Sering menjadi pertanyaan, mengapa Oto Iskandar di Nata tidak dianggap sebagai salah seorang pendiri TNI? Padahal hampir seluruh pekerjaan Oto pada era Jepang dan setelah kemerdekaan, selalu berkaitan dengan urusan prajurit. Mungkin karena Oto tidak pernah berurusan langsung dengan teknis kemiliteran, tetapi aktif membantu di luar hal itu. Perbandingannya sama dengan posisinya sebagai direktur Sipatahoenan dan Tjahaja, tetapi secara resmi ia tidak pernah diakui sebagai tokoh pers nasional. Yang diakui sebagai tokoh pers adalah para mantan pemred dua harian tersebut. Soal peran seorang tokoh dalam perjuangan itu pada akhirnya memang kembali kepada tafsir sejarawan.
Ketika surat Gatot diterima dengan baik oleh Saiko Sikikan, seperti tokoh-tokoh lain, Oto (7/10/43) mengirimkan surat dukungan. “… Bahwa yang bertanda tangan bersedia lahir batin untuk dipergunakan buat Pasukan Sukarela tersebut …”, begitu antara lain ditulis Oto dalam suratnya. Karena pendidikan calon PETA adalah uruan penguasa militer Jepang, maka Oto dan tokoh-tokoh lain memprakarsai suatu badan pendamping. Semacam lembaga sipil untuk mendukung kepentingan prajurit.
BPP
Setelah usulan PETA diterima lalu dibentuk pada 3/10/45, Oto ikut membantu proses perekrutan dan segala persoalan yang terkait. Pada 17/11/43, sebagai kepala badan persiapan pembentukan Badan Pembantu Prajurit (BPP) PETA dan Heiho, Oto mengumumkan bahwa badan tersebut telah disetujui untuk dibentuk. 18/11/43, ia menyatakan bahwa badan tersebut telah memiliki pengurus lengkap. Para pemimpin militer Dai Nippon duduk sebagai pelindung dan pengawas. Hatta dan 11 tokoh lain menjadi penasehat. Soekarno menjadi pemimpin besar. Sementara Oto terpilih sebagai ketua pengurus besar, atau pengurus harian, dibantu empat wakil ketua, yaitu K. A. Wahab, Soekardjo Wirjopranoto, Sartono, dan Margono Djojohadikoesoemo.
Badan yang beralamat di Jalan Gambir No. 2 Jakarta ini mempunyai tugas: 1) Memelihara jasmani dan rohani rakyat Indonesia dan mengobar-ngobarkan semangat untuk pembelaan tanah air, 2) Menjaga dan mengurus penghidupan keluarga dari prajurit yang berada di medan perang dan sedang menjalankan kewajibannya, 3) Mengurus penghidupan prajurit dan keluarganya yang mendapat luka, sehingga setelah sembuhnya tidak dapat bekerja lagi, 4) Mengadakan usaha penghormatan prajurit yang tewas dalam menjalankan kewajibannya, 5) Mengadakan usaha penghiburan dan mempertebal semangat para prajurit dan keluarganya, 6) Membantu meringankan prajurit yang mendapat sakit, 7) Menganjurkan dan mengadakan usaha memberi pekerjaan yang patut kepada bekas prajurit, 8) Membantu mengadakan segala persediaan dan alat-alat guna pembelaan tanah air.
Melalui pidato radio dan liputan media cetak, Oto mendorong masyarakat agar membentuk BPP di setiap tingkatan. BPP daerah antara lain membantu proses pendaftaran calon prajurit dan menghibur calon yang gagal. Karena ketatnya persyaratan militer Jepang, tidak semua calon yang mendaftar dapat diterima. Tidak mau hanya bicara, Oto juga mendorong anak sulungnya, Sentot, untuk mendaftar sebagai prajurit PETA. Jejak ini diikuti oleh banyak tokoh, antara lain Sutisna Senjaya yang mendaftarkan puteranya yang bernama Katamsi. Tak heran jika di kemudian hari, prajurit PETA banyak diisi oleh anak-anak pembesar dan tokoh nasional dari semua kalangan.
BKR
Melalui rapat pada 23/8/45, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), menetapkan pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia dan Badan Keamanan Rakyat. Khusus untuk pembentukan BKR, dibentuk suatu badan induk bernama Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). BPKKP sendiri lahir pada 20/8/45. Dalam pasal 2 anggaran dasar BPKKP disebutkan, “Memelihara keselamatan masyarakat dan keamanan itu adalah satu, maka itu di “Badan Penolong Keluarga Korban Perang” diadakan satu bagian yang bernama “Badan Keamanan Rakyat”
Dalam badan yang dipimpinnya ini, lagi-lagi Oto tidak bersentuhan langsung dengan urusan teknis keprajuritan. BPKKP hampir sama dengan BPP, yang berbeda semangatnya, yakni untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Badan ini bekerja dengan sangat cepat. Pada 19/8/45 sudah terkumpul dana sebesar f 7,223, 845. Pada 30/8/45, BPKKP sudah bisa melakukan rapat perwakilan seluruh Jawa yang dilaksanakan di Balai Muslimin Indonesia di Jakarta. Lewat badan inilah pembentukan BKR diorganisir.
Seruan untuk membentuk BKR segera disambut di setiap daerah. Mereka yang sebelumnya aktif di BPP segera bergabung dalam BKR. Cabang-cabang BKR segera terbentuk di tingkat provinsi, karesidenan dan kabupaten. Para mantan prajurit PETA dan Heiho segera mengisi organisasi BKR, terutama pada bagian pasukan. Selain bagian ini, struktur BKR terdiri dari bagian eksekutif dan tata usaha, selain ada juga penasehat. Di Priangan misalnya, terpilih sebagai penasehat antara lain Poeradiredja, ketua eksekutif dijabat oleh Arudji Kartawinata, lalu Tatang sebagai kepala tata usaha, dan Sukanda Bratamanggala sebagai kepala pasukan.
Peran Pribadi
Sebagai ayah yang mendorong anaknya jadi prajurit PETA, Oto selalu memberi semangat kepada Sentot. Misalnya dalam sebuah surat kepada anaknya, Oto menulis (1944), “Engkau seorang perjurit, seorang terpilih sebagai seorang ksatria untuk mempertahankan Tanah Air kita. Haruslah engkau sanggup menempuh api dan air guna kepentingan tanah air kita, jika sekali engkau mendapat perintah.”
Di tengah gelora perjuangan itulah tercetus komitmen pribadi Oto untuk kemerdekaan, “Kalau Indonesia merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia, saya telah memajukan diri sebagai kandidat yang pertama untuk pengorbanan ini.” Pernyataan ini diucapkan Oto jauh sebelum proklamasi. Tekad tersebut diwartakan dalam harian Tjahaja, 29/4/45, bukan pada 21/8/45 seperti yang ditulis dan dikutip para sejarawan selama ini. Pada kesempatan lain Oto juga menyatakan bahwa asal saja sudah tercapai kemerdekaan Indonesia sehari saja, mati esok hari pun tak jadi penasaran.
Itulah Oto, putera Sunda yang telah menujumkan akhir hidupnya sebagai martir kemerdekaan Indonesia. Soal tuduhan sebagai kolaborator Jepang atau tuduhan lain, biarlah fakta-fakta historis yang berbicara. Soal pengakuan dari negara melalui tangan-tangan sejarawan, biarlah waktu yang akan mengungkapnya secara jujur dan jernih.
Alfatihah …