Jamak dimafhumi dalam kehidupan sehari-hari tentang adagium sederhana yang kerap dilontarkan dalam ruang sosial atau interaksi antar individu bahwa di hidup ini tidak ada yang sempurna, kecuali Tuhan yang Adikodrati. Sehingga mendefinisikan diri sebagai yang mutlak adalah bentuk kecongkakkan pribadi dan cerminan gagal nalar yang tersemat pada pribadi puritan. Yang hal ini bisa saja terjadi lewat tindakan keberagamaan sehari-hari manusia.

Kalimat ini mengantarkan kita pada beberapa kemungkinan bahwa sederhananya manusia itu relatif, ringkih, rapuh. Atau dalam hal yang lebih halus kebenaran, apalagi pada manusia, ia bersifat relatif sehingga memutlakkan diri dalam aktivitas sosial sejatinya tak lebih dari sekedar kekolotan. Mengapa? Jangankan aktivitas sosial, dalam beragama sekalipun, kendati dalam kitab suci umat muslim termaktub Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima di sisi Tuhan, akan tetapi para pemeluk agama tidak diperkenankan memaksakan kehendak (keberagamaan) kepada yang lain. Maka berlaku toleran dalam hal ini adalah perilaku bijak.

Anselmus, tokoh awal kekristenan pernah mengatakan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar daripada manusia, (Dia) adalah esensi yang tak dapat dipikirkan lagi. Atau juga pendapat Jesuit Karl Rahner yang mengatakan bahwa Tuhan adalah sebagai misteri tertinggi. Berangkat dari dalil tersebut, maka Tuhan adalah satu-satunya eksistensi yang (mutlak) benar, Ia adalah sang maha yang tak tertandingi oleh apapun yang berada di luar dirinya. Dialah Tuhan yang sebenarnya, yang transenden dan imanen.

Dalam lanskap sosial, interaksi setiap individu salah satunya dipengaruhi kadar keimanannya atau bisa juga disebut kadar kesalihannya. Sehingga implikasi dalam beragama salah satunya ialah bila meminjam istilah Gus Mus, saleh ritual dan saleh sosial. Hal ini secara halus ingin menunjukkan kepada pribadi yang menjadi anggota sosial bahwa kesalehan ritual saja tak cukup untuk menjaga ritme kehidupan ini. Lebih dari itu maka dibutuhkan pula kesalehan sosial agar menciptakan ruang harmonis dalam bersosial-masyarakat.

Baca Juga:  Muhammadkah Aku, Muhammadkan Aku

Namun sayangnya pemahaman-pemahaman seperti di atas kurang didaku, dipahami, diinsyafi, dan dimanifestasikan oleh sebagian di kita, terutama dalam nuansa bulan suci. Hal ini tergambar dalam tindakan sporadis penutupan warung makan ketika siang hari oleh kaum tertentu –tak perlu saya menyebut merek, kiranya-. Kondisi ini diperparah dengan pelabelan mereka yang tak berpuasa atau tak menutup warung dengan sebutan kafir dan sesat, seakan-akan keberagamaanya sendirilah paling benar dan tindakan yang dilakukannya sudah sahih mewakili agamanya. Padahal hal ini tak lebih dari sekedar luapan ketakdewasaan dalam beragama serta kekerdilan emosi sebagai pemeluk agama.

Gambaran ini memberikan pemahaman bahwa Tuhan masa kini telah menjamur di negeri ini dan banyak ditemui di mana-mana. Amat jelas terlihat dengan pemaksaan kehendak kepada orang lain atas sikap keberagamaan pribadi, sehingga pada dasarnya yang terjadi ialah penyerahan seluruh hidup (terutama keberagamaan) dalam genggaman emosi bukan tingkah mewakili agama, bila menilik dari kacamata etimologi, emosi berasal dari bahasa Latin dengan kurang lebih artinya adalah suatu gerakan yang bergerak secara lebih atau dapat dikatakan berlebihan.

Hal ini pernah dicontohkan oleh Freud, ketika seorang perempuan fobia terhadap rerimbunan pohon, maka sebenarnya ia (wanita) bukan takut pada rerimbunannya akan tetapi ia takut pada kenangan masa lalu yang pahit. Dalam kasus ini, perempuan tersebut hanya melakukan penolakan rerimbunan pohon tersebut agar memorinya tak menghadirkan kenangan kelam. Kondisi emosional seperti ini tidak mengetahui apa-apa mengenai ciri atau simbol tindakannya. Oleh karena itu, bagi psikoanalisa, kemarahan seorang perempuan merupakan simbol bermakna sesuatu yang bersembunyi di baliknya.

Dalam kasuistik keberagamaan, sekilas nampak adalah agama dalam tanda kutip yang dianut seseorang ketika ia melakukan tindakan penutupan warung, namun secara halus yang muncul justru emosi murahan dan keimanan kelas rendah pada pribadi tersebut atas perbuatannya. Sebab, dalam dirinya tak nampak pribadi jika meminjam istilah Jawa adalah welas asih.

Baca Juga:  Apakah Semua Muslim Kontra Dengan Ajaran Tasawuf?

Emosi memang menjadi lumrah manusiawi, namun ia perlu dikendalikan dan dikontrol agar manusia tak serta-merta menjadi Tuhan. Sebab se-adilung apapun peritah agama, pada taraf sosial ia akan kembali kepada urusan pribadi masing-masing.

Mari belajar dari petuah Gus Dur, ia mengatakan jika kita muslim terhormat, maka kita akan menghormati orang yang tidak berpuasa. Atau perlu kita imbuhi dengan petuah Gus Mus, puasa-puasamu sendiri kok minta bantuan pengusaha warung, minta bantuannya maksa lagi. Kedua tokoh masyhur itu seolah mengajari kita bahwa hendaknya puasa bukan saja menahan lapar dan haus, namun juga menahan nafsu angkara yang terselip begitu halus dengan tindakan yang seolah benar berupa (memaksa) warung untuk tutup.

Bila kita mau lebih bijak dalam beribadah, dan terutama puasa maka sesungguhnya keimanan dan keberislaman sesorang kentara kualitas dan kualifikasinya lewat adanya warung-warung tersebut. Mengapa? Bila seorang tersebut mampir lalu makan, niscaya keimanannya runtuh guna menjalankan ritus spiritualitas. Namun bila sebaliknya, berarti pribadi tersebut layak terangkat derajatnya sebab betapapun diuji dengan makanan, ia tak terbetik sedikitpun untuk membatalkan puasanya. Sederhana bukan?

Logika semacam ini mirip logika iblis, bila jamak di kita mengatakan bahwa iblis adalah musuh terbesar umat manusia. Namun tidak dengan para sufi, mereka menganggap iblis adalah sahabatnya. Mengapa? Sederhananya dengan adanya iblis, maka keimanan seseorang akan diuji,  ketika ia lulus maka derajatnya akan naik dan rahmat Allah siap untuk menghampirinya beserta kemuliaan-Nya. Bayangkan bila tidak ada iblis yang menguji, lalu apakah gunanya keimanan manusia? Dan apakah masih relevan petuah yang mengatakan keimanan manusia itu bisa bertambah dan bisa berkurang.

Hal semacam ini perlu kiranya diekstraksi oleh manusia modern yang sikap keberagamaannya begitu semangat namun tak selaras dengan pemahaman keagamaannya.

Baca Juga:  Haflah: Antara Perayaan dan Kemaslahatan

Sebab di kitab suci tak dibenarkan memaksakan kehendak kepada orang lain. Dan terlebih, tugas muslim adalah menjadi manusia, yaitu menjadi makhluk yang mafhum dengan keterbatasannya dan kerelatifitasannya. Sehingga apapun pedoman hidupnya tak buru keras kepala dipakaikan ke yang lain. Kehendak manusia sebaik apapun perlu diinsyafi hanya sebatas kehendak, manusia tak perlu menjadi Tuhan yang ber-kun fa yakun dengan prinsipnya.

Mari bertaubat untuk tidak menjadi Tuhan dalam beragama, untuk tidak menjadi dominan dalam aktivitas sosial. Karena betapapun manusia diwajibkan untuk memeluk erat agama, ia tak lantas membuat gaduh dengan memaksakan agama. Sehingga betapapun tinggi kesalehan ritual, ia tetap tidak alpa pada kesalehan sosial.

The last part

Agama adalah keindahan, ia serupa bunga semesta yang tak hentinya memijarkan cerlang suci dan menebarkan aroma wangi bagi semua. Maka tak elok kiranya keadiuluhungan agama dinodai oleh hasrat semu manusia dan perbuatan nir-nilai. Sebab, seindah dan seelok apapun bunga, pada akhirnya ia akan lalu lalu sirna bila digenggam oleh tangan yang salah dan kotor. [HW]

Salam hangat.

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini