Saat ini kita memasuki era new normal. Efek domino dari pandemi telah menguras berbagai sektor. Masyarakat bukan hanya dihadapkan dengan persoalan kesehatan dan ekonomi, tetapi juga persoalan pendidikan. Karena dampak covid-19, pembelajaran di ranah pendidikan kemudian dilakukan secara online (daring), berbagai kanal media seperti media sosial (medsos), zoom, google meeting dan platform lainnya menjadi media alternatif untuk mengisi ruang intelektual masyarakat.
Pembelajaran Online ini juga terjadi pada pendidikan agama, yang sudah ikut beralih ke medsos. Pendidikan agama saat ini cukup masif digalakkan di medsos oleh para ustaz, baik yang memiliki otoritas dan kapasitas keilmuan (seperti kalangan ustaz pesantren) maupun ustaz virtual yang hanya bermodalkan belajar agama secara otodidak ke mbah Google dan Youtobe. Keduanya sama-sama berupaya menggaet massa yang notebene-nya generasi milenial. Mulai dari narasi yang radikal hingga moderat, ikut memenuhi ruang-ruang virtual medsos untuk mempengaruhi jemaah virtualnya.
Generasi milenial sangat akrab dengan medsos. Generasi ini juga banyak yang belajar ilmu agama melalui internet dan medsos sekaligus. Sehingga seringkali pemahaman keagamaannya kaku dan cenderumg ekslusif. Karena yang ada hanya transfer of knowledge, tanpa diimbangi dengan sikap kritis.
Di tengah merebaknya belajar agama di medos, sangat penting bagi kita dalam memilih media pembelajaran agama, khususnya pendidikan agama Islam. Karena banyak mazhab yang bertengger di ruang-ruang virtual yang mengajarkan agama secara tekstual dan radikal bahkan cenderung ekstrem dengan menyalahkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Salah satu ustaz virtual yang viral beberapa waktu lalu adalah Felix Siauw (ex-HTI). Ia sempat menjadi bahan perbincangan di timeline medsos penulis, terkait dengan upayanya menafsirkan kata “hikmat” pada sila keempat pancasila dengan mengutip QS. Al-Jumu’ah Ayat 1. Ia membaca dan menafsirkan ayat tersebut secara serampangan, tanpa mengindahkan Ilmu Balaghah, ilmu Nahwu dan Shorrof-nya, serta perangkat ilmu yang lain sebagai media ilmu untuk menafsirkan Al-Quran. Hal ini jelas menunjukkan bahwa ia menafsirkannya dengan landasan nafsu, bukan Ilmu.
Ia pun secara radikal membaca surat tersebut dengan berdasarkan hafalannya. Felix kemudian membaca potongan ayat tersebut, “Sabbaha lillahi ma fissamawati wal-ardl?”. Padahal yang benar adalah “Yusabbihu lillahi ma fissamawati wal-ardl”. Selain itu, karena di awal sudah salah, diakhir ayat pun juga salah, ia melanjutkannya dengan membaca “al-malikulquddus al-‘azizul-hakim”, padahal yang benar “al-malikulquddus al-‘azizil–hakim”. Felix nampak seperti memberikan pencerahan ilmu agama, padahal justru yang dilakukannya menunjukkkan miskinnya pengetahuan agama Islam.
Hal tersebut merupakan bentuk dari radikalisme agama. Hal ini senada dengan pendapat Ahmad Syafi’i Ma’arif bahwa radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan cara pengungkapan keberagamaan seseorang. Menafsirkan Al-Quran tanpa landasan keilmuan yang mumpuni merupakan tindakan radikal dalam kacamata agama. Efek jangka panjangnya ia akan bisa menjalar kepada sikap ekstremis bahkan teroris. (Islam and the Challenge of Managing Globalization, 2002).
Ibarat fenomena gunung es, sejatinya masifnya narasi radikalisme merupakan salah satu tahapan sebelum menuju ke sikap beragama yang ekstrem. Yang nampak di permukaaan seakan kecil, tetapi dibalik itu terdapat agenda besar yang terselubung. Generasi milenial kita saat ini sudah banyak terpapar virus radikalisme, karena salah dalam mencari media pembelajaran agama kepada ustaz yang tidak otoritarif dalam pengetahuan agamanya.
Berbeda dengan ustad virtual tersebut, saat ini sebenarnya banyak kanal ngaji keagamaan dari ustad virtual ala pesantren. Mereka lebih mengedepankan dakwah moderasi, misalnya pengajian kitab yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla dengan ngaji Ihya’ dan Al-Munqid Minal Ad-dholal, Abdul Moqsith Gozali dengan kajian kitab Fiqh Fathul Mu’in, dan Prof. Machasin dengan ngaji Tafsir Faidlur Rahman, serta para ustad pesantren yang otoritatif lainnya.
Kajian ustaz virtual khas pesantren ini, mengintegrasikan keilmuan teks-teks klasik dengan konteks keilmuan yang lain. Satu rumpun keilmuan agama, misalnya Fikih; dikaitkan dengan rumpun keilmuan yang lain seperti Ushul Fiqh, Filsafat Barat, Ilmu Tafsir, ilmu Komunikasi, Psikologi, Kesehatan dan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini menandakan bahwa khazanah keilmuan itu sangat luas dan perlunya secara moderat pengintegrasian berbagai bidang keilmuan agar mampu menghasilkan produksi pengetahuan yang segar dan kontekstual.
Secara keilmuan para ustaz virtual ala pesantren ini memiliki sanad keilmuan yang jelas dan runut. Dan mereka butuh waktu puluhan tahun, sehingga bisa memiliki kapasitas dan otoritas dalam menyampaikan ilmu agamanya. Tidak seperti para ustaz yang belajar agama secara cepat dan otodidak tersebut.
Masifnya pengajian virtual ini merupakan salah satu dari berkah pandemi, terutama sejak diterapkannya WFH dan PSBB. Masyarakat kemudian bisa lebih banyak waktu mengaji ilmu keagamaan secara leluasa tanpa ada sekat ruang dan waktu. Tetapi membandingkan realitas di atas, idealnya kita (sebagai generasi milenial) lebih memilih kanal media ala pesantren untuk dijadikan basis pemahaman keagamaan. Serta pentingnya kita memiliki sikap kritis dalam mengikuti pengajian virtual, agar mampu menghasilkan pemahaman agama yang toleran dan inklusif.
Kita perlu mengupayakan deradikaliasi para ustaz virtual yang tidak otoritatif tersebut dengan memasifkan ngaji virtual ala pesantren. Karena ngaji virtual berbasis pesantren menjadi oase baru bagi kita untuk dapat memuaskan dahaga ilmu agama yang kering ini. Agar kita beragama tidak merasa benar sendiri dan lebih mengedepankan sikap moderat dalam menjalankan kehidupan. [HW]