Secara resmi Muslimat NU atau yang dulu disebut Nahdlatul Ulama Muslimat memang baru lahir pada 29 Maret 1946, berbarengan dengan Muktamar ke-16 di Purwokerto, namun fase perintisannya dimulai sejak muktamar XIII di Menes, Banten, 1938.

Perintisan organisasi bagi kaum perempuan ini kemudian juga didukung dengan keputusan bahtsul masa-il Muktamar NU yang digelar pada 13 Rabiuts Tsani 1357 H bertepatan dengan 12 Juli 1938 (satu bulan usai Muktamar Menes) yang memutuskan wajib hukumnya bagi tiap umat Islam, laki-laki maupun perempuan menjadi anggota organisasi yang berasaskan Ahlussunnah wal Jamaah untuk dapat mengerjakan amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai sarana menjaga keislamannya.

“….Mendidik dan mengajar kaum muslimat agar menjadi isteri dan ibu yang utama dari Ahlussunnah wal jamaah; mengadakan pengajaran dan pendidikan, kursus dan dakwah; dan mengusahakan kerajinan dan jalan mendapat rezeki yang halal.” Demikian tujuan NOM yang tertera dalam “BERITA NAHDLATOEL OELAMA” (NO. 2. TH. 9, 13/027).

Selain Kiai Wahab Chasbullah, KH. Muhammad Dahlan (Pasuruan. Kelak menjadi Menteri Agama 1967-1971) adalah di antara ulama yang telaten mendampingi dan membimbing kaum ibu ini hingga berhasil mendirikan wadah resmi.

Di antara sekian banyak kader ideal Muslimat NU, tersebutlah nama Nyai Hj. Sholihah Wahid Hasyim, menantu KH. M. Hasyim Asy’ari.

Nyai Hj. Sholihah binti KH. Bisri Sjansuri ini sedang mengandung anak keenamnya saat sang suami, KH. Abdul Wahid Hasyim, ulama cum negarawan muda paling moncer dalam sejarah Indonesia, berpulang akibat kecelakaan di Bandung, April 1953.

Nyai Sholihah, yang belum genap berusia 30 tahun menjanda dengan tanggungan 6 buah hati: Abdurrahman Ad-Dakhil, Aisyah, Shalahuddin, Lily Khadijah, Umar dan Hasyim Wahid. Tak tega melihatnya sendirian di Jakarta, KH. Bisri Sjansuri meminta puterinya itu kembali tinggal ke Jombang. Sholihah menolak, dia bertekad membesarkan buah hatinya sendirian di ibukota. Di era 1950-an, di mana kondisi sosial-politik dan ekonomi tidak stabil, tentu pilihan ini sangat beresiko.

Baca Juga:  Konsep Cinta sebagai Jalan Menuju Tuhan: Perspektif Rabiah Al-Adawiyah

Instingnya sebagai seorang perempuan tangguh mulai terasah saat dia mulai berbisnis beras. Bahkan menjadi makelar mobil dan pemasok material ke kontraktor pun pernah dia jalani. Nyai Sholihah juga merintis panti asuhan, rumah bersalin, beberapa majelis taklim, dan kegiatan sosial lainnya. Karakter Gus Dur yang peduli wong cilik, mendahulukan kepentingan orang lain, dan tempat bersandar mereka yang terpinggirkan dan terdzolimi, saya kira menurun secara genetik dari ibundanya.

Tak hanya itu, rumahnya dia jadikan sebagai salah satu basis politik NU. Keputusan penting seputar kiprah NU di perpolitikan digodog di sini oleh dua tokoh sentralnya: KH. Bisri Sjansuri, ayahnya; dan KH. A. Wahab Chasbullah, pakdenya. Sikap NU terkait dengan Dekrit Presiden, Kabinet Gotong Royong, hingga keputusan cepat Muslimat dan NU beberapa waktu usai G-30-S/PKI digodog di sini.

Dengan kerja keras dan tirakatnya, kelak para buah hatinya menjadi orang berhasil di bidangnya: Abdurrahman Ad-Dakhil alias Gus Dur menjadi Presiden Ke-4; Aisyah Hamid Baidlawi menjadi ketua Muslimat NU dan politisi Golkar dan Lili Khadijah menjadi politisi PKB, Sholahuddin Wahid menjadi pengasuh pesantren, Umar Wahid menjadi direktur rumah sakit di Jakarta.

Bahkan, dalam beberapa keputusan penting di PBNU, ketika para kiai “gagal” melunakkan Gus Dur, mereka memilih jalan menghadap Nyai Sholihah agar bisa melunakkan putranya. Berhasil. Gus Dur taat pada ibundanya. Karakter Gus Dur yang dipahat ibundanya, juga sama dengan yang dialami oleh seorang yatim lainnya, BJ. Habibie. Keduanya ditinggal wafat sang ayah dalam usia belia, ditempa sang ibu, dan kemudian menjadi presiden RI.

Ketika Gus Dur di Universitas al-Azhar, Nyai Sholihah kerap menitipkan (melalui para sahabatnya) beberapa botol kecap dan puluhan sarung agar Gus Dur mau menjualnya. Maksudnya, biar menjadi tambahan uang saku. Apa daya, Gus Dur memang nggak berbakat sebagai pedagang. Kecap dan sarung memang ludes, bukan dibeli, tapi diminta para sahabat-sahabatnya, dan Gus Dur merelakannya. Hahahaha…

Baca Juga:  Ning Lis, Ulama Perempuan Ahli Ilmu Waris

Bagi saya Bu Nyai Sholihah adalah tipikal kader ideal Muslimat NU: pinter cari duwit, punya kepribadian kuat, becus mendidik anak, ringan tangan membantu orang lain, dan menjadi penggerak NU melalui majelis taklim, panti asuhan, klinik bersalin dan berbagai aktivitas sosial lain. Sosok perempuan mandiri yang membuatnya disegani para kiai dan politisi.

Wallahu A’lam Bisshawab

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan