijtihad ulama ialah disamping mengambil hukum dengan al-Qur’an dan sunnah, juga  mengambil hukum dengan mengaitkan sumber hukum yang telah di tetapkan para ulama’ madzhab yang ilmunya jauh lebih dalam. Dalam pembahasan ini, metode ijtihad dilakukan oleh kalangan ulama Indonesia diantaranya:

Metode Fatwa DSN-MUI

Metode implementasi sebuah hukum pada fatwa DSN MUI tetap mengacu pada nash al-Qur’an dan hadist sebagai seumber utama dan juga qiyas serta ijma’ sebagai metodologinya, begitu juga dengan qaidah ushul sebagai sandaran kemaslahatannya. Maka dari itu hasil yang ditetapkan sebuah hukum dari fatwa DSN MUI bertujuan dengan kemaslahatan umat, dan juga sesuai prinsip syariah, seperti keharaman bunga/riba, mudhorobah, akad wadiah, juga saling ridho antara penjual dan pembeli (antarodhin), halal yang bagus (halalan thoiyyiban), bebas dari penipuan,exploitasi, spekulasi, dan menimbun.

Metode Fatwa Batshul Masail NU

Bahtsul masail yang dilakukan oleh ulama’ kalangan nahdyiyiin  berpedoman dengan al-Qur;an dan hadist, juga dimana kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlulssunnah wal jama’ah.Prosedur terbentunya fatwa disusun dalam urutan penyelesaian masalah secara hirarki: (1) Permaslahan yang diajukan apabila dapat dijawab atau cukup oleh Ibarat Kitab dari Kutubul Madzhahib al-Arba’ah dan hanya didapatkan satu pendapat dari Kutubul Madhahib al-Arba’ah maka dipakai pendapat tersebut sebagai keputusan fatwa, diktum fatwa akan ditetapkan berdasarkan pendapat tersebut. (2) Apabila terdapat ibarat kutub lebih dari satu pendapat, maka akan dilakukan penyelesainnya dengan jalan “taqrir jama’iy” untuk memilih salah satu pendapat. Kasus atau masalah tidak ditemukan atau tidak ada pendapat yang dapat dijadikan pijakan untuk menyelesaikan masalah, maka dilakukan prosedur dengan jalan ilhaq masail bi nazhoriha secara jama’iy oleh para ahlinya, ilhaq dilakukan dengan jalan memperhatikan mulhaq, mulhaqbih, dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli. Permaslahan yang tidak dapat diselesaikan melalui jalan ilhaq maka dilakukan istinbath jamai’iy dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.

Baca Juga:  Ijtihad Modernisasi Muhammad Abduh (1)
Metode Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah

Bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum. Muhammadiyah dalam Ijtihad sesuai dengan qoeda ushul fiqh menempuh tiga jalur, yaitu: (1). Al-Ijtihad Bayani, (semantik) dengan pola metode kebahasaan, yakni menjelaskan hukum yang permaslahannya telah diatur dalam Al-Qur’an dan Haditst. Bayani dapat diartikan pola ijtihad Muhammadiyah untuk memahami nash yang Mujmal dalam hal-hal yang mengandung musytarak. Hal-hal yang sudah jelas ketentuannya dalam nash baik Al-Qur’an maupun Haditst maka secara praktis dapat ditetapkan berdasarkan nash yang sudah jelas. (2). Tahlili (rasionalistik) metode pendekatan dengan jalan rasionalitik atau penalaran, sebelumnya majelis tarjih menggunakan istilah Qiyasi yakni menyelesaikan kasus hukum yang sifatnya baru dengan cara menganalogi atau mengqiaskan dengan masalah yang telah diatur oleh Al Qur’an dan Haditst. Akan tetapi metode qiyasi disadari memiliki ruang lingkup yang erbatas, dengan metode Tahlili jauh lebih luas dari metode qiyasi sekaligus mencakup metode qiyasi. (3) Al-Ijtihad al-Istislahl (filosofis), yakni menyelesaikan hukum baru yang tidak terdapat dalam dua sumber pokok Al-Qur’an dan Haditst. Dengan cara penalaran dengan memperhatikan nilai-nilai maslahat. []

Rekomendasi

1 Comment

  1. Referensi nya darimana?

Tinggalkan Komentar

More in Opini