Santri

Jum’atan Online?

dribbble.com

Jumatan online aja!

Kata-kata itu spontan terucap oleh anak saya sambil memegang smartphone. Ketika itu saya sedang menonton siaran televisi tentang fatwa larangan jumatan di masjid. Anak saya mengatakan itu sambil cuek. Mungkin dia sedang nonton youtube gamer kesayangannya.

Malam sebelumnya dia melihat saya mengikuti kegiatan pembacaan Yasin-Tahlil online bersama banyak orang di luar sana. Ketika itu saya memakai peci, baju koko dan sarung. Lengkap. Seperti akan berangkat ke musholla. Agak berbeda dengan ketika memberikan kuliah online, hanya bagian atas saja yang rapi. Mungkin yang terbesit dalam pikiran anak saya, kalau ibadah lain aja bisa online, kenapa shalat Jum’at tidak?

Saya menanggapi seperlunya: “Jumatan kan harus di satu tempat!”

Tiba-tiba anak saya beranjak. Smartphone di tangan masih dipegang. Tapi dia melihat saya. “Kenapa harus?” katanya.

Saya tertegun. Anak-anak yang sedang tumbuh memang sering bertanya “mengapa?”. Mereka jarang bertanya “bagaimana?”. Mereka kreatif mencari cara sendiri, bahkan tidak suka dengan cara-cara konvensional. Mungkin yang terbesit di benaknya: “Kalau takut Covid 19. Jumatan kan bisa online, sama-sama ibadah ini..! Ribet amat!”

“Jum’atan kan ada syarat-syaratnya,” kata saya. Sebenarnya saya selalu menghindari jawaban “pokoknya!”Tapi kali ini saya tidak punya jawaban lain.

“Kan sama-sama live ya! Shalatnya live. Bisa ndengerin khotbah juga,” jawabnya. Sebelum saya menanggapi dia menyambar lagi: “Kan sama-sama menghadap kiblat. Terus waktunya sama.”

Beberapa hari ini memang kami sering melihat aktivitas di Ka’bah yang sepi dari layar televisi. Saya menjelaskan, waktu di Makkah beda empat Jam dengan di Indonesia. Tapi kali ini dia benar, waktu shalat di masjid dekat rumah saya sama persis dengan jam di dinding rumah yang tergantung tepat di atas kalender waktu shalat Lembaga Falakiyah PBNU.

Baca Juga:  Sumbangsih Wakaf dalam Pembangunan Nasional

Sebenarnya saya akan menjawab, masjid di samping rumah berada di sebelah timur rumah. Tapi anak saya pasti bisa menunjuk masjid lain yang berada di sisi barat. Kiblat! Dan kami memang sering berganti-ganti masjid setiap jumatan.

Soal jumlah jamaah yang harus 40 orang, anak saya pasti tahu, sekali live dengan fasilitas aplikasi gratisan, kita bisa tersambung dengan 100 orang sekaligus.

Saya mencari bahan lagi. Dalam ketentuan formal shalat berjamaah, ma’mum wajib mengikuti gerakan imam. Tapi anak saya pasti tahu, selama ini di masjid-masjid besar yang memakai pengeras suara, para makmum tidak mengikuti gerakan imam secara langsung atau lewat para jamaah di depannya.

Para makmum mengikuti gerakan imam dari pengeras suara. Di masjid Istiqlal, anak saya waktu masih berumur 5 tahunan dulu sangat menikmati layar televisi raksasa yang terpasang di beberapa titik. Kameranya dipasang di depan imam sehingga dari layar terlihat muka dan para jamaah berhadap-hadapan dengan imam. Para jamaah mengikuti imam dari layar itu. Ya. Dari fasilitas teknologi juga.

Saya ingat lagi, ada ketentuan bahwa jarak makmum dengan makmum lain di depannya paling jauh 300 dzira’. Saya masih mencari-cari padanan ukuran jarak itu ke dalam meter lewat mesin pencari google. Untungnya anak saya sudah asyik lagi dengan smartphonnya

A Khoirul Anam
Dosen UNUSIA Jakarta dan Redaktur NU Online.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri