Unorthodox; Pemberontakan atas Kemapanan Identitas Beragama

Asher Lev telah mengawalinya, membongkar tabir-tabir eksklusivitas agama dengan komitmennya akan seni. Seni rupa atau seni lukis yang dianggap haram dalam keyakinan agama dan komunitasnya, Yahudi Hasidik (ortodok), telah menjadi perlawanannya. Gejolak atas iman dalam dirinya menjadikannya gelisah dan gundah gulana sepanjang hari.

Apalagi, Asher bukan lah orang biasa dalam komunitas agamanya. Ia adalah anak seorang Rabi (ulama’ besar Yahudi), bahkan pemimpin para Rabi, Reb Aryeh Lev. Ayahnya adalah seorang pendakwah, yang memiliki beban moral atas penjagaan keimanan dengan ketat.

Sudah hampir dua tahun penulis menyelesaikan membaca kisah Asher dalam bukunya Namaku Asher Lev (My Name is Asher Lev) karya Chaim Potok yang diterjemahkan oleh Gading Publishing, 2017. Di mana, buku itu juga menjadi salah satu buku favorit almarhum Gus Dur. Namaku Asher Lev adalah remaja yang hidup dalam lingkungan keluarga Yahudi Hasidik Ladover Broklyn Amerika yang taat. Ia kelak akan menjadi pelukis besar.

Buku yang cukup tebal itu mengisahkan kisahnya yang hidup dalam ajaran Yahudi yang sangat kaku, mulai dari ritus keagamaan yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari hingga perayaan keagamaan lainnya. Dalil keagamaan tidak boleh sedikit pun dilanggar, dan perintah agama menjadi hal yang wajib untuk dipatuhi. Sedangkan di masa remaja, ia menemukan hobi baru yang terus ia tekuni, di mana hobi itu adalah larangan agamanya – melukis.

“Dalam tradisi Yahudi Hasidik Ladover, melukis diidentikkan dengan perilaku kaum Goyim, sebuah sebutan untuk orang kafir dalam tradisi Yahudi.” Percakapan itu berulang kali ada dan menganggap bahwa melukis bukan perilaku orang Yahudi yang taat.

Pemberontakan dilakukan Asher setiap harinya, dengan selalu melukis. Ia di sekolahkan di sekolah agama yang bagus, agar bisa memahami taurat dengan baik. Tapi, Asher tetap tidak memperhatikan pelajarannya, yang ada ia hanya melukis dan melukis. Sampai, sepulang sekolah pun ia berkunjung ke salah seorang pamannya untuk belajar melukis.

Baca Juga:  Cadar, Jenggot dan Celana Cingkrang

Saat tumbuh dewasa, kemarahan dan teguran ayahnya menjadi konflik setiap hari. Hingga amarahnya sampai puncak. Ketika Asher dewasa dan mengikuti pameran lukis internasional, di mana lukisan Asher serupa perempuan telanjang dan salib dinobatkan sebagai lukisan terbaik – Ia disebut-sebut sebagai Picaso baru. Ayahnya marah besar, Asher dicap sebagai anak yang sudah melecehkan agamanya. Di mana salib adalah perlambangan nasrani, agama yang dulunya bersinggungan dengan Yahudi. Begitulah benturan agama dan kesenian dari Asher Lev.

Kisah lainnya, dari Esther Shapiro yang diperankan oleh Shira Haas, berasal dari komunitas Satmar Hasidik, Yahudi Ortodok. Ia adalah seorang Yahudi pemberontak dari Williamsburg, Brooklyn, Amerika Serikat. Perlawanan lahir batin remaja sembilan belas tahun itu diceritakan dalam sebuah film arahan Maria Schrader, yang berjudul Unorthodox, dan tayang 26 Maret lalu.

Film yang diakuinya terilhami dari buku Unorthodox; The Scandalous Rejection of My Hasidic Roots karya Deborah Feldman empat episodenya menyorot polemik kebatinan Esty atas idealitas kehidupan dan tafsir atas agamanya. Hingga akhirnya Esty membongkar kemapanan identitas itu.

Esty yang berumur empat belas kala itu mendapat nasib yang malang- yakni pernikahan dini. Esty dijodohkan oleh Rabi-nya dengan Yanky, yang diperankan Amit Rahav. Pernikahan yang berbalut aturan hidup yang seksis hingga Esty juga merasakan bahwa dirinya hanya dijadikan sebagai objek seks belaka.

Di tengah era modern dan kebebasan, Esty merasa dirinya terbelenggu akan aturan-aturan itu, hingga pada waktunya ia kabur ke Jerman. Di sana Ia banyak bertemu dengan teman-teman yang beragam dan sekuler. Ia bertemu dengan musikus multietnis. Di sana ia mengobrol banyak hal terkait kebebasan, orientasi seksual, hingga genoside holocaust (genosida yang menyisakan luka panjang bagi orang Yahudi).

Baca Juga:  Belajar Pada Konflik (Islam-Kristen) di Aceh: Bagaimana Hakikat Beragama?

Pada suatu ketika keluarganya dan Rabi-nya yang di Amerika mengkhawatirkan Esty. Rabi-nya pun memerintahkan Yanky dan sepupunya untuk menjemput Esty di Jerman. Pertemuannya membuka pintu dialog kepada Yanky atas kepatuhan komunal ataukah hasrat untuk melawan kepatuhan itu- sehingga mampu membuka derita dalam benak pernikahannya.

Pernikahan itu menyisakan banyak luka kepada Esty, atau bahkan Yanky. Konsultasi pernikahan atau edukasi pra nikahnya penuh ajaran bias gender. Selain itu banyak pula aturan-aturan kehidupan paska nikah, kehidupan sosial-masyarakat yang tidak adil dan melelahkannya.

Kemapanan identitas itu kerap kali membelenggu diri kita. Agama seolah statis dan tidak menunjukkan wataknya yang kasih sayang. Agama menjadi tidak terbuka terhadap ilmu pengetahuan, seni, dan kebudayaan. Aturan-aturan yang ketat dan tidak baik pada era dan tempatnya. Ketidakadilan gender dan sosial itu juga masih secara tidak langsung berlaku dalam agama-agama.

Praktik demikian masih sering terjadi di masyarakat, atas dalih-dalih agama mengatur dan membatasi cara main relasi antar orang dan antar suami-istri. Melanggengkan praktik-praktik misoginis, seksis, dan bias. Bahkan, objektivikasi perempuan sebagai pemuas hasrat disakralisasi, hingga pada keyakinan akan poligami.

Uraian di atas menggambarkan bahwa pemahaman agama kita yang kalut dan kolot akan menjerumuskan kita pada pertikaian. Agama ataupun dalam hal ini teologi dalam pandangan Hassan Hanafi adalah sebuah hermeneutika, bukan merupakan ilmu yang suci. Teologi merupakan ilmu sosial yang tersusun secara kemanusiaan. Karena teologi adalah ilmu yang antropologis, ilmu kemanusiaan, bukan ilmu ketuhanan. (Agama, Ideologi, dan Pembangunan, 1991)

Dari sana lah teologi merefleksikan realitas sosial, fenomena sosial-politik. Oleh karena itu, Hassan Hanafi menambahkan bahwa setiap kelompok masyarakat dalam kelompok sosial dalam sebuah masyarakat yang berkepercayaan membaca kepentingan-kepentingannya sendiri dan mempertahankannya dalam sistem kepercayaannya. Dalam kata lain, setiap orang yang hidup bermasyarakat dan berkeyakinan perlu untuk menelaah kemaslahatannya dan mempertahankan kemaslahatan itu dalam sebuah sistem yang dipercayai atau disepakati. [HW]

Al Muiz Liddinillah
Pegiat literasi dan peneliti di Pusat Studi Pesantren Qomaruddin Gresik

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] bahkan dunia mengecamnya. Mengapa? Karena sistem telegraf temuannya dianggap baru dan tidak ortodoks, menyalahi kemapanan, dan karenanya menjadi obyek sinisme dan kecaman semua kalangan, bahkan pihak […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini