Santri

Santri Jadi Youtuber, Why Not?

(Ilustrasi: Freepik.com)

Bosan. Penat. Jenuh. Itu barangkali yang dirasakan teman-teman ketika harus berlama-lama di rumah karena wabah corona (covid19) ini, namun tak ada aktivitas. Lalu, adakah aktivitas produktif yang bisa dikerjakan di rumah? Tentu banyak. Saking banyaknya, jika ditulis di buku, mungkin bisa setebal skripsi. Di sini saya hanya akan sharing salah satu aktivitas saja, yaitu menjadi youtuber, alias tukang bikin konten atau tukang aplud video di youtube.

Tentu tulisan ini tidak teoritik. Kalau ingin yang detail, teman-teman bisa googling atau menyimak tutorial di youtube yang jumlahnya seabreg. Saya hanya sekadar sharing pengalaman, yang sekitar dua tahun ini, sering utak-utek video dan memelototi perkembangan youtube, khususnya dalam hal dakwah Islam. Tentu tak secanggih teman-teman yang memang sedari awal terjun ke dunia per-youtube-an ini. Tetapi setidaknya, ada pengalaman sedikit lah untuk dibagi.

Pada awalnya, saya memang tertarik dalam dunia media khususnya jurnalistik, semenjak nyantri dulu. Saya pernah membuat buletin kampus dan majalah pondok. Namun dunia video memang benar-benar baru bagi saya. Pula, saya tak begitu tertarik pada awalnya. Lebih tertarik pada desain gravis, yang lebih banyak mengeksplor seni. Namun minat memang bisa terjadi begitu saja, seperti melihat wanita yang lalu jadi jodoh kita.

Ketertarikan saya pada dunia video terjadi pada awal 2016, di mana ketika iseng membuka akun instagram, saya mendapati fakta bahwa dakwah keagamaan digital di Indonesia ternyata banyak diisi oleh mereka yang non-santri. Sebagai santri, waktu tentu itu saya stress bukan main, sampai-sampai tak bisa tidur. Jantung berdetak kencang seperti mau nembak cewek. Bahkan seandainya minum 9 tablet obat tidur, tak mampu meninabobokkan. Saya berpikir keras: bagaimana caranya berkompetisi dengan media-media itu? Huh!

Baca Juga:  Santri Pewaris Para Nabi (1)

Namun akhirnya inspirasi pun jatuh dari langit: “saya harus belajar membikin video!” Dan tutorial-tutorial pun saya baca dan tonton. Saya berlatih mengedit video dari nol, memakai smartphone. Kebetulan, di rumah singgah kami, ada set computer lengkap, dan saya mencoba beralih memakai computer. Ternyata, meski dulu jurusannya keagamaan, pun bisa mengedit video kalau mau belajar. Tentu, sesekali kesulitan juga, yang tak saya temukan di tutorial. Seakan semesta mendukung, seorang junior saya ada yang jago ngedit video. Hanya saja, doi profesinya nyoting orderan apa saja: mulai dari dangdut hot, acara hajatan sampai pengajian, sekaligus mengeditnya. “saya harus belajar kepadanya, meski secara umur lebih junior,” batin saya waktu itu. Gengsi untuk bertanya dan belajar kepada yang lebih muda, saya buang jauh-jauh ke selokan!

Saya pun membuat akun di Instagram. Terakhir, follower-nya 35k, sebelum akhirnya akun malang itu keblokir kartunya, dan lupa paswordnya: tak bisa dibuka. Di sela membuat video untuk akun itu, sesekali saya kirim ke sebuah media nasional. Ternyata diterima, sampai akhirnya saya diajak gabung ke sana. Dan dalam kurun itu, sampai saat ini, saya masih terus belajar dan belajar.

Menjadi Youtuber Butuh Konsisten

Pertama yang harus dimiliki adalah email dan akun youtube. Setelah itu tinggal kita membuat konten. Apa kontennya? Terserah! Di zaman akhir ini, semua laku: mulai dari suara jangkrik atau gemercik air di desa, sampai doa istri saat kontraksi melahirkan. Mulai dari yang model nge-vlog, talkshow, ngobrol, sholawatan, kajian, sampai liputan informasi yang memakai ilustrasi, tak perlu menampilkan wajah kita sendiri. Yang terakhir ini cocok untuk orang pemalu seperti saya, yang tak PD dan geli sendiri kalau mukanya ditonton masyarakat.

Baca Juga:  Santri MUDI Samalanga Kembali ke Dayah dengan Protokol Kesehatan yang Ketat

Alatnya apa saja? Apakah harus yang mahal-mahal? Tentu saja tidak. Kalau ada, baiknya memang punya studio lengkap. Tapi kalau kaum proletar seperti saya, menggunakan smartphone, clip on dan tripod sudah cukup. Lighting kalau mau syuting malam bisa bikin sendiri menggunakan lampu yang banyak dijual di toko. Sudah, itu sudah cukup sebagai “senjata “untuk kita bisa berkarya di youtube.

Kalau senjata sudah siap, tinggal eksekusi membuat konten sesuai keinginan dan minat teman-teman. Bisa konten yang dibutuhkan sehari-hari, bisa juga sesuai google trend dan apa yang sedang trending, menjadi pembicaraan warganet. Tak harus sama, bisa mengait-ngaitkannya. Tentu konten yang kita bikin adalah hal yang positif, karena sudah terlalu banyak sampah digital di alam maya. Kalau sudah, video diedit dengan menambahkan nama channel kita. Oh iya, usahakan panjang video antara 7 sampai 10 menit, maksimal 15 menit. Karena warga +62 segitu rata-rata jam tontonnya. Kasihan kuotanya juga kalau terlalu lama: masih ada kebutuhan perut dan asmara.

Hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam membuat konten adalah: siapa target sasaran kita? Rentang usia berapa umur mereka? Bagaimana minat, gaya dan kehidupan mereka? Pada intinya: all about audiens. Kalau target kita anak milenial kota tapi membawakannya dengan gaya orang desa memakai bahasa daerah pula, maka sudah bisa dipastikan hasilnya: jaka sembung bawa pedang, nggak nyambung, Bang.

Setelah itu, video diunggah ke youtube. Jangan lupa, sebelum di-publish, beri thumbnail (cover) yang menarik dan judul yang bikin penasaran. Seperti kata Gus Dhofir Zuhry, ustadz yang doyan membully jomblo itu, “penasaran adalah bagian dari pemasaran”.

Setalah itu bagaimana? Tahap selanjutnya adalah mempromosikan video itu. Oleh karena kalau hanya mengandalkan kolom pencarian di youtube saja terlalu lama meningkatkan viewer-nya. Teman-teman bisa membagikan link-nya di WA/WAG, fanpage/ Grup facebook atau instagram/ instastory. Selanjutnya, biarlah alam bekerja dengan sendirinya.

Baca Juga:  KH Muhammad Yahya, Dari Angkat Senjata Sampai Perang Gerilya

Kemudian, yang butuh energi juga adalah konsisten. Baik konsisten tema yang diangkat, maupun waktu mengunggahnya. Jangan kita ngevlog olah raga dicampur dengan konten dakwah, atau tutorial, kecuali kalau teman-teman adalah orang cuantik atau guanteng yang memiliki banyak follower jones (jomblo ngenes). Konsisten dalam konten ini penting, FYI, teman dari teman saya konsisten mengunggah kegiatannya memancing, dan itu membuahkan hasil: viewer dan subscriber-nya meledak. Dari youtube ia banyak dapat pundi-pundi uang, sampai-sampai profesi wartawannya dia letakkan begitu saja, seperti meletakkan latu rokok di atas asbak. Padahal cuma mancing di tegalan atau empang. Dia mendapat buah dari ajaran yang lama kita kenal dalam kitab-kitab kuning: istiqamah (konsisten).

Nah, kalau teman-teman santri lebih tepatnya alumni, karena santri nggak boleh bawah HP bisa berkreasi meramaikan dunia per-youtub-an tanah air, saya kira itu kabar gembira. Bisa konten apa saja, khususnya adalah konten keagamaan, mengingat semangat beragama masyarakat kini meningkat tajam, khususnya di kota-kota. Tak hanya kaum tua, tetapi justeru mereka yang muda-muda. Maka, tugas para santri alumni pesantren lah untuk menyampaikan dakwah Islam yang sejuk dengan gaya muda: elegan, fresh, modern dan kekinian. Jadi, santri jadi youtuber, why not?

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri