Larangan Nikah Mut'ah dalam Islam

Beberapa hari yang lalu, kawasan Puncak Bogor sempat dihebohkan banyaknya turis dari Timur Tengah yang berkunjung ke sana. Hal ini dampak dari mulai  dilonggarkannya aturan PSBB  beberapa Kota di Indonesia untuk menghadapi “normal baru”.  Sehingga dampak dari hal itu beberapa objek wisata menjadi ramai dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah, termasuk wisatawan manca negara yang memang semenjak awal tahun 2020.  Salah satu wisatawan yang sering menjadi pengunjung tetap kawasan Puncak Bogor adalah wisatawan yang berasal dari Timur Tengah. Wisatawan dari daerah ini sering dikonotasikan dengan hal negatif karena beberapa kasus ditemukan bahwa di kawasan tersebut ada praktek prostitusi yang berkedok nikah mut’ah.

Nikah mut’ah  atau kawin kontrak termasuk jenis pernikahan yang dikenal pada masa jahiliyah. Dulu pada awal-awal Islam, nikah mut’ah diperbolehkan kemudian dilarang. Sebagaimana ucapan imam al-Syafi’i: “aku tak pernah tahu satu pun perkara yang dilarang kemudian diperbolehkan kemudian dilarang lagi kecuali nikah mut’ah”.

Menurut Yusuf al-Qaradawi, rahasia diperbolehkannya nikah mut’ah pada masa itu adalah karena masyarakat Islam waktu itu masih berada dalam masa transisi, masa peralihan dari Jahiliyah kepada Islam. Sedangkan perzinaan di masa Jahiliyah merupakan suatu hal yang biasa dan tersebar di mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan oleh sebab jauhnya mereka dari istri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat.

Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik. Sedang bagi mereka yang kuat imannya berkeinginan untuk kebiri dan mengimpotenkan kemaluannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Mas’ud berikut:

Baca Juga:  Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Transaksi Order Fiktif Untuk Mencairkan Voucher Shopee

حدثنا محمد بن المثنى ، حدثنا يحيى ، حدثنا إسماعيل ، قال : حدثني قيس ، عن ابن مسعود رضي الله عنه ، قال : كنا نغزو مع النبي صلى الله عليه وسلم ليس لنا نساء ، فقلنا : يا رسول الله ، ألا نستخصي ؟ ” فنهانا عن ذلك

Artinya: Muhammad bin al-Muthanna menceritakan kepada kita, Yahya menceritakan kepada kita, Isma’il meceritakan kepada kita. Ia berkata: Qais bercerita kepadaku, dari Ibn Mas’ud RA berkata: “kami pernah berperang bersama Rasulullah s.a.w. sedang istri-istri kami tidak turut serta bersama kami, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh kami berkebiri? Maka Rasulullah s.a.w. melarang kami berbuat demikian.

Mayoritas fukaha’ dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan bahwa nikah mut’ah itu dilarang dan akadnya menjadi batal. Pendapat ini diambil berdasarkan kesimpulan atas dalil-dalil berikut:

  1. Al-Mu’minun ayat 5-7

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥) إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٧)

Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa (6). Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas (7).

Ayat ini menerangkan larangan melakukan senang-senang dengan wanita (istimta’ bi al-nisa’) kecuali dengan dua jalan, yaitu menikah dan memiliki hamba sahaya. Mut’ah bukanlah termasuk pernikahan maupun kepemilikan hamba sahaya yang sah. Selain itu dalam nikah mut’ah, perpisahan bukan karena talak dan selanjutnya tidak ada nafkah serta tidak adanya hak mewaris.

Hadis-hadis

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ وَاللَّفْظُ لَهُ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِمَا، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ لِابْنِ عَبَّاسٍ: إِنَّ النَّبِيَّ  صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ: ” نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ ”  (رواه النسائي)

Baca Juga:  Dari Islam Perspektif sampai Islam Inklusif

Artinya:

Muhammad bin Mansur memberitahu kami, dan Harith bin Miskin (juga memberitahu kami) dengan cara membaca padanya sedangkan saya mendengarkannya. Redaksi hadis ini milik Harith bin Miskin, dari Sufyan dari al-Zuhri dari al-Hasan bin Muhammad dan Abdillah bin Muhammad dari bapak mereka berdua berkata: Ali berkata kepada Ibn Abbas: Bahwasannya Nabi SAW melarang nikah mut’ah dan (melarang pula) makan daging keledai peliharaan pada hari Khaibar. (HR. Al-Nasa’i).

Secara logika, pernikahan itu disyariatkan untuk selamanya karena ada tujuan-tujuan dan maksud-maksud sosial seperti menenangkan jiwa, memperbanyak keturunan, serta membentuk keluarga sakinah. Sedangkan dalam mut’ah, hal tersebut tidak ada kecuali hanya untuk memenuhi hasrat syahwat belaka. Ini mirip dengan praktek zina. Maka tentu tidak masuk akal jika zina dilarang sedangkan mut’ah diperbolehkan.

Ulama Maliki, Syafi’i dan Hanbali bersepakat bahwa tak ada perbedaan antara nikah mut’ah dan nikah muaqqat (nikah yang dibatasi waktu). Sedangkan menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanafi, dibedakan antara nikah mut’ah dan nikah muaqqat. Dalam akad nikah mut’ah disyaratkan menggunakan lafad mut’ah.

Para Fuqaha’ berbeda pendapat tentang hukum nikah yang dibatasi dengan masa “seumur hidup suami atau istri” atau dibatasi dengan masa yang suami istri kemungkinan kecil bisa hidup sampai masa tersebut. Menurut ulama mazhab Hanafi selain al-Hasan bin Ziyad, ulama mazhab Maliki selain Abi al-Hasan, dan ulama mazhab Syafi’i selain al-Bulqini serta menurut ulama’ mazhab Hanbali mengatakan bahwa pernikahan dengan batasan waktu seumur hidup atau masa yang tidak mungkin dicapai oleh suami istri itu termasuk pernikahan yang batal karena tergolong nikah mut’ah. Adapun al-Hasan bin Ziyad berpendapat bahwa jika suami istri menyebutkan batasan masa yang diketahui bahwa keduanya tak mungkin sampai pada masa tersebut, seperti batasan masa seratus tahun atau lebih misalnya, maka pernikahan tersebut sah, karena pada hakikatnya pernikahan itu dimaksudkan untuk selamanya (li al-ta’bid). Pendapat senada juga dimiliki oleh al-Bulqiini.

Baca Juga:  Keinginan Untuk Berhijrah (1)

Ulama mazhab Hanafi dan Shafi’i mengatakan bahwa jika seseorang menikah dengan niat akan mentalak istrinya setelah masa tertentu, maka pernikahan itu tetap sah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa yang demikian itu hukumnya makruh. Ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa jika adanya niat mentalak istri itu tidak ada pada akad, serta si suami tidak memberitahukan istri bahwa ia akan mentalaknya pada masa tertentu, meski si istri maupun walinya paham bahwa ia akan ditalak suaminya setelah masa tertentu, maka hal tersebut tidak membatalkan pernikahan. [HW]

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Berita

    Jalan Syubhat

    Sangat boleh jadi sesuatu yang beracun itu bukan disebabkan oleh esensi bendanya, tetapi ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini