Trio Muhammad
Waktu mondok di Pesantren Lirboyo Kediri, aku satu kelas dengan Kiai Noer Muhammad Iskandar, saat itu dipanggil Gus Nur, dan Kiai Ayik Muhammad al Hasani, biasa dipanggil Ayik yang artinya sayid atau Habib. Saat Imtihan, aku jadi Sekretaris Panitia, Kiai Nur ketua, kiai Ayik wakil. Teman-teman menyebut kami Trio Muhammad. Kami sangat akrab, saling bercandaria dan saling “Ngenyek“, “mengejek”. Kami bertiga pernah menjadi Rois dalam musyawarah. Kedua sahabat itu memang lebih pintar daripada aku. Kiai Said Aqil Siraj, seusia aku, tapi di madrasah satu tingkat di atas aku.
Tamat dari situ, aku lanjut ke PTIQ, Kiai Nur meneruskan di pesantren, kiai Ayik lanjut kuliah di IAIN Yogya dan kemudian mendirikan sejumlah sekolah dan Perguruan Tinggi.
Kiai Nur
Waktu aku tingkat 3 atau semester 5, kiai Nur masuk. Nah waktu Mastama (masa Taaruf Mahasiswa) PTIQ, aku yang me “melonco” beliau. Aku senior. Waktu di Pesantren aku harus memanggil Gus dan seperti senior. Aku pernah menjadi ketua Dewan Mahasiswa. Bersaing dengan Muzni Umar, sekarang Prof. Dr rektor Univ. Ibnu Khaldun, Jakarta.
Kiai Nur sambil kuliah aktif ceramah dan khutbah. Beliau tipe muballigh konservatif keras. Beliau muballigh pop dan sangat laris. Namanya melejit. Tiap pagi mengisi pengajian di radio. Beliau mengurus masjid Al Mukhlishin di Kedoya, Kebon Jeruk. (Maaf ralat: di Pluit). Aku sering diajak ke rumahnya yang masih sederhana. Dan aku bersama almarhum kiai Muntaha Azhari, menulis khat kaligrafi untuk menghiasi masjid itu. Waktu merintis bangun pesantren aku diundang diminta mendoakan di dalam bangunan yang masih belum berdiri.
Hubungan aku dan beliau tak pernah putus sampai hari ini saat beliau wafat. Banyak kenangan bersama beliau, baik saat di pesantren, di kampus PTIQ maupun sesudah beliau jadi ulama besar dan pengasuh 11 Pesantren di banyak tempat. Bila aku ke rumahnya aku dihormati dan dijamu meriah. Bila aku pulang beliau memberi “amplop” cukup bagus dan tebal.
Pertemuan terakhir saat aku menjadi nara sumber di Acara Kaderisasi Ulama yang diselenggarakan oleh Lakpesdam PBNU di Pesantren beliau. Kami saling melepas kangen, berpelukan dan menangis bersama. Saat itu beliau masih dalam kondisi pemulihan dari sakitnya yang cukup lama dan masih harus cuci darah 2x seminggu. Waktu aku pamit, kiai Nur memberi aku hadiah sarung bagus dan mahal.
Beliau kiai muballigh hebat, orang baik, dermawan. Ghafarallah lah wa Rahimah wa Ja’ala al-Hannah matswah.
Kepada keluarga yang ditinggalkan semoga tetap sabar dan ikhlas. []