Ketika Selebriti di Tanya

Sederet selebriti di tanah air menyandang dua gelar ketika dimintai pendapat oleh wartawan dari beberapa kantor media. Mereka menjadi artis sekaligus orang yang paham agama, berbicara dengan lugas dan lantang menjawab problematika islam yang disodorkan wartawan seolah opininya benar dan valid. Tentu perkara semacam ini menguntungkan bagi mereka karena tersorot media masa, naik daun apabila pendapat nya kontroversial atau terbukti kebenarannya. Namun, perlu dihati-hati masyarakat awam umumnya yang beragama Islam khususnya hampir selalu mengiyakan berita atau informasi di depan mereka. Melahap dengan mentah-mentah tanpa tau  benar tidaknya, tindakan artis yang berpendapat memang tidak salah, siapa saja bebas mengeluarkan isi pikirannya menanggapi masalah yang dirasa gusar dan menyimpang. Tetapi sudah menjadi rahasia publik bahwa media akan melebih-lebihkan baik dalam gaya pembawaan, penyampaian atau penulisan berlandaskan tujuan agar pendengar tertarik.

Apakah bisa diterima omongan selebriti tadi? Tentu perlu pertimbangan yang lebih. Tokoh agama saja apabila ditanya mengenai suatu kasus butuh ilmu pengetahuan yang luas. Belajar di pesantren memakan kurun waktu lima sampai sepuluh tahun bahkan tidak sedikit pula lebih lama dari yang telah saya sebutkan. Macam pengetahuan nya pun tidak monoton hanya satu pelajaran tetapi berpuluh-puluh ilmu, karena pada hakikatnya antara satu pengetahuan dengan yang lainnya saling berkesinambungan. Dilihat dari perspektif sejarah, hukum, psikologi akan menyatu titik temu atas adanya suatu kejadian.

Mari kita bandingkan dengan cara penyampaian oleh kalangan selebriti, ketika ditanya mereka spontan menjawab apa yang ada diisi kepalanya itu terkadang juga berlawanan, didasari pengetahuan yang pasti atau tidak bukan suatu permasalahan  karena bisa menjawab sudah menjadi target utama. Lantas bukankah nanti kedepannya memberi gambaran buruk di persepsi masyarakat? Sepele kelihatannya tetapi berbahaya.

Baca Juga:  SDM Unggul, Indonesia Maju

Ajaknya pepatah tong kosong berbunyi nyaring benar kali ini, pepatah yang mengandung makna tersirat banyak berbicara tapi tidak tau pelaksanaan nya atau tindakannya kurang optimal sangat merugikan. Tipe orang seperti ini dalam memahami sesuatu hanya mengandalkan kekuatan analisanya yang asal-asalan bukan berdasarkan pengalaman masa lalu. Mereka tidak tau bahwa pemikiran yang cemerlang akan membuahkan tindakan yang baik pula. Begitu sebaliknya pemikiran yang salah akan meracuni otak membentuk tabiat jelek.

Beruntung ulama yang kritis selalu membenahi, mengkaji ulang serta menjelaskan bagaimana hakikat kebenaran dari pendapat yang masih umum atau absurd tersebut, tidak bisa dinyana akan seperti apa kedepannya jika para ahli atau pakar mendiamkan perkara semacam ini. Dalam hadis nabi dijelaskan bahwa perkara yang tidak dipegang oleh ahlinya maka tunggulah hari kiamat akan segera tiba.

Televisi sebagai hiburan primer dinilai kurang mendidik dan merugikan, tayangan yang tidak bermanfaat dijadikan tren paling atas dan berulang-ulang diputar. Jadwal sinetron dan rumpi artis lebih sering  muncul dibandingkan investigasi atau berita kondisi pemerintahan Indonesia. Melirik negara maju lainnya jelas berbeda, TV disediakan di pusat keramaian, dekat perempatan jalan bagian atas dan tempat umum. Sasaran pemerintahan agar dimanapun tempatnya rakyat bisa tersambung intruksi pusat, mengetahui kondisi negara mereka dengan transparan tanpa ditutup tutupi. Metode seperti ini bisa mencerdaskan bangsa lewat jalur sederhana.

Perlukah kita meniru bangsa berkeadaban dan mengaplikasikan di Indonesia? Panutan memang tidak sempit dan membatasi, kita bisa melihat sisi positif dari mana saja namun jika langsung melakukan duplikasi itu saya rasa kurang pas karena budaya bangsa tanah air berbeda-beda, Indonesia juga termasuk empat negara dengan wilayah yang luas. Jarak pemukiman yang memanjang, menggerombol dan padat merayap tidak memungkinkan untuk penempatan pusat informasi di wilayah strategis. Tapi mengadopsi metode lalu ditambal sulam dengan cara kreatif pemerintah kita sendiri dapat melahirkan jabang yang epik dan pas untuk kepentingan bersama.

Baca Juga:  SDM Unggul, Indonesia Maju

Sebagai masyarakat sekaligus rakyat Indonesia yang baik sudah seharusnya kita membantu terwujudnya kecerdasan bangsa lewat memilah dan memilih informasi serta menyaringnya dengan hati-hati. [HW]

Akiya Qidam Hayya
Mahasiswi hukum fakultas syariah dan hukum UIN Sunan Ampel Surabaya dan Santri Al-jihad Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini