https://www.sampoernauniversity.ac.id/wp-content/uploads/2022/03/portrait-smiling-confident-man-sunglasses_171337-9745.webp

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu melakukan interaksi dengan lainya. Ia juga kerap menciptakan ruang publik atau media untuk mengumpulkan banyak orang. Ruang tersebut menjadi media untuk bertukar pandangan melalui cerita-cerita yang disampaikan. Sekitar sepuluh tahun kebelakang tepatnya pada generasi millenial ruang publik ini diwujudkan dengan bentuk warung-warung kopi, angkringan dan café yang bisa menjadi titik kumpul untuk saling berbincang.

Perkumpulan yang terjadi pastinya akan menyita pandangan tersendiri, sebab setiap perkumpulan akan membawa kesan sosial tersendiri seperti gaya hidup, pakaian dan lain sebagainya. Sehingga akan selalu ada peluang untuk memamerkan pencapaian yang telah didapatkan selama ini.

Dengan berkembangnya zaman, budaya perkumpulan (ruang publik) mengalami kemajuan, keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor peralihan hal tersebut. Ruang interaksi manusia sebagai makhluk sosial berpindah ke media sosial seperti Instagram, Youtube, Facebook dan lain sebagainya.

Perkembangan zaman ke arah keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi tidak dapat dipungkiri akan memberikan kemudahan untuk mengakses segala hal. Kemajuan media sosial ini memiliki dua mata pisau yang berlawanan pertama ada kesan positif karena dapat membantu dan yang kedua dapat memberikan dampak negatif sehingga harus bijak dalam menggunakanya.

Media sosial menjadi pintu interaksi sosial yang dapat melibatkan orang banyak, bahkan orang yang tidak dikenal pun bisa menyaksikan interaksi tersebut. Sehingga informasi yang disebar dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Salah satu dampak negatife yang disebabkan oleh keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi adalah flexing atau tindakan pamer akan sesuatu yang dimiliki oleh seseorang.

Flexing dalam Islam

Istilah Flexing dikenal di kalangan anak muda setelah melihat dunia digital yang kian menampakan kesan negatifnya. Sebenarnya istilah ini sudah digunakan oleh anak muda di Amerika yang memiliki arti suka pamer. Secara definisi istilah tersebut dapat diartikan menyombongkan diri dengan cara menampakkan kelebihan yang dimiliki baik dari kekayaan materi, maupun non materi.

Baca Juga:  Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Dinasti Abbasiyah dan Kebijakan Khalifah Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid (1)

Flexing dalam Islam dikenal dengan riya’ atau pamer dengan kelebihan di bidang ibadah atau pencapaian lainya. Tindakan flexing ini kian menguat setelah adanya media sosial yang dengan mudah memberikan informasi tentang kekayaan dan pencapaiannya. Sehingga, dengan media sosial semua kegiatan yang dipamerkan seperti kegiatan ibadah, kekayaan dan lainya bisa terekspos dengan harapan mendapatkan respon berupa like dan komentar.

Selain itu flexing atau riya’ biasanya memiliki maksud untuk mencari kemasyhuran dan popularitas. Jauh sebelum beberapa  kasus flexing yang terjadi sekarang, Nabi Muhammad saw sudah memberikan peringatan yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami dalam kitab Sunanus Sufiyah dan ditulis juga dalam kitab Jami’ As-Shagir.

احذروا الشهرتين الصوف والخز

“Jauhilah oleh kalian dua pakaian kemasyhuran, wol dan sutra,”

Secara tekstual Nabi Muhammad saw sudah mewanti-wanti untuk menjauhi menggunakan sesuatu dalam hal ini pakaian yang dapat mengundang popularitas. Dua jenis diatas yaitu wol dan sutra adalah simbol dari kekayaan orang zaman dulu dan tidak dapat dipungkiri mereka yang menggunakanya akan merasakan bangga dan memamerkannya.

Mengutip pendapat Imam As-Syaukani yang juga dipaparkan dalam laman nu.or,id bahwa ia mengatakan:

ولا شك أن لبس ما فيه جمال زائد من الثياب يجذب بعض الطباع إلى الزهو والخيلاء والكبر

“Tidak dapat diragukan bahwa menggunakan pakaian bagus yang melebihi pakaian-pakaian lainya dapat menarik sebagian watak manusia pada kemegahan, keangkuhan, kesombongan dan kecongkakan,”

Pandangan Imam As-Syaukani ini adalah komentar dari hadis Nabi di atas. Secara tekstual hadis Nabi dan komentar Imam As-Syaukani menunjukkan larangan flexing menggunakan pakaian kemasyhuran untuk mendapatkan popularitas. Namun penjelasan ini sebenarnya bisa dikembangkan pada persoalan lainya seperti perihal ibadah.

Baca Juga:  Peringatan Satu Abad NU di London, Dakwah Islam Indonesia di Inggris Raya

Secara substansi larangan nya ada pada kemewahan yang menyebabkan kesombongan sehingga hal ini dapat dikembangkan ke ranah ibadah. Artinya semua hal apapun yang tujuannya adalah mencari kemasyhuran dan popularitas dapat  dikategorikan flexing dan dilarang oleh agama.

Sementara memiliki pakaian yang bagus dan semangat beribadah yang dimungkinkan dapat dilihat oleh orang banyak, tidak dihukumi makruh atau haram asalkan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat.

Flexing di Medsos, Perlukah?

Media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Banyak aktifitas masyarakat yang dibantu oleh media sosial seperti aplikasi komunikasi Whatsapp, Instagram, Facebook dan lainya, sehingga terdapat kemudahan untuk memberikan informasi tentang apapun kepada khalayak umum.

Tidak disadari setiap kita membuka gawai dan mengakses media sosial, seringkali diberikan akses dengan mudah untuk melihat aktivitas orang lain. Sebagai contoh saja kita sering melihat orang lain di lingkaran hidup kita sedang pamer pendapatan, kemewahan, dan terkadang persoalan ibadah. Memamerkan hal tersebut memang masuk dalam kebebasan berekspresi namun dapat memberikan dampak yang serius pada orang lain.

Oleh karena itu, tindakan tersebut apakah pantas kita lakukan untuk dinilai oleh orang lain dan mendapatkan pujian hingga popularitas. Jawabnya akan beragam dan relative karena masing-masing dari kita memiliki dalih tersendiri, oleh Karena itu, hal ini dapat dikembalikan pada niat masing-masing. Apabila yang dilakukan itu memiliki dampak yang baik dan tidak akan mengganggu orang lain maka sah-sah saja namun apabila dirasa kurang baik dan tidak pantas dilakukan karena dapat menyebabkan hal yang fatal maka jangan dilakukan.

Dr. KH. Rofiq Mahfudz, M.Si
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rois Cendekia Kota Semarang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini