Ngaji Kitab Al-Akhlaq Aristoteles, Ethica Nicomachea ke-6, sekilas Nicomachea dalam narasi al-Farabi yang tercatat dalam karyanya, “al-Jami’ Bayna al-Hakimain”. Ada yang request saya menulis kajian ringkasan kitab al-Jami’ Bayna al-Hakimain dan al-Madinah al-Fadhilah. Sebagian lagi reguest agar saya ngaji kitab al-Madinah al-Fadhilah, sebab relevan untuk konteks sekarang. Request ini saya tampung. Semoga bisa direalisasikan di waktu yang lain.
Kali ini kita akan menjelaskan Nicomachea dalam narasi al-Jahidz sekilas saja. Ada beberapa kitab karya al-Jahidz yang terkenal, yaitu al-Bayan wa al-Tabyin 4 jilid, al-Hayawan 7 jilid, Risalah al-Ma’asy wa al-Ma’ad, al-Tarbi’ wa al-Tadwir.
Pemikiran Aristoteles yang ada di Nicomachea yang diserap oleh al-Jahidz adalah soal moderasi atau jalan tengah dalam akhlak dan sastra. Dr. Taufiq al-Thawil dalam bukunya, Falsafah al-Akhlaq, menegaskan bahwa Aristoteles menekankan sikap, pemikiran, dan akhlak yang moderat (al-i’tidal/ moderation). Sebagaimana al-Jahidz dalam kitabnya, al-Bayan wa al-Tabyin, menyerap moderatisme yang ada dalam Nicomachea.
Pertama, moderatisme etika. Al-Jahidz menyatakan bahwa keutamaan/keunggulan akhlak ada pada sikap moderat sebagai jalan tengah. Sikap berlebihan, melampaui batas, dan reduksionis, yang disebut dengan tafrith wa al-ifrath, merupakan sikap yang tercela. Dicontohkan seperti sikap pemberani adalah etika moderat di antara pengecut dan ngawur; sikap dermawan adalah etika moderat di antara pelit dan boros (isyraf); dan akhlak yang lainnya.
Sebetulnya, apa yang dikatakan al-Jahidz tentang moderatisme etika itu juga dikatakan oleh al-Mawardi di dalam kitabnya, Adab al-Dunya wa al-Din, Syekh Muhammad di dalam kitabnya Taysir al-Khalaq, dan kitab-kitab yang lain.
Kalau kita membaca secara seksama, maka kita akan mendapati bahwa moderatisme etika tersebut dijelaskan dengan gamblang oleh Aristoteles di dalam kitab Nicomachea.
Kedua, moderatisme dalam konteks kesusastraan. Al-Jahidz dalam kitab al-Bayan wa al-Tabyin. Menurut al-Jahidz, bahasa dan diksi memiliki tingkatan atau gradasi sesuai dengan kelas sosial pengguna bahasa itu sendiri. Singkatnya, al-Jahidz mengkelaskan Bahasa ke dalam tiga kelas;
1. Bahasa paling tinggi. Biasa digunakan kelas para sastrawan, yang setiap kata dan ucapannya yang sering kali sulit tertangkap basah makna atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Atau bahkan ucapannya terasa asing ditelinga manusia pada umumnya.
2. Bahasa paling rendah yang biasa digunakan oleh masyarakat yang kelas sosialnya berada di paling bawah, yang biasa menggunakan diksi dan bahasa yang keras, kasar, dan sarkastik. Diistilahkan dengan al-wahsyiyyah.
3. Bahasa pertengahan yang digunakan masyarakat pengguna bahasa yang berada di tengah antara sastrawan dan pengguna bahasa sarkastik. Bahasa pertengahan ini tidak sulit dipahami, tidak asing, dan sekaligus tidak sarkastik. Inilah yang menurut al-Jahidz sebagai bahasa yang baik.
Al-Jahidz semakin mantap menyerap moderatisme yang disuarakan Aristoteles di dalam Nicomachea, lantaran ia menemukan hadis Nabi yang mengatakan, “khairu al-umur ausathuha” (sebaik-baiknya sesuatu adalah yang di tengah/jalan tengah). Ternyata, Aristoteles dan Nabi Muhammad adalah sama-sama menganjurkan sikap, akhlak, dan pemikiran moderat. [HW]