Perempuan

Penting untuk Dibaca oleh Setiap Hafidzah Penjaga al Qur’an

harokatuna.com

Saya setuju dengan pendapat bahwa al Qur’an seharusnya lebih mempengaruhi karakter daripada ritual bacaan belaka. Akan Tapi, jika meminjam kata Gus Mus ‘Saleh Ritual Saleh Sosial’ selain sang hafidzoh juga berupaya membumikan al-Qur’an dalam kesehariannya namun ia juga hendaknya, berusaha Istikamah dalam muroja’ah.

Masalah dia bersosial yang baik dalam berkeluarga dan bermasyarakat adalah saleh sosial, itu urusannya dengan manusia. Tapi urusan keistikamahan membaca, dan senantiasa menjaga hafalan dengan simaan, mengikuti jamiyah al Qur’an (seperti JQHNU) atau minimal dibaca sendiri, adalah urusan dirinya dengan Allah.

Kurang tepat juga jika santri yang hafidzoh stelah berkeluarga karena lebih fokus pada kehidupan sosialnya kemudian sudah tidak ada waktu untuk murojaah apalagi simaan?

Itu seperti orang yang telah berkomitmen, janji kepada Allah untuk menjaga al Qur’an tapi dia ingkar janji dengan dalih-dalih kesibukannya. Padahal dengan membagi waktu murojaah hidup kita sudah tentu akan lebih berkah, lapang, tidak sempit.

Seberapa sih waktunya membaca 1/2 juz perhari ? Bukankah durasinya tidak lebih lama dari sinetron kesayangan yang tayang tiap hari? Bukankah durasinya tidak sebanding dengan bergosip ria dengan tetangga, di grup wa, atau sekedar melihat Facebook ?

Padahal murojaah ini bisa kita sambi, misalnya sambil nungguin anak maen, sambil nunggu sayur matang, sambil nunggu suami pulang kerja, di bus atau kereta saat perjalanan, bahkan ibu ibu menyusui pun dia masih bisa membaca al Qur’an.

Kita ada waktu untuk belanja, jalan jalan, melamun, bahkan waktu untuk kepo kehidupan orang lain saja kita punya. Masak untuk memenuhi janji kita pada sang pemberi kehidupan kita tidak punya?

Sesibuk apa sih kita sehingga berani berdalih tidak ada waktu kepada Allah? Astaghfirullah

Bagi hafidzoh, murojaah konsisten itu harga mati, tidak mungkin hafalan akan kuat dan terjaga kalau tidak disimak atau minimal dibaca secara konsisten.

Baca Juga:  Syekh Yusuf al-Maqassari: Ulama Nusantara Par Excellence

Waktu hidup kita akan semakin habis dan kita akan menua, semakin lama kita tidak murojaah semakin hafalan itu tergerus dan kemalasan untuk murojaah pun semakin menggunung.

Karena biasanya juz-juz gelap itu memang paling malas untuk dibaca . Sebaliknya, juz-juz yang terang akan serasa senang untuk dibaca. Masalahnya kalau males terus menerus lama lama jadi gelap semua. Hikzz. Hikss..Nauzubillah min dzalik…

Bagi jomblowati hafidzoh yang tidak mementingkan deresan tapi lebih suka yang penting hatam hatam saja, jangan sekali sekali membayangkan toh nanti juga akan di simak suami, nanti akan di jaga bareng, nanti juga akan blablabala…

Jangan!

Harapan seperti itu kamuflase, fatamorgana, tidak ada orang lain yang mampu mengingatkanmu untuk murojaah selain hatimu sendiri. Bahkan suami, mereka akan mempunyai kesibukan sendiri, hafalan kita adalah tanggung jawab kita sendiri.

Bagaimanapun kelancaran hafalan al Qur’an sebelum pernikahan itu sangatlah membantu ke istikamahan nanti stelah nikah, karena apa?

Karena setelah menikah itu banyak sekali kewajiban lain yang harus kita tunaikan, kita tidak punya lagi banyak waktu untuk ngopeni juz-juz gelap seperti saat mondok.

Kita sudah masuk pada lembaran baru babak kehidupan dan isinya bukan cuma nderes. Tapi juga mempraktekkan al Qur’an itu sendiri. Jadi istri, jadi menantu, jadi tetangga, jadi seorang ibu yang mendidik anak-anak, belum jika kita diamanahi pekerjaan, jabatan atau bisnis.

Bayangkan, bagaimana repotnya kita nanti jika deresan nya tidak diperhatikan, akan bersaing dengan semua tetek bengek itu….Hehehe. Nanti kalau seharusnya kita bersih-bersih kok malah nderes, kan kurang pengertian ya, kasian suami atau mertua yang rumahnya berantakan ditinggal murojaah he.

Tapi ya jangan galau dulu, yang paling penting itu istikamah, masalah lancar kan nanti sambil jalan, sekedar gambaran saja memang kelancaran sebelum pernikahan sangat membantu terwujudnya istikamah.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (2): Terinfeksi Korona Bukan Aib

cuma memang kekuatan atau masa istikamah orang itu beragam, ada juga yang justru mampu istikamah dari usia 30-40 bahkan 50 tahun, ada juga malah sebaliknya, dulu lancar tapi sekarang lupa

al Qur’an adalah teman si hafidzoh saat di dunia, alam kubur hingga dan akhirat nanti, sementara suami kita? hanya jelas menemani kita di dunia saja, di alam alam lainnya? Wallahu a’lam

Jangan melaknatinya karena kita sendirilah yang akan terlaknati, jika menjaganya, maka kita sendiri yang akan dijaga.

Memang makna melaknati lebih luas adalah ketika bacaan kita ini hanya berhenti di tenggorakan saja, fasih membaca tapi tidak mewarnai/merubah karakter dan ahlak kita.

Namun dalam keterangan, tidak adany waktu untuk murojaah juga adalah bentuk lain dalam melaknati bagi si penghafal Qur’an.

Jangan menganggap alQur’an itu susah karena Allah berfirman…
wa laqod yassarnal qura’ana lidzzikri fahal min muddakir?

Jangan berdalih karena Kalam Allah itu membosankan, karena, kata ulama, Al Qur’an adalah kalam yang tidak pernah bosan untuk dibaca. Jika kita sedang sedih dianiyaya, lalu kita membaca al Qur’an tidak sembuh sembuh, maka coba kita pikir-pikir, jangan-jangan justru kitalah yang berdosa pada orang lain? Karena dosa pada mahluk Allah seringkali menghilangkan nikmat ibadah, Karena hati menjadi tidak tenang sebelum kita meminta maaf.

Katanyakan al Qur’an kalam yang selalu nikmat untuk dibaca, jika kita malas membacanya, berarti banyak dosa yang tidak disadari yang menjadikannya nikmat murojaah itu tercerabut.

Penulis tidak sedang berdakwah, tapi sedang berbicara pada diri sendiri.

Najhaty Sharma
Penulis Novel Dua Barista, Alumnus PP Annur Maron Purworejo, Tinggal di PP al Munir Pangkat Tegalrejo Magelang.

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. Doakan kami santri2 tahfidz njenengan ning …semoga mampu istiqomah nderes…mampu ngopeni juz2 terang dan juz2 gelap…
      Doakan njeh ning

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan