Titik fokus yang tertuju oleh para penuduh kebid’ahan selawat ini mayoritas terfokus diatas empat kalimat yang berurutan dibawah ini.
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Mari kita rinci dan artikan dari setiap kalimat yang ada :
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ Artinya: “Segala ikatan bisa lepas karena Nabi Muhammad.”
وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ Artinya: “Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad.”
وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ Artinya: “Segala kebutuhan bisa terpenuhi karena Nabi Muhammad.”
وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ Artinya: “Segala keinginan bisa terkabulkan dengan adanya Nabi Muhammad.”
Kesalahan memahami yang terjadi di benak bara penuduh dan penghujat selawat ini, mereka memahami bahwasanya Rasulullah saw. Mempunyai kemampuan melapangkan kesulitan, menolak bencana, dan mengkabulkan hajat. Walhasil mereka mengatakan ini semua merupakan sebuah kemusyrikan dan penyelewengan dalam ranah akidah.
Mari kita rincikan dari kacamata ilmu nahwu :
Dilihat dari kacamata ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yang berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata محمّد.
Untuk memahami persoalan ini, mari kita kupas satu per satu kalimat tersebut.
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Pertama, kalimat تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ . Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudhari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Contoh: كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ “Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.
” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek yaitu “saya” yang memecahkan. Disini kita fahami bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak dari pekerjaan sebelumnya.
Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya (dan hakikinya) tetaplah Allah sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.
حل الله العقد فانحل
Kedua, تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ Senada dengan penjelasan di atas, تَنْفَرِجُ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْفَرَجَ, yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka dapat diandaikan bahwa فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ.
Dengan demikian, hakikat pelaku yang menyingkap bencana dan kesusahan, bukan Nabi Muhammad melainkan Allah semata.
Ketiga, تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhul). Dalam ilmu nahwu, fi’il mabni majhul tidak menyebutkan fa’ilnya salah satu alasannya karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan.
Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “Zaid dipukul” maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan.
Dengan demikian kita bisa mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut. يَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ “Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.”
Keempat, تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ Penjelasan ini juga hampir sama dengan kasus تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ.
Ringkasnya, bahwa pemahaman yang harus kita tanamkan adalah Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan segala hajat, karena sesungguhnya itu semua atas kuasa Allah semata, dalam kalimat tersebut fa’ilnya disembunyikan.
Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui. Alhasil, dapat kita fahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya sebuah kekeliruan besar. Sebab, kemampuan yang sesungguhnya untuk melepas segala kesulitan, menghilangkan bencana dan kesusahan, memenuhi kebutuhan dan mengabulkan hajat, hanya mutlak dimiliki Allah swt.
Dan inilah yang dimaksudkan pengarang selawat Nariyah, karena kefaqihan beliau yang luar biasa sehingga tidak menyusun sighat selawat yang tidak ada arti tersembunyi didalamnya.
Bisa juga menambah pemahaman dengan memaknai sighat :
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Dengan menelisik makna huruf dan tarkibnya. Huruf ب (ba’) dalam bahasa arab mempunyai banyak makna diantara maknanya terdapat Ilsaq atau bertemu, juga untuk istianah yang berarti pertolongan, assababiyyah yang berarti sebab dan ada sebelas faidah lainnya dari huruf ba’ ini, bisa dilihat dalam kitab fan-nya.
Dalam redaksi ini huruf (ba’) bermakna sababiyah (sebab)
Dalam al Qur’an Allah berfirman :
إِنَّكُمۡ ظَلَمۡتُمۡ أَنفُسَكُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلۡعِجۡلَ Sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), disini huruf ba’ (بِٱتِّخَاذِكُمُ) bermakna sababiyyah.
Begitu juga dengan shalawat diatas, makna dari setiap huruf ba’ adalah bermakna sababiyyah (sebab).
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ Artinya: “Segala ikatan dan bisa lepas karena Nabi Muhammad.” وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ Artinya: “Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad.”
Apakah tidak terlepas tali kesyirikan dan kejahiliyahan di muka bumi karena perutusan Nabi Muhammad,? Apakah tidak lepas segala kesulitan karena Nabi Muhammad,? Bahkan di hari kelak nanti, puncak dari segala kesulitan (hari kiamat) , Nabi Muhammad akan memberi syafaat kepada ummatnya.
Kemudian kalimat selanjutnya adalah وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Artinya: “Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad.” وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ Artinya: “Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad.”
“Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad.” Bermakna: Kita menghadap kepada Allah, meminta kepadaNya, dengan bertawassul kepada Nabi Muhammad saw. Dan bertawassul di kepada para anbiya dan auliya dalam doa merupakan hal yang disyariatkan menurut pendapat empat madzhab fiqih.
Lalu dimanakah letak permasalahan dan kesalahan yang ada? Dimanakah kemusyrikan dan bid’ah terkandung?
Tak lain itu semua terletak di pemikiran orang yang kaku, sempit dalam memaknai agama, memaknai nas dari dzohirnya saja dan lebih mengedepankan buruk sangka terhadap orang yang beda pendapat dengannya, walaupun diutarakan sejuta dalil juga tidak akan berubah, kecuali ia sendiri yang ingin berubah dan Allah yang merubahnya.