pengetahuan-piranti-terbaik-untuk-masa-depan

Kita adalah manusia; makhluk yang tak memiliki piranti apa pun untuk menyatakan—dengan bangga—mengenai persoalan masa depan bahwa kita akan baik-baik saja mapan di masa di mana belum tergambarkan kejadiannya kelak seperti apa—meskipun ada sebagian orang yang diberi intuisi atau semacam keistimewaan dari sang adikodrati sehingga ia bisa melihat masa depan. Kemisteriusan—masa depan—ini menjadikan manusia ada  yang dihinggapi kecemasan (dalam tataran negatif) dan ada sebagian yang lain justru terpacu untuk begitu rupa mengupayakan agar selamat—mapan—di masa depan. Dan, pengetahuan adalah pirant terbaik untuk masa depan.

Kegagapan untuk membaca masa depan bukanlah sebuah kesalahan yang patut disesali dengan mendramatisir keadaan, terutama terhadap diri sendiri. Sebab hal tersebut tak ubahnya sebagai isyarat yang menunjukkan ia memang tak sempurna dan rapuh, atau ia tak memiliki kuasa atas mekanisme kerja alam; selain berusaha.

Dalam kerapuhan, seorang fatalis biasanya berujar bahwa hidup perlu dinikmati dengan seksama dan dirayakan saja tiap detik yang terjadi atau tak usah repot-repot jungkir balik mengejar masa depan, karena rezeki sudah ada yang mengatur. Ingin rasanya saya menjaduk-jadukkan kepala, mendengar kalimat demikian. Yang biasanya dimulai dari ajakan serius melakukan aktivitas tertentu agar di masa depan dapat ‘Survive’ tapi malah ditolak mentah-mentah dan diperparah dengan mendapati kesinisan dari yang diajak.

Mungkin hal itu—masa depan—bukan masalah ketika kita terlahir sebagai anak dari Bill Gates atau Jeff Bezos, atau itu sama sekali bukan masalah bila kita adalah anak-cucu dari The bigest phylantropy in the wolrd Andrew Carnegie, di mana Carnegie ialah seorang yang memberikan sumbangan kepada Filipina agar negara tersebut dapat bebas dari belenggu penjajahan. Menjadi anak dari mereka, setidaknya dalam bayangan sederhana yang licik, kita akan mendapatkan warisan materi. Atau kalau pun bukan materi, setidaknya kita akan dibiayai ketika hendak masuk ke salah satu universitas terbaik di dunia.

Baca Juga:  Berjihad Melawan Kebodohan

Alih-alih anak atau keluarga dari mereka, yang ada diri kita adalah seorang manusia yang sama sekali tak sebanding apa-apanya daripada para tokoh tadi. Membayangkan menjadi bagian keluarga atau kerabat mereka merupakan tindakan utopia paling menggelikan. Tapi, bukankah kita lebih banyak hidup di alam imajinasi—yang membuat kita lebih banyak menghayal—ketimbang mengaktualisasikan diri? Jawaban ada di diri kita masing-masing, tentunya.

Seperti saya nyatakan di atas, bahwa kita setidaknya masih mempunyai piranti terbaik berupa ilmu pengetahuan sebagai rekan setiap manusia untuk menata, mempersiapkan, menjelajah, bahkan memapankan masa depan. Hal ini menjadi kabar baik yang perlu disambut bila perangkat terbaik manusia berupa akal dalam diri kita masih sehat dan normal. Melalui pengetahuan, langkah-langkah yang akan ditempuh dapat diapaki dengan jelas.

Ia—pengetahuan—adalah benda abstrak yang terserak di segala penjuru dan tempat. Ia tak di monopoli oleh pasar, tak juga diproduksi tunggal oleh kapitalis, apalagi ditimbun oleh seorang licik. Sebab, keabstrakan pengetahuan setidaknya akan membuatnya lapuk dan terurai apabila ia tidak dicangkokkan kepada orang lain. Menyadari keterserakan pengetahuan di mana pun sudah semestinya memberikan kemekaran di hati kita. Kita bisa mengambil, memungutnya, dan mengendapkannya di dalam diri sehingga tubuh kita terisi oleh hal yang dapat memberi kemanfaatan, tidak malah diisi oleh kekosongan dan kehampaan  yang membius yang disebabkan kemalasan mengumpulkan pengetahuan.

Jalan paling mungkin untuk menginternalisasikan pengetahuan ialah dengan belajar, tak lain. Mungkin telinga Anda bosan mendengar kalimat semacam ini karena semenjak Anda lahir sampai seusia sekarang bahkan sampai lusa dam masa depan, belajar menjadi satu keniscayaan logis menjadi kosa kata yang selalu diucapkan. Apalagi yang kadang Anda—termasuk saya—keluhkan ialah betapa melelahkan, membosankan, dan meletihkannya aktivitas bernama belajar itu.

Baca Juga:  Tentang Sains (2)

Kegiatan tersebut ternyata tak bisa dan tak khatam bila dilkukan hanya setahun, dua tahu, sepuluh tahun . Bahkan dalam pamelo lama belajar ialah aktivitas seumur hidup manusia, ia juga proses kreativitas mencicil ilmu pengetahuan  yang tak ada batasnya. Sehingga siapa pun yang merasa ‘Sudah’ belajar dan lantas mengambil keputusan untuk istirahat, sejatinya ia sedang memulai proses pengkaburan pengetahuan tersebut.

Petuah tersebut setidaknya bukan omong kosong. Kita dapat menyadarinya bahwa setiap perguliran waktu dan pergeseran masa, pengetahuan selalu berkembang. Ia serupa manusia yang semakin berkembang lewat perkawinan, pengetahuan pun demikian. Ambil contoh misal antara persilangan filsafat dan pendidikan yang akan melahirkan filsafat pendidikan, dan persilangan-persilangan pengetahuan yang lain.

Tapi kendatipun begitu jamaknya pengetahuan dengan segala tempat, jenis, persilangan, dan perubahan, itu tak lantas menjadikannya seksi untuk dijamah. Kita kadang kali kerap memilih menghamba terhadap kebodohan dan keangkuhan diri, bukan malah berjabat tangan dengan pengetahuan.

Padahal kebodohan tak lain adalah musibah tersebar umat manusia, ia adalah parameter terbaik untuk merobohkan suatu negara apalagi peradaban. Bahkan: bila Anda ingin mengusai orang bodoh, maka bungkuslah sesuatu dengan agama—Ibnu Rusyd.

Kebodohan, betapa pun kasar kosa kata tersebut diucapkan, namun nyatanya dalam dimensi ruang dan waktu ia akan selalu ada. Apalagi bila kita menghendaki masa depan bermartabat sebagaimana didamba-dambakan oleh tiap manusia—terkecuali kita bukan manusia. [HW]

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini