Pesantren

PSP: Pesantren, Santri, dan Pagentongan #1

sumber: nu online

Suatu malam yang tak berisik. Tiba-tiba ada tubian nada dering yang mengusik. Selain pesan dari grup-grup WhatsApp terselip satu pesan dari sahabat saya Ahsani, atau Gus Sani. Sahabat rasa saudara. Di dalam pesan tersebut ia mengajak saya untuk membantu mensukseskan program Pusat Studi Pesantren (PSP) yang berencana mengadakan pelatihan video making di Batu. Medio 2016.

“Besok ketemu di acara diskusi Diponegoro saja Gus”, begitu pesan saya. Karena saya harus tahu detail program dan kegiatan, juga tugas saya apa saja. “Oke siapp”. Katanya.

“Sip yoo.. bantu yoo..” kalimat terakhirnya sesaat usai acara diskusi Diponegoro yang diulas oleh Peter Carey (seorang Indonesianis yang fokus meneliti Pangeran Diponegoro). “Belikan dulu buku, nanti kubantu” selorohku asal-asalan. Tak disangka selorohku disambut bak gayung yang terus bekerja menemani jari-jari yang hari ini harus terus dicuci karena pandemi. Tiba-tiba ia ambil satu buku di lapak jualan area diskusi, sebuah karya Peter Carey berjudul “Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX”.

“Nih…” Katanya.

Sebuah serangan pamungkas, yang menghujam. Akhirnya.

Beberapa hari di Batu, bersama para peserta. Menjadi pendamping grup diskusi. Sesekali ikut nimbrung diskusi dengan para narasumber. Di PSP pun jadi terasa homey.

“Saya… Ubaid, atau biasa juga dipanggil Fadil oleh teman-teman saya di UI”. Perkenalan itu di awal saat sebelum acara berlangsung. Setelah itu saya “merasa” semakin dekat. Atau saya saja yang GR. Karena bagi saya antara PSP dan Gus Ubaid sama. Sama-sama homey dan hangat dalam bergaul. Sebagai manusia biasa, saya adalah Homo Homini Jebas Jebus. Suka kemana-mana, berselancar, cari info, atau apa saja yang sehingga saya bisa adaptif. Mirip intel.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (3): Gus Lukman Menangis Menjelaskan Ekonomi Pesantren

Pernah suatu kali dan akhirnya beberapa kali saat saya mahasiswa saya selalu dipantau intel. Karena saya curiga, saya cek ke beberapa teman saya di Jakarta, memang benar, ia intel. Pernah saya pergoki orang tersebut di daerah Kramat Raya, sekitar kantor PBNU. Ia kaget, karena saya tepok pundaknya dan saya ajak bicara sebentar. Intel kok bisa ketahuan sih, pikir saya waktu itu.

Begitu pula dengan Gus Ubaid, tak lama dari waktu berjabat tangan, saraf penggerak pengendus saya otomatis mencari tahu. Siapa sebenarnya Gus Ubaid. Tak lama. Informasi akurat dan padat saya terima. Ternyata beliau bla.. bla.. bla.. dan bla.. bla.. bla..

Begitulah, melihat WA bekerja. Bukan api bekerja. Dunia benar-benar dalam genggaman.

***

Lingga Anakku!

Sebuah judul buku yang penuh dengan lelehan peluh bertahun-tahun. Sebuah kumpulan aforisma yang berundak dan menggunung diguratkan di dinding maya, Facebook. Dikumpulkan, disatukan, setebal bantal selebar kambal.

Dalam buku tersebut Gus Ubaid memberi pengantar bahwa Lingga Anakku adalah tulisan yang ditulis dalam kurun tahun 2015-2017. Kebetulan saya dipasrahi untu merias Lingga. Menyunting naskahnya. Saya melihat Gus Ubaid sedang mengajak bicara dan semacam membimbing seorang anak kecil bernama Lingga. Ataukah Gus Ubaid benar-benar berbicara kepada anaknya. Anak imajinernya.

Bagi saya, jika ingin mengenal siapa Gus Ubaid dalam ruang batinnya, Lingga adalah jembatan atau setidaknya titian yang sanggup mengenalkan.

“Ini sampean lho ya, yang nyetempel bahwa karya ini adalah sastra!”. Suatu waktu di siang yang terik sambil minum kopi pahit Gus Ubaid membuka perbincangan mengenai buku Lingga. “Lha terus mau diidentifikasi sebagai karya apa Gus? Ini sublim, dalam, dialogik, dan aforismik. Ya sastra Gus.” Sergah saya. Gus Ubaid sendiri agak gamang untuk mengidentifikasi karyanya.

Fathul H. Panatapraja
Sekretaris Lesbumi Kota Malang, BPH dan Komite Sastra Dewan Kesenian Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pesantren