Term al-ijtihād al-maqāsidī merupakan istilah baru dalam kajian Ushul fiqh. Meskipun, disadari atau tidak, secara praktis model ijtihad semacam ini sudah diimplementasikan oleh para fukaha sejak abad awal Islam. Bahkan, sejak era sahabat pun, ijtihād maqāsidī sudah menjadi model dalam penalaran istinbāt hukum.
Secara terminologis, ijtihād maqāsidī dapat dipahami sebagai upaya istinbāt hukum dalam rangka merealisasikan prinsip kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan yang dimaksud di sini adalah mencakup lima dasar yang dalam kajian ushul fiqh disebut al-kulliyāt al-khams, yakni: hifz al-dīn, hifz al-nafs, hifz al-aql, hifz al-nasl dan hifz al-māl.
Adapun basis framework ijtihād maqāsidī ini adalah sebagai berikut: (1) merujuk pada teks dan tujuannya (2) mengkombinasi dalil umum dan khusus (3) meraih maslahat dan menolak mafsadat secara absolut (4) memproyeksikan akibat hukum, dan (5) mempertimbangkan relasi antar-maslahat.
Dalam konteks ini, menarik untuk menganalisis ijtihad Umar ibn Khattāb tentang kebijakannya dalam menghukum qishās terhadap seluruh pelaku tindak pidana pembunuhan secara berjamaah. Umar ibn Khattāb berijtihad bahwa para pembunuh secara kolektif tersebut harus dihukum dengan hukuman qishās tanpa terkecuali.
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan penegakan hukum qishās dalam hukum pidana Islam adalah untuk menjamin keselamatan jiwa umat manusia (hifz al-nafs). Oleh sebab itu, penegakan hukum melalui hukuman qishās merupakan upaya Islam untuk mewujudkan kemaslahatan publik berupa jaminan keselamatan jiwa masing-masing setiap individu.
Pertanyaannya, bagaimana argumen ijtihad Umar ibn Khattāb jika dikaitkan dengan dalil QS al-Baqarah [2]: 178 dan QS al-Maidah [5]: 45 yang secara eksplisit menunjukkan bahwa dalam hukuman qishās harus ada unsur sepadan (al-tamātsul) antara pelaku pidana dan korban pembunuhan. Sementara dalam kasus ijtihad Umar ibn Khattāb tidak demikian?
Dengan kata lain, apa justifikasi Umar ibn Khattāb menghukum pelaku tindak kriminal pembunuhan yang dilakukan secara berjamaah terhadap satu korban? Mengapa Umar ibn Khattāb memutuskan untuk meng-qishās seluruh pelaku pembunuhan dan bukan satu orang pelaku saja? Sesuai dengan prinsip keadilan satu nyawa dibalas dengan satu nyawa secara impas (anna al-nafs bi al-nafs).
Minimal ada dua argumen yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, perlu diketahui bahwa dua ayat di atas, sejatinya sama sekali tidak berarti melarang untuk menghukum seluruh pelaku pembunuhan secara berjamaah terhadap satu korban (qatl al-jamā’ah bi al-wāhid).
Secara substansial, ayat-ayat tersebut merupakan penjelasan secara rinci terhadap mekanisme pemberlakuan hukum qishās itu sendiri. Sehingga secara praktis ayat tersebut sejatinya menguraikan rincian-rincian mekanisme hukumnya. Misalnya, nyawa dibalas nyawa (anna al-nafs bi al-nafs), luka dibalas luka (al-ain bi al-ain), merdeka sepadan dengan merdeka (al-hurr bi al-hurr) dan seterusnya.
Kedua, bahwa hukuman qishās itu diberlakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang secara teknis disebut sebagai illat al-hukm. Jadi, hukuman qishās dapat diterapkan kepada setiap orang yang telah melakukan tindakan pidana berupa menghilangkan nyawa (izhāq al-rūh) atau melukai anggota badan orang lain.
Dengan demikian, jika ada kasus pembunuhan terhadap seorang korban, maka pelakunya harus bertanggung jawab dan layak dihukum qishās (dibunuh). Di sini illat hukum ditegakkannya hukuman qishās adalah karena terjadi pembunuhan atau tindakan melukai anggota badan secara sengaja terhadap korban.
Demikian halnya, jika pelaku pembunuhan itu dilakukan secara bersama-sama terhadap seorang korban (qatl al-jamā’ah bi al-wāhid), maka seluruh pelakunya juga harus dihukum qishās, meskipun hanya seorang korbannya. Mengapa demikian? Karena sekali lagi dalam rangka untuk merealisasikan kemaslahatan dalam konteks menjaga jiwa (hifz al-nafs) masyarakat umum.
Selain itu, jika pembunuhan secara berjamaah terhadap seorang korban tidak diberlakukan qishās kepada seluruh pelakunya secara merata, niscaya akan menjadi preseden buruk dalam proses penegakan hukum yang berkeadilan dan tidak tercapainya situasi keamanan di tenggah-tengah kehidupan masyarakat.
Lebih dari itu, jika hukuman qishās tidak diberlakukan kepada para pelaku tindak kriminal pembunuhan secara berjamah seperti halnya dilakukan oleh seorang individu niscaya tindak kriminal tersebut menjadi “celah hukum” yang dapat dimanfaatkan para pelaku kriminal pembunuhan demi menghindari hukuman qishās.
Dengan ungkapan lain, menurut al-Būtī (hlm. 159) bahwa kemaslahatan untuk memberikan efek jera (maslahat al-zajr) dalam hukum qishās tidak dapat direalisasikan kecuali dengan menghukum qishās kepada para pelaku tindak pidana pembunuhan secara berjamaah terhadap seorang korban (inna maslahat al-zajr allatī min ajlihā syuri’a al-qishās lā tatahaqqaq idzā lam yaqtul al-jamā’ah bi al-wāhid).
Jika kasus pembunuhan secara berjamaah tidak di-qishās, maka mereka akan terbebas dari qishās dengan dalih bahwa yang dikenai hukuman qishās adalah hanya pada kasus pembunuhan oleh seorang pelaku terhadap seorang korban (al-nafsu bi al-nafsi) sebagaimana dalam QS al-Māidah [5]: 45.
Oleh karena itu, hukuman terhadap tindakan kriminal pembunuhan terhadap seorang korban, baik pelakunya dilakukan individual atau dilakukan secara berjamaah hukumannya sama, yakni sama-sama di-qishās. Hal itu karena adanya kesamaan illat hukumnya, yaitu sama-sama melakukan tindakan menghilangkan nyawa orang lain (izhāq al-rūh), baik pembunuhan itu dilakukan secara berjamaah ataupun individual.
Dalam konteks inilah, logika ijtihad Umar ibn Khattāb dapat dipahami. Dengan model pemahaman semacam ini, kemaslahatan publik dapat terejawantah berupa jaminan keselamatan jiwa (hifz al-nafs) dari ancaman tindak kriminal pembunuhan dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Dalam literatur fikih, kasus semacam ini sering disebut sebagai kasus qatl al-jamā’ah bi al-wāhid (tindak kriminal pembunuhan seorang korban yang dilakukan oleh pelaku secara bersama-sama). Di sinilah pentingnya ijtihād maqāsidī dalam merespon problematika hukum secara substansial dan rasional. Wallāhu a’lam. [HW]