dalil-terbelah-di-langit-masyarakat

Mungkin kini kita hidup di masyarakat yang secara tidak langsung. Ketika hendak melakukan sesuatu selalu menanyakan dalilnya, tanpa mau tau latar belakang asbabun nuzul bahkan asbabul wurud-nya. Masyarakat yang notabenenya orang awam dan baru mendengar agama kemaren sore kemudian mendengar suatu persepsi yang baru, namun secara terang terangan menolaknya dengan menanyakan kesahihan haliyah itu.

Tak ayal, semua itu terdoktrin oleh para dai dan daiyah yang selalu mengucapkan suatu perkara bahkan menghukumi suatu perkara besertaan dalil dan referensinya. Mungkin memang pantas hal ini disertakan, hanya saja salah penempatan.

Teruntuk mereka yang berada di kalangan pesantren, atau yang berpendidikan agama tinggi justru hal ini menjadi suatu keharusan. Atau kita biasa menyebutnya dalam forum Bahsul Masa’il. Dimana para audiens sudah sangat mumpuni dalam perjamuan tersebut dan bisa mencerna dalam keadaan mentah yang kemudian akan dimatangkannya dengan cara ijtihadnya sendiri.

Lantas, bagaimana dengan masyarakat awam?

Ibarat kata, seorang perantau asing yang sedang sakit  mencari dokter dengan cara bertanya kepada salah seorang perangkat desa. Dan kemudian dijelaskan secara detail spesifik tempatnya tanpa menunjukkan arah jalan menuju dokter tersebut. Hingga dipertengahan jalan selanjutnya bertemu orang yang sama maka terjawablah hanya dengan spesifik tersebut. Ada kalanya ia tidak terima dengan keyakinan tujuannya yang menyebabkan perdebatan.

Ya, lebih tepatnya mereka sebenarnya hanya butuh solusi atau arahan, jalan menuju kesana.

Karena di kacamata masyarakat awam mereka yang menunjukkan dengan spesifik dalilnya akan memberi impact yang sangat luar biasa, terkesan wah. Tak peduli bahwa sebenarnya hukum dengan dalih seperti itu sangat membebani mereka sendiri.

“Disinilah peran santri yang menjadi pendamai penengah diantara ricuhnya statemen amaliyyah yang harus berdalil di kalangan masyarakat, dengan cara menujukkan tata cara bahkan solusi tanpa menghukumi bahwa itu neraka atau surga“, cetus kakak saya.

Baca Juga:  Saat Imam Syafi’i Cerita Kucing yang Diperebutkan dan Buat Geger Masyarakat

Yang menjadi kekhawatiran saat ini, ketika ada segelintir dari mereka yang merasa terbebani dengan dalil-dalil hukum agama, hingga melihat agama sebelah mata bahwa agama sebagai beban hidupnya bukan sebagai solusi dalam hidup nya. Hingga mereka mencari kebahagiaan lain diluar sana.

Sebenarnya mereka sudah mau melakukan salat, zakat, bertanggung jawab dalam menafkahi, tidak menyakiti sesama itu saja sudah alhamdulillah tanpa adanya bumbu-bumbu dalil yang menjadi almamater ustaz zaman sekarang.

Andai suatu perkara itu ingin terhukumi dengan sebenar-benarnya hukum dan mengetahui besertaan dalilnya. Ya monggo saja dipakai sendiri. Tapi jangan sama ratakan dengan masyarakat awam secara keseluruhan untuk menerimanya.

Seperti yang didawuhkan Mbah Yai Hamid, Pasuruan. Bahwa beliau selalu memakai hukum yang sangat tegas untuk dirinya sendiri, dan memberikan fatwa yang sangat lembut dengan jutaan solusi untuk dihadapkan masyarakat awam.

Tugas seorang ulama mendamaikan, menenangkan, juga mengarahkan berdasarkan porsi nya siapa yang ia hadapi. Bukan hanya menghadapi dengan cara mengatakan secara mentah-mentah suatu materi itu. Kebenarannya sudah benar, hanya saja penempatannya tidak benar dan sangat berbahaya jika diteruskan pada rantai selanjutnya.

Setidaknya santri yang sebagai pewaris para Alim ulama’ merangkul lebih lagi mereka yang berada dikalangan bawah, yang jarang tersentuh oleh beliau yang berada di posisi sangat terhormat. berdakwah dengan penuh kekerabatan, masuk dan menyelam dalam dunianya, melihat sebenarnya apa yang mereka butuhkan.

Ketenangan jiwa kah? ketetapan hukum kah? atau solusi dalam permasalahan hidupnya.

Mengarahkan tanpa menghakimi.

Menunjukkan tanpa menjudgetifikasi.

Agar rahmatan lil ‘alamin tersampaikan dengan indah, tanpa ada amaliyyah dholalah, ilmu yang nafi’ah barokah fiddini waddunya hattal akhirah.

Demikian sedikit tulisan dari saya, mohon maaf jika salah tempat dan tutur kata. Wallahu A’lam. [HW]

Azfa Zulfa
Pelajar di Yayasan Al-Muhajirin Batam Kepulauan Riau

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini