Pesantren

PSP: Pesantren, Santri, dan Pagentongan #2

Tempayan Ilmu, Lumbung Pengetahuan

Saya ragu, tapi perlu. Menduga, tapi nyaris iya. Bahwa masyarakat generasi moyang kita, yang telah lalu telah memberi sebuah legacy yang nyaris sempurna secara holistikal ilmu dan pranata kebudayaan. Tempayan air di depan rumah. Memberikan salah satu gambaran warisan tersebut. Kepribadian rohaniyah juga wawasan kebudayaannya amatlah luhur. Memberi suguh orang gupuh. Menyiapkan air bagi para pejalan. Kenal maupun tidak. Secara cuma-cuma.

Tempayan. Dalam bahasa jawa disebut gentong. Jika boleh ngawur pakai “gotak gatuk matuk” Pagentongan adalah tempayan. Bisa jadi karena horisan budaya saya adalah Jawa, maka seenaknya saja, saya sebut Pagentongan adalah tempayan. Namun tempayan yang berisi air hikmah.

Adalah Mama Ajengan Falak, yang menjadi sinar dari Pagentongan. Beliaulah pancaran kelembutan dari sepercik sirat cahaya Tuhan. Ajengan Falak yang menaruh gentong gentong, menyediakan tempayan-tempayan, untuk kita-kita, untuk sampean-sampean. Salah satu gentong itu adalah Gus Ubaid.

Zaman telah berubah, kondisi telah berganti. Jika dulu tempayan-tempayan itu ditaruh di depan rumah-rumah. Kini, gentong-gentong itu keliling dari Miangas sampai pulau Rote. Mengucurkan air pengetahuan. Gus Ubaid sebagai salah satu gentong yang terus mencoba menetesi gersang pengetahun anak-anak zaman.

Dulu, untuk menuntut ilmu masyarakat berduyun-duyun mendatangi pelita dalam gelap nircahya. Mengejar temaram sampai ke ufuk paling legam. Kini manusia saking bebalnya, harus didatangi satu persatu, disentrongi cahaya,  dan dikucuri air kebijaksanaan.

Menambal yang Bebal, Menggurat yang Karat

PSP seperti pesantren berjalan. Membawa misi dakwah keagamaan, namun melalui wajah yang lain: kampanye damai, literasi dan videografi. Semangat yang dibawa dan ditularkan adalah sebuah upaya menangkap gerak zaman dan laju kebutuhan.

Pesantren dengan kekayaan yang melimpah, tak banyak orang yang tahu. Dan ini perlu dikabarkan. Salah satu contoh, ada informasi yang mengatakan bahwa tingkat membaca negara Indonesia rendah atau lemah. Saya agak khawatir dengan informasi ini. Sehingga memunculkan pertanyaan, apakah masyarakat pesantren sudah disurvey? Di pesantren tiap hari melakukan kerja-kerja literasi: membaca, menulis (bahkan dengan banyak macam abjad-bahasa: Indonesia, bahasa daerah, Arab, Pegon). Apakah ini tak tercatat?

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (5): Berlaku Moderat di Masa Pandemi

Bahkan, bagi saya pesantren adalah penjaga gawang atau kiper bahasa daerah. Sedangkan kaum urban adalah striker bahasa, dekonstruksi bahasa bermula kerja di sana. Kaum santri memakai bahasa dalam percakapan keseharian boleh dibilang variatif, namun untuk bahasa tulisan memakai satu bahasa, bahasa daerah; “utawi iki iku mertilaake…” Namun ironisnya bahasa tersebut sudah tak lagi dipakai dalam percakapan sehari-hari, alias mati. Pesantren layak mendapatkan penghargaan atas jasa ini, penjaga gawang bahasa daerah!

Peristiwa-peristiwa positif dalam dunia pesantren, perlu dikabarkan. Dengan adanya program literasi videografi dari PSP, kabar tersebut pasti akan mudah sampai di masyarakat.

Saya teringat beberapa tahun lalu. Tepatnya bulan Agustus 2016. Saya mengusulkan kepada Gus Ubaid bahwa perlu diadakan program lomba penulisan artikel pesantren se Jawa Timur. Orientasi utama dari sayembara ini adalah menyorot ciri khas dari masing-masing pesantren di seluruh Jawa Timur. Usul pun disetujui. Sayembara dimulai 25 September berakhir sampai 30 Oktober 2016.

Saat presentasi, saya menyampaikan mengenai kekhasan pesantren yang perlu dikabarkan. Sebagai contoh: kerja literasi Pondok Pethuk Kediri, yang menjadi terkenal dengan istilah “kitab pethuk, atau kitab pethuk an”. Kitab Pethuk adalah kerja kebudayaan yang sangat penting untuk dicatat dan dikabarkan.

Contoh lain di bidang ekonomi, sebut saja Pesantren Sidogiri, dengan semangat kepemimpinan dan manajerial yang tinggi sanggup mengangkat perekonomian santri, alumni, dan masyarakat. Hal ini sangat penting sebagai langkah publikasi menyebarluaskan gagasan inovasi dari setiap pesantren yang dibahas dalam artikel tersebut sehingga dapat menjadi inspirasi bagi pesantren-pesantren lain.

Nahas memang. Saya sebagai ketua panitia merasa gagal. Karena dari sekian puluh naskah yang masuk, tidak ada satu pun yang menulis secara genuin dan orisinal tentang pesantrennya masing-masing. Saya tak berharap mengupayakan “pesantren tematik”, tetapi harapan saya ada kekhasan tersembunyi yang perlu dijadikan inspirasi dan spirit kebudayaan pesantren. Akhirnya dengan berat hati saat rapat seleksi, saya mengeliminasi seluruh artikel yang masuk.

Baca Juga:  Bisakah Pondok Pesantren Menerapkan Pendidikan Via Daring?

Saya sudah menanam kegagalan di PSP!

Mohon maaf.

Fathul H. Panatapraja
Sekretaris Lesbumi Kota Malang, BPH dan Komite Sastra Dewan Kesenian Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pesantren