Manuskrip

Manuskrip Kitab “Bidâyah al-Thâlibîn” dan Kitab-Kitab Sunda Pegon Lainnya dari Cianjur yang Ditulis Tahun 1860-an

Berikut ini adalah sampul manuskrip kitab berjudul “Bidâyah al-Thâlibîn” (sebelah kanan) dan kitab “Cariyos Sultan Mahmud” (sebelah kiri). Teks “Bidâyah al-Thâlibîn” dan “Cariyos Sulan Mahmud” ini ditulis dalam bahasa Sunda Pegon dan tergabung dengan teks-teks berbahasa Sunda Pegon lainnya dalam bundel naskah bernomor kode SD (?) koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta.

Teks-teks Sunda Pegon yang terhimpun dalam bundel naskah tersebut kebanyakan ditulis di Cianjur pada rentang waktu tahun 1860-an.

Kitab “Bidâyah al-Thâlibîn” ini sendiri berisi kajian bidang ilmu tasawuf. Tertulis pada bagian awal teks:

بسم الله الرحمن الرحيم. وبه نستعين بالله. هي سكابيه جلم انو مكلف انو غره كاسناغن د اخرة. اري مانيه تيه واجب كود غركس بادان سوماوون اغكوت مانيه انو توجه. اوله مكاوي دوركا انو د جلا كو الله تعالى ثاايت مانيه كود غركس سهج مت كدوا جلي تلو ليته اوفت بتغ لما فرجي كنف لغن توجه سوك

(Bismillâh. Wa bihi nasta’în billâh. He sakabeh jalma anu mukalap anu ngarah kasenengan di aherat. Ari maneh teh wajib kudu ngaraksa badan sumawon anggota maneh anu tujuh. Ulah migawe doraka anu di cela ku Allah Ta’ala. Nyaeta maneh kudu ngaraksa sahiji mata, kadua ceuli, tilu letah, opat beuteung, lima perji, genep leungeun, tujuh suku.

Wahai semua manusia yang mukallaf yang menghendaki kebahagiaan di akhirat. Kalian wajib menjaga badan beserta tujuh anggota tubuhmu. Jangan berbuat durhaka yang dibenci oleh Allah Ta’ala. Yaitu kalian harus menjaga satu mata, dua telinga, tiga lidah, empat perut, lima kelamin, enam tangan, dan tujuh kaki)

Sayangnya, dalam teks “Bidâyah al-Thâlibîn” ini tidak terdapat keterangan yang menginformasikan pengarang dan titimangsa penulisannya. Meski demikian, teks “Bidâyah al-Thâlibîn” ini tersambung dengan teks setelahnya yang memiliki karakteristik kaligrafi (khat) yang sama, yaitu teks “’Umdah al-Insân” yang berisi kajian ilmu hadits.

Berbeda dengan teks “Bidâyah al-Thâlibîn”, pada teks “’Umdah al-Insân” didapati keterangan nama penulis, tempat dan tahun penulisan. Teks “’Umdah al-Insân” ditulis pada tahun 1865 oleh seorang bernama Unus yang bermukim di Kampung Sayang, Cianjur. Tertulis pada bagian teks “’Umdah al-Insân”:

اي حج جريت دينا كتاب عمدة الإنسان تتافي باس سندا بنغ منداكن تنا كتاب رظمة (؟) حدس انو متمد برغ دجرتكن تيتيلا فسن

(Ieu hiji carita dina kitab “’Umdah al-Insân” tatapi Basa Sunda beunang minda[h]keun tina kitab “Razhmah [?]” hadits anu mu[‘]tamad barang dicaritakeun tetela pisan// Ini suatu cerita dalam kitab “’Umdah al-Insân” tetapi dalam bahasa Sunda, dapat menukil dari kitab “Razhmah [?]” hadits yang mu’tamad, suatu yang diceritakan sangat jelas)

برتندا امفون تولسن فقر يغ برنما أنوس دكمفوغ سياغ جئنجور 1865
(Bertanda empunya tulisan, fakir yang bernama Unus di Kampung Sayang Cianjur. 1865)

* * * * *
Selain kedua kitab di atas, dalam bundel naskah tersebut juga terdapat teks berbahasa Sunda Pegon lainnya yang berjudul “Carita Hikayat Nabi Muruk” yang berisi ajaran moral Nabi Muhammad SAW untuk istri dan anak-anaknya.

Dalam kolofon, diinformasikan jika teks tersebut ditulis pada hari Kamis watu sore, awal bulan Haji tahun Alip (Zulhijjah 1283 H/ April 1867 M). Tertulis di bagian awal teks:

كول اممت نولس اغ دينا خمس وقت لغسر ويتن تغكل ساسه حج تهون الف. جريتن حكاية نبي كستي نبي محمد اكر غووروك كفتراء استرين دبوم دوي فاطمة جغ جروكين اكر فست. غوروك لمفه انو الوس جغ لمفه نو متك دوركا

(Kula amimiti nulis ing dina Kemis waktu lingsir [ka]witan tanggal sasih Haji [Zulhijjzah] tahun Alip [1283 H/April 1867 M]. Caritana hikayat Nabi Gusti Nabi Muhammad eukeur ngawuruk ka putra istrina di bumi Dewi Patimah jeung carogena eukeur [pesta ?]. Ngawuruk lampah anu alus jeung lampah nu matak doraka.

Saya memulai menulis pada hari Kamis waktu senja pada awal tanggal bulan Haji [Zulhijjah] tahun Alip. Cerita hikayat Nabi Gusti Nabi Muhammad sedang mengajar kepada anak dan istrinya di rumah Dewi Fathimah beserta suaminya yang sedang melakukan [pesta ?]. Mengajarkan beberapa perilaku yang baik dan perilaku yang menjadikan durhaka)

Sistem penanggalan yang ditulis dalam teks “Carita Hikayat Nabi Muruk” ini terbilang unik, karena memakai sistem penanggalan Mataram (Jawa)-Islam. Kesultanan Mataram-Islam, yang pernah menguasai wilayah Sunda-Priangan pada abad 17-18 M, memiliki sistem penanggalan (kalender) sendiri yang berbeda dengan sistem penanggalan Hijriah (Arab-Islam) atau pun Gregorian (Masehi).

Perbedaan itu tampak utamanya dalam penyebutan tahun. Dalam sistem kalender Mataram-Islam, tahun-tahun disebutkan dengan “Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir” dan berotasi berdasarkan siklus hitungan “windu” (delapan tahunan).

Tahun “Alip” yang sebagaimana tertulis pada teks “Carita Hikayat Nabi Muruk” di atas, ketika dikonversikan ke dalam kalender Hijriah dan Gregorian, maka hasilnya adalah 1283 Hijri atau 1867 Masehi.

* * * * *
Teks berbahasa Sunda Pegon lainnya yang tergabung dalam bundel naskah SD (?) adalah “Cariyos Sultan Mahmud” yang berisi kajian pendidikan karakter untuk kaum perempuan dan diceritakan melalui tokoh bernama Sultan Mahmud.

Teks ini ditulis pada 8 Syawwal tahun 1279 Hijri (28 Maret 1863). Di antara teks-teks lainnya yang terdapat dalam bundel, teks “Cariyos Sultan Mahmud” ini yang paling lengkap informasi kolofonnya. Tertulis di sana:

ايسن اممت نولس اكر مغس دنتن أحد تغكل 8 ساسيه شول هجرة نبي كغ مليا سيو كاله اتوس تهون توجه فوله فونجول سمبلن نو متك كول نولس سبب كولا بنا بنا سوكا رسف جريتنا استري الوس فنتنا فنتس جدي تولدان سوكن مغكي كافيون كافغكيه كو فتو فترء جغ ووكس مولا سنتري كا فوت فترء سديا كود فد رسف بائي كان اي جريوسنا سرة

(Isun amimiti nulis eukeur mangsa dinten Ahad tanggal 8 sasih Sawal Hijrah Nabi kang mulya Sewu Kalih Atus tahun Tujuh Puluh punjul Sambilan [1279]. Nu matak kula nulis sabab kula bina-bina suka resep caritana istri alus panatana pantes jadi toladan. Sugan mengke kapayun kapanggih ku putu putra. Jeung wewekas mula santri ka putu putra sadaya kudu pada resep bae kana ieu cariyosana serat.

Aku memulai nulis pada masa hari Ahad tanggal 8 bulan Syawwal Hijrah Nabi yang mulia Seribu Dua Ratus tahun Tujuh Puluh lebih Sembilan [1279]. Yang menjadikanku menulis adalah sebab sangat suka dan senang cerita para istri [perempuan] yang bagus budinya dan pantas untuk dijadikan tauladan. Barangkali nanti ke depan ditemukan oleh anak cucu. Dan segera mula santri [?] kepada anak cucu harus menyukai juga cerita tulisan ini)

Teks Sunda Pegon lainnya adalah “Cariyos Mu’jizat Kangjeng Nabi” yang mengisahkan mukjizat Nabi Muhammad SAW. Dalam keterangan yang terdapat di dalamnya, teks ini ditulis oleh seorang bernama Ujang Eunem dari Kedung Girang (Cugenang, Cianjur).

اي كتاب تمبغ سندا جريوس معجزة كغجغ نبي محمد/ رسول صلى الله عليه وسلم نرونكن بولن تي لاغت/ اري انو كاكوغن اجغ انيم/ جالك د كدوغ كراغ/ تمت

(Ieu kitab tembang Sunda cariyos Mu’jizat Kangjeng Nabi Muhammad Rasulullah SAW nurunkeun bulan ti langit. Ari anu kagungan Ujang Eunem calik di Kedung Girang. Tamat// Ini adalah kitab tembang Sunda cerita Mu’jizat Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah SAW yang menurunkan bulan dari langit. Adapun yang menjadi empunya kitab ini adalah Ujang Eunem yang bermukim di Kedung Girang. Tamat)

Terdapat teks Sunda Pegon lain yang lebih tipis dan berisi kajian petunjuk ibadah haji, yaitu “Rukun Haji”. Sayangnya, dalam teks ini tidak didapati keterangan penulis, tempat penulisan, juga titimangsanya. Lainnya, terdapat pula teks dengan kolofon “di poe Sabtu bulan Sawal sakitu pertela taun, di Pasantren Cikaret Cianjur”.

* * * * *
Keberadaan teks-teks yang ditulis dalam bahasa Sunda Pegon di Cianjur pada rentang masa tahun 1860-an (pertengahan abad 19 M), bagi saya, adalah sebuah hal yang menarik.
Hal ini menegaskan bahwa tradisi penulisan dengan menggunakan bahasa Sunda Pegon memang terbukti eksis pada masa itu.

Sebagaimana diungkapkan oleh Mikihiro Moriyama dalam bukunya yang berjudul “Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19” (2005: 34), bahwa sebelum pihak kolonial Belanda memperkenalkan aksara Latin untuk digunakan dalam penulisan bahasa Sunda pada abad ke-19, bahasa Sunda telah ditulis dalam aksara Arab (Pegon) dan juga aksara Cacarakan (Jawa).

Aksara Arab (Pegon) diperkenalkan oleh para ulama Muslim sejak abad ke-15 dan digunakan di lingkungan institusi-institusi Islam. Sementara aksara Jawa diperkenalkan pada abad ke-17 M ketika Kesultanan Mataram menanamkan pengaruhnya di wilayah Sunda (bagian barat pulau Jawa), juga ketika para “menak” (bangsawan lokal Sunda) mengikuti pelbagai macam model bahasa dan budaya yang berasal dari pusat keraton di Jawa Tengah (Yogyakarta dan Surakarta).

Hal menarik lainnya adalah masa ditulisnya teks-teks berbahasa Sunda Pegon di Cianjur ini bersamaan dengan masa gerakan kebangkitan literasi penulisan (dan percetakan) karya-karya sastra berbahasa Sunda yang dipelopori oleh RH. Moehammad Moesa (penghulu besar Garut) dan K.F. Holle (penasehat urusan pribumi untuk pemerintahan kolonial Hindia Belanda).

Sejak tahun 1850-an, Holle dan Moesa melakukan “pemurnian” bahasa Sunda dari unsur-unsur Melayu dan Jawa. Keduanya lalu berkolaborasi “menciptakan” teks-teks sastra berbahasa “Sunda murni” itu, baik dalam bentuk prosa atau pun puisi. Namun demikian, teks-teks tersebut ditulis dalam aksara Latin (Eropa) dan aksara Cacarakan (Jawa), bukan dalam aksara Pegon (Arab).

Menurut Moriyama, Holle dan Moesa “tidak menyukai aksara Pegon dan cenderung ingin menyingkirkannya”. Aksara Arab-Pegon dianggap sebagai “ancaman” untuk pemerintah kolonial pada masa itu, dan oleh karenanya orang-orang Sunda harus dijauhkan darinya. Wallahu A’lam

02251
Ahmad Ginanjar Sya'ban
Alumnus Mahasiswa Al Azhar, Dosen UNUSIA Jakarta, dan Peneliti Ulama Islam Nusantara.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Manuskrip