Di Makkah, ada beberapa keluarga ulama yang memiliki ikatan emosional dengan jaringan santri asal Asia Tenggara. Yang paling kondang, tentu saja klan al-Maliki. Sejak buyut hingga cicit, keluarga ini menjadi jujugan para pelajar Indonesia. Sayyid Abbas, buyut; Sayyid Alawi, kakek; Sayyid Muhammad, anak; dan Sayyid Ahmad, cicit. Keluarga ulama yang menjaga kemurnian aqidah dan amaliah Aswaja di tengah kepungan faham Wahabi. Ketika masih tinggal di Misfalah, maupun pindah ke Rushaifah, magnet keilmuan keluarga ini tetap mencorong. Selain mengasuh banyak santri asal Indonesia, keluarga al-Maliki juga menerima kunjungan para jamaah haji maupun umrah.
Bagi saya, keluarga al-Maliki telah menjadi salah satu pilar terpenting Ahlussunah wal Jamaah di abad XX hingga saat ini dengan beberapa alasan.
Pertama, keluarga ini bukan hanya memiliki sanad, melainkan juga nasab, yang bersambung kepada Rasulullah.
Kedua, produktivitas karya yang dihasilkan oleh Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki sehingga ikut memperkokoh keilmuan Aswaja, bukan hanya di Makkah, melainkan juga di berbagai belahan negara di dunia. Di status ini, saya sertakan foto tumpukan 70 kitab karya Abuya Sayyid Muhammad. Untuk membeli semuanya, silahkan hubungi Gus Nanal Ainal Fauz
Ketiga, jaringan para alumni. Hai’ah Asshafwah al-Malikiyyah, yang merupakan wadah para santri Abuya Sayyid Muhammad dan Sayyid Ahmad al-Maliki, menjadi simpul terpenting dalam penyebaran faham ahlussunah wal jamaah di dunia Islam, khususnya Indonesia. Buku-buku karya Abuya Sayyid Muhammad dikaji oleh para muridnya, dan disebarkan lagi oleh para muridnya. Pola semacam ini membentuk jejaring yang khas yang semakin menguat jika meluas. Coba dicek, di kota dan kabupaten di Jawa dan Madura, hampir bisa dipastikan ada salah satu santri Abuya Sayyid Muhammad yang mendirikan pondok di situ.
Keempat, relasi unik antara bapak dengan anak. Misalnya, KH. Ali Imron, Lamongan, dulu berguru kepada Abuya Sayyid Muhammad. Kemudian, putra Kiai Ali, yaitu Gus Alawy Aly Imron, juga berguru kepada Abuya Sayyid Muhammad meski beberapa bulan saja (karena ulama ahli hadits ini wafat), dan kemudian bersama adik-adiknya, yaitu Bang Miqo dan Gus Hasan Ali Imron beristifadah kepada Abuya Sayyid Ahmad bin Muhammad Alawi.
Contoh lain yang lebih spesial, KH. Maimoen Zubair berguru kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki. Putra Mbah Moen, yaitu KH. Najih Maimoen dan KH. Abdur Rouf, berguru kepada Sayyid Muhammad, putra Sayyid Alawi. Sedangkan putra bungsu Mbah Moen, yaitu Gus Idror, berguru kepada Sayyid Ahmad, putra Sayyid Muhammad. Komplit, betul! Mbah Moen masih menjumpai 3 generasi terbaik ulama Makkah, dan beristifadah dengan silsilah emas ini.
*
Selain keluarga Al-Maliki, ada juga keluarga al-Yamani yang diwakili oleh Syekh Ismail Zein al-Yamani, dan sekarang kiprahnya dilanjutkan oleh Syekh Muhammad, putranya. Di antara murid Syekh Ismail Zein al-Yamani yang produktif menulis kitab adalah KH. Thoifur Ali Wafa, Ambunten, Sumenep. Jaringan murid Syekh Ismail juga menyebar di Indonesia. Syekh Muhammad, putranya, juga sering berkunjung ke berbagai pesantren di tanah air.
Selain dua keluarga di atas, ada lagi keluarga ulama yang menjadi rujukan dan jujugan pelajar tanah air, khususnya sejak awal abad XX. Di antaranya keluarga Sayyid Muhammad Syatha’ Addimyathi. Syaikh Abdus-Syakur, salah seorang ulama asal Surabaya yang menurut Snouck Hurgronje punya reputasi keilmuan setara dengan Syekh Nawawi al-Bantani, menjadi menantunya. KH. M. Hasyim Asy’ari mengaji kitab al-Hikam Al-Athaiyah kepada Syekh Abdus-Syakur ini.
Adapun putra Sayyid Muhammad Syatha’, yaitu Sayyid Bakri Syatha, pengarang Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in yang sangat populer di kalangan pesantren di Nusantara, punya juru tulis keturunan Banjar. Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, inilah yang menurut sebagian pendapat menjadi sekretaris Sayyid Bakri Syatha’ manakala menulis masterpiecenya.
Demikian kuatnya ikatan emosional keluarga ini dengan jaringan pelajar Nusantara, ketika Syekh Mahfud Attarmasi wafat pada 1919, beliau dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Syatha’ Addimyathi ini. Keponakan Sayyid Bakri Syatha’, yaitu Sayyid Hamzah Syatha’, bahkan hijrah dan berdakwah di Sedan, Rembang, Jawa Tengah.
Selain al-Maliki, al-Yamani, dan Syatha’ Addimyathi, ada juga keluarga Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Syafi’iyah di Makkah di era 1860-an yang punya sejarah khusus dengan jaringan ulama Nusantara. Semoga di lain kesempatan bisa saya ulas.
Wallahu A’lam Bisshawab
Foto saat berziarah ke pusara Abuya Sayyid Muhammad, Jumat, 30 Jumadil Akhir 1444 H/12 Januari 2024.