Merdeka Belajar

Banyak cara dari kita dalam memperingati hari kemerdekaan setiap 17 Agustus ini, mulai dari yang bersifat jasmani, hingga rohani. Dari yang bersifat resmi, seperti upacara bendera, hingga lomba suka-suka. Hingga khataman Qur’an atau membaca manaqib bersama-sama dan mendoakan para pahlawan negara.

Saya tidak ingat kapan terakhir kali ikut upacara bendera, karena memang kegiatan fisik yang satu ini kurang begitu saya sukai. Bukan berarti saya kurang nasionalis atau tidak punya semangat pengorbanan seperti para pahlawan, tapi lebih karena kekakuan seremonialnya tidak sesuai dengan karakter saya pribadi. Bila dianggap berjuang, saya lebih enjoy dan bisa menikmati perjuangan dalam bentuk lainnya seperti menemani belajar teman-teman di kelas. Kalau istilah dramatisirnya, berjuang dalam rangka ikut mencerdaskan anak bangsa. Hehehe. Meskipun pada kenyataannya, saya pribadi yang merasa mendapatkan kemanfaatan lebih daripada mereka, entah berupa tambah cerdas atau tambah kebaikan lainnya. Seperti contoh tambah disiplin.

Sejak awal pulang ke rumah, mengajar adalah fase selanjutnya yang harus kami jalani, anak-anak bapak. Selain sebagai cara mengamalkan ilmu, bapak menjadikan tugas mengajar ini sebagai pendorong proses belajar.

Karena memang, mengajar adalah belajar yang kedua kali.

Sebagaimana pernah saya ceritakan, bapak kami tidak pernah menuntut pencapaian apapun ketika kami mondok. Bapak menganggap cukup, selama kami masih mau di pondok. Tidak pernah menuntut kemampuan membaca kitab kosong, kemampuan menghafal pelajaran, atau bahkan prestasi juara kelas atau prestasi apapun lainnya. Namun apabila kami mampu memberikan satu bukti prestasi, bapak akan dengan senang hati memberi apresiasi.

Bapak tak hanya ngendikan: “wes, pokok gelem mondok iku wes uapik (sudah, pokok masih mau mondok itu sangat bagus)”, tapi juga membuktikannya dalam kehidupan.

Setiap kali lulus sekolah dasar, kami diberi kebebasan memilih mondok dimanapun yang kami mau, atau bila tidak, dipersilahkan mondok di rumah sendiri dan melanjutkan sekolah di sekitar rumah. Bila bingung memilih, bapak biasanya menjelaskan kelebihan dan kekurangan memilih pondok A atau B. Juga kekurangan dan kelebihan memilih sekolah di sekitar rumah.

Baca Juga:  Kota-Kota yang Pernah Disinggahi Imam Al-Ghazali untuk Belajar, Mengajar, dan Beribadah

Namun satu yang seringkali bapak pesankan: kalau bisa harus mondok diluar rumah. Entah setahun dua tahun, atau sampai kapanpun. Bapak tidak pernah memutuskan batas waktu kami mondok.

Kami merdeka menentukan waktu mondok, sebagaimana kami merdeka menentukan metode belajar.

Yang beliau batasi hanya pilihan setelah mondok: “lek wes gak gelem mondok, terserah arep milih endi, ngulang opo sekolah maneh ndek madrasah kene (kalau sudah tidak mau mondok diluar kwagean, terserah mau memilih yang mana, mengajar atau sekolah lagi di madrasah kwagean)”. Bagi yang sudah tamat sekolah di madrasah pondoknya, biasanya setelah boyong memilih langsung mengajar. Namun bagi yang belum tamat, akan melanjutkan sekolah di madrasah kwagean hingga tamat aliyah.

Setelah di kwagean, bapak tidak pernah menguji kemampuan membaca kitab atau menguji penguasaan keilmuan kami sebelum memulai pengajaran, bapak membebaskan kami untuk mengajar sesuai kemampuan dan kenyamanan. Karena memang mengajar menjadi belajar yang kedua dalam arti sesungguhnya bagi kami, maka sebelum mengajar esok harinya, biasanya kami ngaji privat dulu dengan salah satu santri senior. Rutinan ini biasanya berlangsung beberapa tahun, hingga kemampuan kami memadai untuk mengajar secara mandiri.

Kemerdekaan juga diberikan bapak dalam metode kami dalam mengaji kitab, bapak tidak pernah menentukan bahwa mengaji itu metodenya harus begini atau begitu. Bagi beliau, semua metode mengaji itu bagus. Yang tidak bagus itu yang tidak mau mengaji.

Saya menemukan banyak metode mengaji kitab dari beberapa kiai, namun akan saya ringkas dalam tiga metode yang menurut saya mencolok. Yang pertama yaitu kiai yang mengaji hanya sebatas membaca, mulai dari muqaddimah atau pembukaan kitab, beliau membaca lafaz dan harakatnya, dilanjutkan dengan makna gandulnya. Begitu terus hingga akhir. Bapak sendiri menggunakan metode ini selama masa awal-awal mendirikan pondok kwagean. Hingga diceritakan, dulu beliau pernah diminta pengurus pondok untuk membacakan beberapa kitab kuning dalam waktu yang relatif singkat. Kalau tidak salah, bapak berhasil menghatamkan 41 judul kitab dalam waktu setahun. Hanya dibaca saja.

Baca Juga:  Merdeka Belajar dalam Tradisi Pendidikan Pesantren

Kemudian ada salah satu kiai tetangga desa yang mengomentari metode ini: “lek terimo diwoco tok, akeh tunggale seng iso (kalau hanya dibaca saja, banyak yang bisa)”. Mendengar komentar kiai lain itu, bapak hanya tersenyum dan ngendikan: “la piye, wong ancen aku isone ngono tok e (ya bagaimana, orang memang saya bisanya cuman begitu saja)”. Namun diceritakan kemudian, karena memang metode ini banyak diminta oleh santri waktu itu, maka sang kiai yang mengomentari metode bapak ini mengikuti metode ‘hanya baca’ saja, namun dalam setahun hanya mampu mengkhatamkan belasan judul kitab saja.

Metode yang kedua, yaitu membaca kitab sekaligus menjelaskan isinya panjang kali lebar. Penguasaan materi kitab sangat dibutuhkan dalam metode ini. Meskipun mungkin tidak banyak kitab yang dikhatamkan dalam waktu setahun, namun penguasaan materi akan banyak didapat oleh para peserta pengajian.

Dan yang terakhir, metode ngaji dengan membacakan lafaz dan harakat dengan maknanya, juga disertai tambahan sedikit keterangan. Bapak sendiri saat ini menggunakan metode yang ketiga ini. Entah mulai kapan. Tetapi sejak saya pulang ke rumah dan mengikuti ngaji beliau, bapak sudah mulai menyelipi ngaji kitabnya dengan keterangan-keterangan tambahan. Dan biasanya berisi tentang pengamalan keterangan atau pengalaman kehidupan dari isi kitab yang dikaji.

Saya sendiri pernah bertanya pada bapak tentang metode ngaji ihya’ beliau yang setiap tahun selalu berkembang gayanya. Beliau menjawab: “aku ngaji ihya’ wes khatam sekitar peng 18, tapi yo urong iso faham kabeh. Setiap kali baleni, nambah sak itik-sak itik (saya mengaji ihya’ sudah khatam sekitar 18 kali, tapi ya belum bisa memahami seutuhnya. Setiap kali mengulang kembali, setiap kali itu juga bertambah kefahaman saya sedikit demi sedikit)”.

Baca Juga:  Merdeka Belajar dan Pesantren

Keterangan ini memotifasi saya untuk terus belajar, dan tak perlu malu mengakui kekurang fahaman. Asalkan mau terus belajar, maka akan semakin bertambah pengetahuan.

Dari ketiga metode diatas, punya keunggulan masing-masing. Bahkan metode ‘hanya baca’ tak kurang hebatnya memberi barakah pada santri. Ada salah seorang putra dari kiai muhsin semanding, Allahu yarham, yang menceritakan pesan abahnya_menggunakan redaksi saya pribadi: “meskipun ngaji mung diwoco tok, awal sampek akhir, tapi iku barokahe akeh (meskipun ngaji hanya dibaca saja, mulai awal sampai akhir, tetapi tetap mengandung banyak kebarakahan)”.

Menurut bapak, dalam setiap pengajaran yang menjadi kuncinya adalah keikhlasan. Ikhlas gurunya dalam mengajar, ditambah ikhlas muridnya dalam proses, maka selanjutnya adalah barakah bagi keduanya.

Jadi, kesuksesan sebuah pendidikan adalah bukan seberapa banyak penguasaan atau seberapa baik nilai yang tertuliskan, tetapi dari seberapa besar manfaat pengetahuan itu bagi manusia yang mengikuti pendidikan tersebut, dan bagi kemanusiaan dimana mereka hidup didalamnya.

Mari kita terus berproses menjadi pribadi yang lebih baik, untuk selanjutnya menjadi pribadi yang bermanfaat. Tak perlu mendikte cara berproses, sebagaimana tak perlu mencemaskan bagaimana cara kita berproses.

Berproses saja dengan cara kita, asalkan tetap maju, maka kita akan sampai pada tujuan kita. Bahagia dua dunia. [HW]

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini