Salafi-Wahabi dan Label Bid’ah pada Tradisi Tahlilan

Sebagaimana karakteristik Salafi-Wahabi yang umum diketahui mengarah pada tindakan ekstrem, ghuluw, eksklusif, tekstualis, bahkan puritan, nampaknya hal demikian juga menjadi ukuran dasar dalam merespon serangkaian tradisi Islam di Indonesia. Pasalnya mereka seketika langsung menganggap kafir bagi mereka yang melaksanakan amalan yang tidak ada di zaman Nabi.

Ajarannya pun bisa dikatakan ekstrim dan menyimpang dari ruh Islam yang sesunggunya dengan takfiri terhadap seseorang yang beristighasah kepada Sang Pembimbing Ummat saw, bertawassul kepada seseorang yang meninggal, bahkan termasuk tradisi tahlilan. Mereka mengatakan bahwa: “Bertawassul dengan selain yang hidup dan yang hadir (ada di depan kita) adalah kufur”(Tim Aswaja NU Center, 2016). Kemudian dalam riwayat lain, Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan:

“Barangsiapa yang masuk dalam dakwah kita maka ia akan mendapatkan hak sebagaimana hak-hak kita dan memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban kita dan barang siapa yang tidak masuk (dalam dakwah kita) maka ia kafir dan darahnya halal. (Tim Aswaja NU Center, 2016)

Selanjutnya, doktrin-doktrin Wahabi selain mengklaim amaliah-amaliah tertentu termasuk tahlilan sebagai tasyrik, dan juga dianggap kafir, golongan Wahabi juga kerap menanamkan doktrin bid’ah. Bid’ah menurut mereka merupakan praktik-praktik/laku keagamaan yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw dan tidak ada dasarnya dalam teks al-Qur’an. Sehingga konsep bid’ah ini nantinya dipasangkan oleh Wahabi sebagai lawan negatif sunnah.

Dalam amaliah-amaliah/ritual/tradisi Islam, praktik-praktik keagamaan yang kerap kali dikatakan sebagai bid’ah oleh Wahabi yang menjadi identitas muslim Indonesia adalah diantaranya: (Maulid Nabi), (haul/tahlilan), sholawatan, dan praktik keagamaan serupa yang hanya ada di Indonesia. Konsep bid’ah yang dijadikan pegangan kaum Wahabi ini merupakan konsep dakwah yang digegas oleh pendirinya (Muhammad bin Abdul Wahhab), yang dalam kitabnya ia mengatakan: “Ma ja’a anna al-bid’atu asyaddu min al-khabair” (Aapa saja yang termasuk dalam kategori bid’ah itu adalah dosa besar”.

Dapat kita ketahui seperti yang dikatakan di atas bahwa melakukan tradisi tahlilan, bertawassul, membaca al-Qur’an, membaca sholawat, memperingati haul yang pahalanya dihadiahkan untuk orang meninggal maka dianggap dosa besar oleh kelompok Wahabi. Salah satu Ulama Wahabi kontemporer bernama Abdul Aziz bin Baz, mencantumkan dalam karyanya yang bertajuk Syarhu ats-tsalastatil ushul, salah satunya isinya berisikan bahwa siapa saja yang bertaqarrub kepada selain Tuhan (Allah), baik mencakup Nabi, wali, pohon, ataupun hal yang lain, maka oleh Wahabi hal itu dianggap kafir dan musyrik.

Baca Juga:  Merdeka Belajar dalam Tradisi Pendidikan Pesantren

Ketika seseorang sudah terpengaruh oleh paham Wahabi, biasanya langsung menentang dan menggugat kesimpulan bahwa ketika membaca takbir, tasbih, tahlil, shalawat, tahmid, al-Qur’an dan shalawat yang bermanfaat ketika dihadiahkan kepada orang yang meninggal. Padahal dalam sebuah hadits riwayat Ahmad dalam al-Musnad (14873, 15029), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (5346), al-Hakim al-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul, terdapat sebuah hadits shahih dan hasan sanadnya yang ada sangkut pautnya dengan tahlilan, sebagai berikut:

“Sahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata: “Pada suatu hari kami keluar Bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Sa’ad bin Mu’az ketika meninggal dunia. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, ia diletakkan di dalam kubur, dan kemudian diratakan dengan tanah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca tasbih, dan kami membaca tasbih dalam waktu yang lama. Baginda membaca takbir dan kami membaca takbir pula. Kemudian baginda ditanya: “Wahai Rasulullah, mengappa engkau membaca takbir?”, Baginda menjawab: “Sungguh kuburan hamba Allah yang shaleh ini benar-benar menghimpitnya, (maka aku membacanya) sehingga Allah melepaskannya dari himpitan itu.”

Sebagaimana yang perlu kita pahami, memang benar secara tekstual hadits tersebut dilakukan ketika sewaktu pemakaman ketika sahabat Sa’ad bin Mu’adz dikebumikan. Namun, jika ditilik secara kontekstual pembacaan takbir dan tasbih tersebut tidaklah terbatas hanya ketika waktu pemakaman saja, dengan berbagai alasan yang dibilang tepat. Ketika Rasul ditanya oleh sahabat selepas membaca tasbih dan takbir, Rasulullah hanya menjawab bahwasanya bacaan tersebut bisa bermanfaat untuk melepaskan Sa’ad bin Mu’az dari himpitan tanah kuburnya.

Berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan keterkaitan antara pengikut manhaj Salafi dan kelompok Wahabi dalam menyikapi tradisi tahlilan. Mereka memang mengaku berbeda dengan kelompok Wahabi, akan tetapi sikapnya terhadap tradisi tahlilan, sholawatan, dzikir, dan doa yang ditujukan kepada orang yang meninggal tidaklah sampai dan tidak akan diterima. Hal ini dikatakan sebagai bid’ah dan segala macam bid’ah menurut mereka merupakan hal yang munkar.

Baca Juga:  Ruwat Desa Dusun Suruh, Kabupaten Sidoarjo Dimulai dengan Istighosah Bersama, Ditutup Pagelaran Wayang Kulit

Adapun bid’ah yang mereka kategorikan adalah bid’ah dalam hal ibadah/hal yang sifatnya agamis atau berkaitan dengan dunia Islam. Akan tetapi, kemajuan teknologi dan semacamnya bukanlah suatu bid’ah yang tidak dikatakan mungkar (Selvia Ananda Aisyah (penganut Wahabi), Wawancara, 2021). Beberapa ustadz yang menjadi rujukan mereka dalam hal kajian Islam diantaranya Yazid Jawwaz (Feby, Wawancara, 2021) yang selama ini banyak yang menentang dakwahnya yang terkenal sebagai penganut aliran Islam Wahabi yang terbilang keras, gampang menyesatkan golongan lain, takfiri, dan membid’ahkan segala urusan agama yang tidak ada dalilnya.

“Saya tidak setuju (tahlil, doa, sholawat, dzikir yang pahalanya ditujukan kepada orang yang meninggal), karena amalan yang dibawa seseorang ketika meninggal hanya tiga hal, yaitu ilmu bermanfaat, amal shalih, dan doa anak yang shalih shaliha” (Selvina Ananda Aisyah penganut manhaj Salaf).

“Bid’ah dalam al-Din hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat” (Hadits Riwayat Abu Daud, dan Tirmidzi: hadit yang hasan dan shahih).

“Adapun tentang tahlilan, yang setahu saya biasanya untuk selamatan, ini menurut kami termasuk bid’ah yang munkar, karena tidak pernah ada tuntunannya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat” (Sabitha (penganut manhaj Salafi-Wahabi), Wawancara, 2021).

Selain menyatakan hal itu, narasumber juga menambahkan bahwa do’a, sholawat, dzikir yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dianggap tidak akan sampai dan tidak diterima. Hal ini mereka lakukan dengan alasan untuk memurnikan ajaran Islam, supaya menjadi generasi yang baik sesuai dengan yang diharapkan Rasulullah saw dan para Sahabat. (Sabitha, Wawancara, 2021).

Baca Juga:  Orang Tua Nabi Masuk Neraka

Dari beberapa fakta-fakta bahwa kelompok Wahabi yang meragukan dan menentang tradisi tahlilan di atas yang dianggap menyesatkan, terdapat sebuah pernyataan oleh Syekh Ibn Taimiyah yang di klaim sebagi rujukan utama paham Wahabi yang ketika diinterpretasikan tidaklah menentang hal-hal yang terdapat dalam komponen/komposisi tradisi tahlilan. Sebagaimana dalam komponen tahlilan yang terdiri dari al-Qur’an pilihan, tasbih, tahlil, shalawat, doa dan lainnya. Komposisi/komponen didalamya terdapat beberapa dzikir pilihan sudah ada sejak berabad-abad lalu. []

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Opini

Menangisi Kebodohan

“Menangisi kebodohan bukanlah suatu sikap tercela, melainkan sesuatu yang terpuji sebagai wujud ketawadluan ...

Tinggalkan Komentar

More in Opini