Sebenarnya ini tema lama. Tapi barangkali ini akan selalu relevan disampaikan berulang-ulang di tengah kehidupan sosial bagi umat beragama yang heterogen seperti di Indonesia ini. Pemahaman ini saya ambil dari teladan bukan ceramah yang diberikan Ustaz Abdul Shomad, ustaz idola saya.

Bukan. Bukan Ustaz Abdul Shomad yang dai kondang itu, yang orang-orang sedang ramai membicarakan kontroversi ceramahnya. Ceramah subuh yang kebetulan menyinggung salah satu agama lain, yang sebenarnya sudah lama namun belakangan viral kembali.

Ustaz Abdul Shomad yang saya maksud adalah pengasuh Omah Sinau Koma, Jombang. Ustaz yang tidak hanya memberikan nasehat atau ceramah melalui lisan maupun tulisan-tulisannya, namun juga sering memberikan teladan-teladan patut.

Begini, bagi seorang Muslim di Indonesia, cara berpikir yang subjektif; seolah-olah menjadi Muslim mempunyai kedudukan istimewa di hadapan penganut agama lain di Indonesia yang karena Islam adalah agama mayoritas dalam bangsa ini harus dihilangkan, agar Islam benar-benar menjadi “rahmatan lil alamin”. Tidak hanya rahmat bagi pemeluk Islam saja, namun bagi semua manusia, dan semua makhluk pada umumnya.

Islam harus dipahami sebagai rahmat yang lintas kepercayaan, lintas budaya, lintas bangsa, lintas golongan, dan lain sebagainya. Jadi paham “rahmat bagi semesta” (alamin) ini bisa ditempuh melalui sikap inklusivitas dalam beragama di tengah kehidupan dan masyarakat yang majemuk. Akan menjadi masalah bila cita-cita rahmat bagi semesta ini ditempuh melalui jalan kebalikannya; eksklusivitas. Atau dengan jalan dakwah yang menurut saya adalah egoisme dalam beragama; menegakkan syariat Islam secara sempurna yang dalam bahasa Arab berarti “kaffah“.

Selain itu, pemahaman dikotomis juga masih kerap menyelimuti masyarakat beragama meminjam kata umat Islam sebagai umat mayoritas ataupun masyarakat sekuler saya sebut saja sebagai masyarakat abangan yang selama ini diasumsikan sebagai golongan yang menjadi kebalikan dari umat yang religius menjalankan ajaran agama. Masyarakat seringkali menyempitkan istilah Islam hanya sebatas pos-pos keagamaan secara formal.

Baca Juga:  Membaca Fenomena Berislam: Genealogi dan Orientasi Berislam Menurut Al-Qur’an

Ambil contoh seperti ini, banyak orang yang malas bekerja untuk kepentingan umum, hanya karena ia merasa tidak bekerja di lingkungan Islam. Sebaliknya, mereka yang bekerja untuk kepentingan umum merasa bahwa mereka tidak bekerja untuk Islam. Begitu pula mereka yang bekerja untuk umum merasa ditentang oleh Islam yang “konservatif“.

Misalnya banyak pemuda Islam yang tidak mau bekerja untuk lingkungan, karena mereka merasa tidak bekerja untuk Islam. Sebaliknya, mereka yang bekerja untuk sebuah LSM yang mengurus lingkungan, tidak merasa bahwa sebenarnya mereka bekerja untuk Islam.

Contoh lain lagi. Misalnya, soal keadilan. Tidak boleh ada standar ganda; apa yang tidak adil bagi orang Islam juga harus tidak adil untuk lainnya. Begitu juga sebaliknya.

Bila seluruh umat beragama, khususnya umat Islam, mau berpikir seperti di atas walaupun sebenarnya ini naif, maka ceramah kontroversial yang telah lalu oleh dai kondang Ustaz Abdul Shomad; mengatakan bahwa salib terdapat jin kafir, hingga menghina Rina Nose yang memutuskan melepas hijabnya, tidak akan terjadi.

Apa yang disebut istiqamah, ialah mengenai agama itu sendiri; sebagai payung yang mengayomi siapa saja. Sedangkan penyampaiannya, sosio-kulturalnya, kebudayaan masyarakatnya, dapat berubah sesuai dengan kebutuhan perkembangan sejarah dan masyarakatnya, tanpa mengubah hakikat dan esensi agama tersebut.

Hanif N Isa
Pegiat Komunitas Seni, Sastra dan Budaya Ngopi Tumpah. Alumni PP. Tahfidzul Quran Al-Hikmah Purwoasri Kediri. Sekarang mengabdi di PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini