Kepopuleran selawat nariyah tak bisa dilepaskan di tengah masyarakat Nusantara. Dari kecil sampai dewasa, dari masyarakat desa hingga kota, dari kalangan awam maupun ulama, hampir semua tak asing akan selawat ini. Kecuali oleh mereka yang mengingkarinya dan menganggapnya bid’ah dan sesat.
Shigat selawat Nariyah
Beredar banyak sighat dari selawat agung ini, semua bersumberkan dari sanad guru masing-masing. Shighat yang saya tulis disini dari guru saya Syeikh Muhammad Muhanna dari guru beliau Syeikh Muhammad Zakiyyuddin Ibrohim dari kitab beliau “Fiqih Sholawat wal mada’ih annabawiyyah” :
((اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ، يا حي يا قيوم))
Shalawat ini mempunyai beberapa sebutan, diantaranya yaitu sholawat nariyah,sholawat taziyah, sholawat tafrijiyah dan juga sholawat Qurtubiyah.
Dinamakan selawat nariyah karena dia seperti api yang cepat membakar, atau cepat terkabulnya doa dengan wasilah sholawat ini. Dan sselawat taziyah dinisbatkan kepada sang pencetus, yaitu Ulama besar dari Maroko Syeikh Ibrohim bin Muhammad bin Ali Attazi al Fasi.
Keberagaman selawat.
Seperti yang dikutip oleh Maulana al Imam Syeikh Zakiy Ibrohim dalam kitabnya, bahwasanya ini bukan merupakan hal yang baru, sejarah telah mencatat akan keberagaman selawat sudah terjadi semenjak zaman shahabat. Dimana Sayyidina Imam Ali bin Abi Thalib Ra. mempunyai sighoh selawat yang khusus. Seperti yang dituliskan oleh Imam al Qadhi Iyadh dalam Asyyifa.
Hal serupa juga dilakukan oleh Sayyidna Ibnu Mas’ud Ra, yang banyak diriwayatkan oleh para muhaddist dalam kitabnya. Kemudian disusul oleh para ulama, dan dikumpulkanya keberagaman shighat itu, dari era pertama oleh al Hafiz Ibnu Abi Addunya dalam kitabnya yang bertajuk “Assolah Alannabii Saw” hingga saat ini yang tak asing ditengah kita seperti Dalailul Khairot karya Imam Jazuli dsb.
Keberagaman sighah selawat merupakan warna- warna cinta yang terpancarkan dari para pecinta Baginda Nabi Muhammad Saw. Mereka mengungkapkan kecintaan, keagungan dan kemuliaan Sang Baginda sesuai kadar dan kemampuan mereka, akan tetapi kemuliaan dan keagungan Baginda Nabi Muhammad Saw, hanya dia dan Allah semata yang mengetahuinya. Semua berlomba untuk menghadiahkan sholawat kepada sang Baginda pujaanya.
Hukum melantunkan selawat nariyah.
Pada dasarnya qaidah hukum umum dalam hukum permasalahan dzikir dan doa adalah keluasan hukum itu sendiri dan bukan kesempitanya. Dimana para auliya sholihin, masing-masing mempunyai jalan dan amaliyah dalam perjalanan sepritualnya.
Namun belakangan ini ada sebagian dari saudara kita terlalu mempersempit akan hukum itu. Padahal asli kaidah hukumnya dalam hal ini adalah luas dan bukan sempit.
Berangkat dari sebuah hadist misalnya yang bersangkutan akan problem ini, al Imam Al Bukhari dalam dalam sahihnya menyebutkan:
عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه قال: كنا يومًا نصلي وراء النبي صلى الله عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه من الركعة قال: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ»، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: «مَنِ المُتَكَلِّمُ» قَالَ: أَنَا، قَالَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
Artinya, “Dari Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah, saat bangun dari ruku’ ia membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah” Tiba-tiba ada seorang sahabat yang membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran tayyiban mubarakan fihi (wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah).
Setelah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu berkata, ‘Saya wahai Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat berloma-lomba untuk siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).
Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang dibaca sahabat dalam shalat tersebut belum pernah dibaca oleh Nabi Muhammad saw. Ketika ada sahabat yang membaca doa tersebut Rasulullah tidak marah apalagi mencaci, akan tetapi beliau malah memujinya hingga kita pun boleh mengamalkannya. Sebab itu, al Imam Ibnu Hajar al Atsqalani dalam kitabnya Fathul Bari mengatakan:
واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور
Artinya,
“Hadits ini dijadikan dalil sebagai kebolehan membuat dzikir yang tidak ma’tsur dalam shalat selama tidak bertentangan dengan hukum ma’tsur.”
Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam ibadah yang mencangkup zikir, pujian dll juga dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat islam.
Tentu seperti yang telah kita pelajari maksud bid’ah di sini adalah bid’ah hasanah dan bukan bid’ah sayyi’ah. Hal ini juga sudah dilakukan oleh sahabat Rasulullah di hadapan beliau Saw, seperti redaksi hadist diatas.