Pandangan Fuqaha Tentang Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah merupakan kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan juga tidak ditolak oleh syara’ melalui dalil-dalil yang terperinci. Akibat dari tidak adanya kejelasan yang membolehkan atau menolak maslahah mursalah, sehingga terjadi perbedaan pandangan fuqaha terkait keabsahan maslahah mursalah ini.

Pada prinsipnya, meskipun terdapat perbedaan dalam penerapan dan letak ketentuannya, jumhur tetap menganggap maslahah mursalah sebagai salah satu alasan berlakunya maslahah mursalah sebagai hukum syara’. Mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil, maka maslahah harus memiliki pengaruh terhadap hukum. Artinya, terdapat Al-Qur’an, Hadis, atau ijma ‘ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat dalam penetapan suatu hukum.

Salah satu fuqaha yang menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah Mazhab Malikiyyah dan Mazhab Hanabilah, bahkan mereka dianggap sebagai fuqaha yang paling luas menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, Ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan 3 syarat, yaitu:

  1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara universal.
  2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti bukan sekedar perkiraan. Sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menolak kemudharatan.
  3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Mazhab Syafi’iyah pada dasarnya juga menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi imam syafi’i memasukkannya kedalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan Al Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:

  1. Maslahah itu sejalan dengan tindakan-tindakan syara’
  2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
  3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan universal.
Baca Juga:  Contoh Pengaplikasian Maslahah Mursalah

Dengan demikian, jumhur fuqaha sebenarnya menerima maslahah mursalah sebagai salah satu dalam mengistinbatkan hukum islam. Adapun argumentasi jumhur fuqaha dalam menetapkan maslahah mursalah dapat dikatakan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:

  1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini Allah berfirman “kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.” (QS. al-Anbiya’ [21]:107). Menurut jumhur ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia.
  2. Kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habisnya.
  3. Kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yag telah berdasarkan nash atau ijma’.
  4. Jumhur ulama juga merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada para mualaf, karena menurut Umar kemaslahatan orang orang banyak menuntut akan hal tersebut. Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab sebgaai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan Al-Qur’an dan menuliskan Al-Qur’an pada satu bahasa dizaman Utsman bin Affan demi memilihara perbedaan pemcaan Al-Qur’an

Adapun bentuk argumentasi dari Mazhab yang menolak maslahah mursalah sebagai dalil hukum adalah sebagai berikut:

  1. Jika suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya maka ia termasuk dalam golongan qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya maka tidak mungkin disebut maslahah, dan mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui kurang sempurnanya risalah Nabi.
  2. Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa kepada pengalaman hukum yang berlandaskan kehendak hati dan menurut hawa nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip syariah.
  3. Penggunaan maslahha dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum, serta memberi kemungkinan akan mudahnya perubahan hukum syara’ seiring bperubahan waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. []
Handila Rizka
Mahasiswa Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini