Nama panggilannya adalah Khawaja Ya’qub al-Jarkhi atau Carkhi (AW, 2002: 217-219; dan TNWA, 1987: 170-171). Nama lengkapnya, Ya’qub bin Usman bin Mahmud Ghaznawi al-Jarkhi, salah satu murid dan penerus Syah Naqsyaband (Khawaja Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi al-Uwaisy al-Bukhari). Dilahirkan di daerah Jarkh, antara Kandahar dan Kabul, pada tahun 762 H (1360 M.).
Pada masa belajar, awalnya menimba ilmu kepada ulama-ulama di Herat, kemudian melakukan perjalanan ke Mesir untuk menyempurnakan ilmunya kepada ulama-ulama Mesir. Dan, di antara gurunya adalah Syeh Syihabudin asy-Syabrawi. Setelah itu kembali ke Asia Tengah, ke Bukhara, untuk mengambil tarekat kepada Syah Naqsyaband.
KA Nizami (dalam SHN, 2002: 229), menyebut, di antara murid-murid Syah Naqsyaband, Khawaja Muhammad Parsa dan Ya’qub al-Jarkhi adalah “menulis tafsir tentang Al-Qur’an dengan tujuan menarik masyarakat untuk mempelajari dasar keimanan.” Dan, J Gross mengutip sejarawan Timuriyyah, Khwandamir, menyebutkan bahwa Khawaja Ya’qub al-Jarkhi adalah guru dari Khawaja Ubaidullah Ahrar, yang terkenal di Transoxiana pada zaman Timur (dalam SHN, 2003: 281).
J Ter Haar (dalam SHN, 2003: 550) menyebutkan, dengan mengutip Risalah-i Unsiyyah menyebutkan, bahwa Khawaja Ya’qub Jarkhi melukiskan soal guru spiritual, yang tidak saja perlu memiliki kesempurnaan diri, tetapi juga harus mengantarkan orang lain yang teriluminasi (nurani) serta mengiluminasi (nurbakhsy). Dan, seorang syekh yang sempurna karena telah mencapai tingkat kesempurnaan disebutnya sebagai “nurani”, bukan “nurbakhs”. Khawaja Ya’qub al-Jarkhi, juga menyebutkan tipe baru guru sufi yang disebutnya sebagai Kamilul Muqallid, seorang syekh yang sempurna lagi menyempurnakan. Hanya saja kemampuannya mengantar orang lain kepada kesempurnaan ini masih bertaklid kepada syekhnya yang benar-benar sempurna lagi menyempurnakan.
J. Ter Haar juga menambahkan: Khawaja “Ya’qub Carkhi secara eksplisit menyebutkan bahwa seorang Khawajagan biasanya menganggap muridnya sebagai anak angkatnya (ad’iya)” (dalam SHN, 2003: 550). Dengan demikian, mereka mengikuti tindakan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam, yang memungut Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya. Di dalam praktik kaum sufi, contoh seperti ini banyak terjadi, misalnya Syah Naqsyaband yang dianggap sebagai anak angkat oleh Baba Samasi, dan Abu Ali Farmadzi yang dianggap anak angkat oleh Abu Ali al-Jurjani, dan begitu pula sufi-sufi lain, ada pula yang demikian.
Dalam kata-kata hikmah, perilaku sufi seperti itu, dirumuskan dalam ungkapan: “Aba’uka tsalatsatun, abuka alladzi waladaka, walladzi zawwajaka ibnatahu, walladzi `allamaka wahuwa afdhaluhum” (bapak-bapakmu ada tiga macam, yaitu yang meperanakkan dirimu (melalui hubungan dengan sang istri), yang mengawinkanmu dengan anak gadisnya (mertua), dan yang mengajarimu ialah yang utama di antara mereka.” Ungkapan ini pernah disinggung Gus Dur dalam buku Islam Kosmopolitan (hlm. 81), tetapi saya belum menemukan sumber kata-kata hikmah ini asalnya dari mana.
Karya-karya penting Khawaja Ya’qub al-Jarkhi, menurut Thalib Ghafari (dalam maktaba.org., 22 Mei 2011) dalam bidang tasawuf, semua berbahasa Persia-Urdu, yaitu: Risalah-i Unsiyyah, Tafsir Ya’qub Jarkhi, Risalahi-i Na’iyah, Syarah Ruba’i Abu Said Abul Khair, Risalah Abdaliyah, Syarah Asma’ul Husna, Tariqah Khatam Ahzab, Risalah tentang tanda-tanda Kiamat, dan menurut sebagian versi terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Tajik. Kitab Risalah-i Unsiyyah sekarang diterbitkan dengan versi yang diedit oleh Muhamamd Abdul `Alim (Delhi: Mathb’-i Mujtabah, 1924). Sedangkan Tafsir Yaqub Jarkhi, berisi penafsiran dari surat al-Fatihah sampai tafsir ayat wa min syarri hasidin idza hasad.
Khawaja Ya’qub al-Jarkhi wafat pada tahun 850 H. (1446 M.) di Hulghatu, yang masuk wilayah al-Hashar, dengan meninggalkan anak dan banyak murid, Di antara anaknya yang bernama Maulana Yusuf al-Jarkhi menjadi sufi terkenal, tetapi kepemimpinan tarekat diberikan kepada muridnya yang terkenal, Khawaja Ubaidillah Ahrar. [HW]
[…] manuskrip, disebutkan jika KH. Muhammad mengambil Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah dari Syaikh Muhammad Sirajuddin b. Abdullah b. Abdul Qahhar (Makkah), beliau mengambilnya dari […]