Inflasi Ulama

Rasanya, semenjak Mbah KH. Maimoen Zubair wafat, Agustus 2019, berombongan pula para ulama yang ikut pergi. Sejak awal 2020 hingga bulan ini, telah ratusan ulama wafat. Saban hari, terurai kabar duka cita wafatnya Kiai A, B, C, dan seterusnya. Belum genap sehari kita bersedih wafatnya ulama tasawuf, berikutnya ulama dengan ketinggian ilmu fiqh menyusul. Keesokan harinya, habib dengan keluhuran akhlak dan ketegasan beraqidah wafat, lusa berikutnya habib dengan ketangguhan dakwah menyusul. Benar-benar tahun duka cita.

Satu persatu tiang pancang ilmu dirobohkan Allah. Kita bersedih bukan hanya karena ditinggalkan beliau-beliau, melainkan karena kita tidak mampu menyerap gelontoran ilmu saat beliau masih hidup. Kita juga bersedih bukan hanya semakin sedikitnya stok ulama, melainkan karena dengan kewafatan beliau-beliau meninggalkan generasi yang rapuh seperti saya, dan mungkin juga anda. Wafatnya beliau-beliau menjadi penanda apabila satu ulama berpulang, ikut pula keilmuan yang dimiliki.

Ibaratnya, dalam dunia sepakbola, satu pemain pensiun tidak akan bisa digantikan oleh pemain dengan kualitas yang setara. Pele, Maradona, Zidane, tidak akan bisa digantikan Messi, Ronaldo, Mohammed Salah, dan sebagainya. Kemampuan mereka genuin, tak bisa dikloning, tidak bisa dikopipaste. Semua punya karakter dan kemampuan yang khas. Demikian pula dalam dunia ulama. Satu orang KH. Hasyim Asy’ari tidak bisa ditiru KH. Hasyim Muzadi. Keduanya punya karakter, keilmuan, dan gaya yang khas.

Di sinilah barangkali alasan mengapa dalam kitabnya, Tanqihul Qaul, Syekh Nawawi al-Bantani menukil sabda Rasulullah yang termuat dalam Lubabul Hadits-nya Imam Assuyuthi, bahwa di antara tanda orang munafik adalah tidak bersedih atas wafatnya seorang ulama (Baginda mengucapkan “munafik” sebanyak tiga kali). Kalau kita biasa-biasa saja, merasa wajar atas robohnya tiang rumah kita, berarti ada yang eror dalam pribadi kita. Demikian pula ketika ada tiang pancang dunia bernama ulama yang wafat dan kita santai, tidak menampakkan simpati, mungkin ada sesuatu yang hilang dari kita. Jangan-jangan kita bagian dari kaum munafik itu? Wallahu A’lam.

Karena itu, mengingat gentingnya kewafatan para ulama, Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, dalam “al-Manhajus Sawi“, membuat penjelasan tersendiri. Dengan mengutip pendapat Imam Baghawi dalam tafsirnya, Habib Zain memuat QS. Ar-Ra’d 41 yang artinya “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” dengan memaknai apabila “pengurangan” dalam ayat ini bermakna kematian para ulama dan hilangnya ahli fiqh.

Begitu berharganya seorang ulama, sehingga dalam kitab ini pula Habib Zain mengutip kalimat Sayyidina Abdullah ibnu Mas’ud Radliyallahu ‘anhu, bahwa kematian seorang ulama adalah lubang dalam Islam dan tidak ada yang bisa menambalnya sepanjang siang dan malam. Oleh karena itu, kata Ibnu Mas’ud, carilah ilmu sebelum dicabut. Dan, ilmu dicabut dengan kematian orang-orangnya.

Demikian gawatnya kewafatan seorang ulama, sehingga Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah juga menganalogikannya dengan telapak tangan. Apabila dipotong salah satunya, maka tidak bisa tumbuh kembali. Demikian beberapa keterangan yang termuat dalam “al-Manhajus Sawi” karya Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith.

*
Dalam Konferensi Dakwah yang dihelat di Magelang, 1 Oktober 1951, KH. A. Wahid Hasyim melontarkan statemen keras, bahwa saat itu sebutan ulama sudah mengalami inflasi.

Inflasi tersebut, menurut Kiai Wahid, diakibatkan dari banyaknya ulama ‘palsu’ yang beredar sebagaimana inflasi dalam bidang ekonomi karena banyaknya peredaran uang palsu. Banyak orang yang disebut ulama hanya untuk menunjukkan bahwa menjadi ulama itu tidak sulit. Meskipun pengetahuan keagamaan mereka dangkal, tetapi mereka dipandang sebagai pemimpin Islam. Mereka justru malah memimpin para ulama yang sesungguhnya, bahkan membatasi ruang geraknya.

Statemen Kiai Wahid Hasyim di atas dikemukakan kembali oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya “Berangkat dari Pesantren”. Jika di era 1950-an saja Kiai Wahid menilai seperti itu, lantas bagaimana dengan kondisi sekarang, di mana selain banyak yang mendaku diri sebagai ulama, juga ada yang berlagak mujtahid mutlak yang dengan songong dan sombong bilang tidak perlu merujuk pendapat otoritatif para ulama, cukup merujuk pada al-Qur’an dan Assunnah.

Benarlah jika demikian, kewafatan para ulama ternyata juga memunculkan generasi yang tidak tahu diri karena terlalu tinggi menilai kualitas dirinya. Wallahu A’lam Bisshawab. []

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini