Rakyat (Dunia Maya) Tak Pernah (Akan) Merdeka

Rendra pernah menulis sebuah refleksi yang berjudul “Rakyat Belum Merdeka” (Sebuah Paradigma Budaya). Status ini sebenarnya terinsipirasi judul tulisan seniman atau budayawan yang hidupnya diabdikan untuk melawan ketidakadilan tersebut. Meskipun berbeda konteks ruang dan waktunya, tetapi spirit memerdekakan “kemanusiaan” haruslah tetap menjadi ruh perjuangan kita semua. Karena kemerdekaan itulah yang membuat kita pantas disebut manusia. Tanpa kemerdekaan, kita adalah objek penderita yang “dibuat seolah” tidak memiliki hak asasi. Padahal hak asasi itu melekat sebagai anugerah Tuhan bahkan sejak kita dalam kandungan.

Di era teknologi informasi yang melahirkan beragam bentuk media sosial. Posisi manusia kembali diuji dengan beragam bentuk “penjajahan” baru yang lebih halus (soft), sehingga manusia seringkali tidak menyadari nya. Inilah konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis “materialisme”. Sementara di sisi lain, pasar dibiarkan dalam “mekanisme bebas”, yang memberi ruang terbuka bagi berkembangnya “monopoli” seutuhnya. Liberalisasi pasar menjadikan mereka yang memiliki modal dan kekuasaan “bersatu” menjadi kekuatan “penjajah” yang tak mungkin “terkalahkan”. Rakyat memang tak pernah benar-benar merdeka. Sejak zaman “Raja Namrud” sampai “Raja Bill Gate”, rakyat selalu menjadi “keset” kekuasaan para penguasa yang berselingkuh dengan pengusaha yang dilegitimasi para “pengasong” agama.

Sekarang ini (bagi kebanyakan orang) dunia maya telah menjadi dunia yang diyakini “kebenarannya” sebagai sesuatu yang nyata. Bahkan keyakinan terhadapnya, terkadang melebihi keyakinan mereka terhadap “kenyataan” itu sendiri. Bukan hanya itu, keyakinan agama pun sudah disingkirkan demi terpuaskannya hasrat “menguasai” manusia lain. Meskipun “kekuasaan” itu hanya semacam angan-angan yang dibuat sedemikian rupa sehingga terasa nyata bagi mereka yang sudah kecanduan “gula-gula” dunia maya. Maka tak perlu heran jika ada yang seharian main game sampai lupa makan, belajar dan beribadah. Ada yang kecanduan menebar hoaks, bahkan seolah sudah menjadi profesi yang “menguntungkan” dirinya. Ada yang kecanduan pornografi, sehingga pikiran dan perilakunya dipenuhi motif “kekerasan” dan “pelecehan” seksual. Ada pula yang kecanduan agama, sehingga bersemangat menjadi wakil Tuhan yang bisa dengan mudah memfonis orang lain yang tidak sepaham dan sealiran sebagai sesat, kafir dan ahli neraka. Ada juga yang kecanduan popularitas, sehingga setiap hari hidupnya dihabiskan di panggung Medsos, dengan “kegilaan” yang sama sekali tidak mencerdaskan. Hebatnya lagi, semua panggung kehidupan di dunia maya itu, sengaja “dibangun” oleh para pengusaha (yang bernafsu jadi penguasa/raja dunia) untuk mengeksplorasi dan mengekploitasi “kemanusiaan” kita. Maka sekali lagi manusia terjerembab dalam rantai “Kolonialisme Baru” yang lebih “hegemonik”. Tidak terkecuali para intelektual yang berupaya melawan dengan segala cara. Walaupun ujungnya tetap harus berkompromi dengan mereka. (Seperti diriku yang harus menuliskan kegelisahan ini di laman FB yang juga bagian dari dunia maya. Tapi inilah ironi kehidupan dunia. Tak perlu kita bersaut suara berebut kegamaan belaka. Cukup bagiku menulis dan menikmati rasa berbagi kegelisahan dengan kalian semua).

Baca Juga:  Agama dan Negara; Kewajiban Rakyat dan Hak Pemimpin

Di era awal perkembangan radio dan televisi, hasrat konsumtif masyarakat dimanjakan dengan iklan yang menipu kesadaran kita. Sesuatu yang sebenarnya sederhana dan bahkan sangat biasa-(dengan kemasan iklan yang menggoda)- tiba-tiba menjadi luar biasa dalam kesadaran kita. Kemudian memaksa kita untuk membeli dan bahkan memujanya sebagai pengganti objek yang sesungguhnya lebih nyata dan lebih berfaedah. Seperti iklan mie instan yang sekarang sudah menjadi makanan pokok “alternatif” bagi kalangan Rakyat jelata. Bahkan konon para aktivis mahasiswa yang dikenal sebagai pahlawan anti kemapanan, justru lebih sering jadi korban mie instan karena tuntutan keadaan dan sekaligus kebutuhan. Artinya tanpa disadari kita telah menjadi bagian dari “subjek” yang justru melanggengkan “kemapanan” para kapitalis yang sedang menjajah rakyat lewat iklan.

Jika iklan “monolog” (yang disampaikan secara searah dan konvensional di radio dan televisi) itu saja begitu kuat daya “rusaknya” terhadap kesadaran kita. Bagaimana dengan “iklan-iklan” di medsos yang terkadang melibatkan dan mengaduk emosi, perasaan, serta keimanan kita? Sehingga tak sedikit orang yang rela mengeluarkan uang tanpa harus membeli barang. Bukan hanya itu, bahkan rela menjadi sales tanpa bayaran dengan ikut men-share iklan-iklan “penipuan” tersebut. Coba lihat berapa banyak korban “arisan online”, pinjaman online, pasar online, jasa online dan bahkan sedekah online yang diorganisir sedemikian rapi dalam kemasan iklan yang membuat hasrat “konsumtif” kita bangkit. Iklan-iklan itu menawarkan mimpi instan bagi siapapun untuk menjadi lebih cantik, tampan, dan jadi terkenal. Bahkan bisa menyulap siapapun (secara instan) menjadi yakin akan bisa berubah jadi pengusaha, orang kaya, serta menjadi “pahlawan agama” (ulama, ustadz, dan jamaaah) yang dijamin dengan sorga.

Baca Juga:  SDM Unggul, Indonesia Maju

Sekali lagi nampaknya benar kata Rendra rakyat belum merdeka. Dulu mereka jadi abdi para raja, sebelum kemudian jadi budak penjajah. Ketika masa revolusi orde lama, rakyat sekedar jadi massa partai dan elit penguasa. Zaman orde baru rakyat jadi objek pembangunan yang bahkan diinjak-injak hak asasinya. Di massa reformasi, nasib rakyat tidak berubah dan kembali jadi objek permainan para politisi yang berselingkuh dengan para cukong pengusaha. Bahkan di alam dunia maya pun rakyat semakin terjajah dan terjerat oleh jaringan yang bukan saja menguasai dan mengekploitasi, tetapi lebih parah dari itu “membodohi”. Rakyat disuguhi dengan candu-candu khayalan yang memabukkan. Media sosial telah menjadi alat bagi mereka yang kuat (penguasa, pengusaha, dan kaum penjual agama) dengan iklan-iklan mereka yang menghipnotis rakyat untuk menerima posisinya sebagai objek yang lemah tanpa sedikitpun mereka sadari. Bahkan sebaliknya, rakyat dunia maya justru merasa bangga dan puas dengan kepalsuan, yang membuat mereka merasa lebih bahagia dan sejahtera. Terutama dengan janji dalam iklan yang akan membuat mereka akan cepat menjadi orang kaya, pengusaha dan ahli sorga. #SeriPaijo.  [HW]

Muhammad Khodafi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini