Agama Islam datang sebagai agama ilmu dan rasionalitas. Tidak satupun perintah agama yang tidak mensyaratkan keterlibatan akal. Bahkan, salat sekalipun hanya wajib bagi yang berakal, bagi pribadi yang mendayagunakan mekanisme intelektual. Di sisi lain, Islam agama cinta kasih dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, perilaku dehumanistik yang menghina akal sehat dan kemanusiaan jelas tidak islami dan tentunya inkonstitusional. Apa sebab? Salah satu tujuan agama dan negara adalah menjaga akal (hifzhul ‘aql) dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tak sedikit saudara kita yang memuja dan mengkultuskan keluarga dan keturunan Nabi secara serampangan dan berlebihan, sampai-sampai, membenarkan semua perkataan dan tindakan mereka yang melanggar hukum, arogan, provokatif, menista kelompok lain, melakukan persekusi, menghina agama lain dan bahkan mengancam persatuan dan keutuhan NKRI.

Benar, wajib bagi setiap muslim menghormati dan memuliakan keluarga-keturunan Nabi Saw. Namun perlu dicatat bahwa keturuan (dzurriyah) Rasul tidak terbebas dari dosa alias ma’shum. Mereka bisa saja salah, khilaf dan bermaksiat sebagaimana manusia pada umumnya. Bahkan, sangat berjibun orang-orang ngaku habib. Karena gelar habib memang bisa diperjual-belikan oleh oknum pengeruk dollar. Well, sikap kita bagaimana, Kak? Tetap kita hormati dan kita muliakan mereka, yang baik kita ikuti, yang salah kita ingatkan dengan santun dan pekerti mulia, yang melanggar hukum urusan polisi, tanpa harus mencaci dan terprovokasi, titik! Indonesia negara hukum, tidak boleh ada yang kebal hukum dan bebas mencaci, apalagi demi kepentingan politik elektoral. Ingat, kalau ada orang gila dan berprilaku menyimpang, tugas kita mula-mula tidak menjadi seperti mereka.

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, banyak sekali para wali, ulama, raja, kiai, pahlawan, pejuang dan penganjur kesalehan yang merupakan keturunan Nabi, hanya saja istilah “habib” belum populer dan maaf belum punya trade mark kala itu, lagi pula untuk apa membangga-banggakan asal-usul jika yang dibutuhkan umat adalah pendidikan dan keteladanan? Pendek kata, banyak warga keturunan Arab yang justru ingin menjadi Indonesia karena telah berdakwah dan berjuang untuk Indonesia. Yang aneh adalah sebagian saudara kita Indonesia yang malah keranjingan ingin menjadi Arab.

Aneh saja, jika di depan hidung kita malah banyak saudara kita sendiri yang ingin menjadi Arab dan Eropa dengan cara mencaci keindonesiaan mereka sendiri. Padahal, dengan belajar di Belanda, Bung Hatta tidak menjadi Barat dan dengan belajar di Arab KH. Hasyim Asy’ari tidak menjadi Arab, mereka tetap bangga menjadi Indonesia.

Adalah sesuatu yang wajar apabila setiap orang membangggkan golongan, suku dan asal-usul rasnya (QS. Ar-Rum: 32). Namun demikian, begitu Islam datang, dihapuslah kesukuan dan diganti dengan kesetaraan. Kemuliaan itu karena ketaqwaan, bukan karena latar belakang etnis. (QS. Al-Hujurat: 13), sehingga panggilan rasis, misalnya, kepada sayyidina Salman al-Farisi ra, diganti Salman Alu Muhammadi ra (Salman keluarga Muhammad). Mengapa?

Panggilan “al-Farisi” atau orang Persia sangat rasis, seolah-olah mengatakan bahwa Salman ra adalah panganut agama Majusi atau Zoroaster, agama resmi bangsa Persia kala itu. Sehingga, Nabi Muhammad Saw pasang badan membelanya, “mulai sekarang jangan panggil Salman Persia, tapi panggil dia Salman keluarga Muhammad.”

Walhasil, sejak saat saat itu tak ada lagi yang melecehkan sayyidina Bilal, seorang budak hitam, juga sayyidina Ikrimah, putera Abu Jahal, juga sayyidah Durrah, puteri Abu Lahab, meski dua anak Abu Lahab, yakni Utbah dan Utaibah menceraikan dua puteri Nabi. Contoh lain adalah Umar bin Khatthab dari suku ‘Adi, Nabi Muhammad memanggilnya dengan sebutan terhormat Al-Faruq (Sang Pembeda baik-buruk, benar-salah). Tak tanggung-tanggung, beliau juga menikahi perempuan Yahudi bernama sayyidah Shafiyah binti Huyay.

Nyaris satu setengah milenium kemudian di Indonesia, yang konon penganut Islam terbesar, justru karena perbedaan pilihan dan sikap politik, terhadap sesama muslim malah memanggil dengan sebutan yang sangat rasis dan nista, misal: China, kutil babi, kampret, kadal gurun, bani onta, dll. Ini jelas dilarang oleh agama dan tak pantas secara budaya.

Bukankah kanjeng Nabi pernah mengingatkan bahwa setiap orang bertaqwa adalah keluarga Nabi? (HR. At-Thabrani: 3.332, HR. Al-Bayhaqi: 2/152, Fathul Bari: 11/165). Pendek kata, ukuran kemuliaan seseorang bukan lagi garis keturunan, suku, pangkat, jabatan dan gelimang harta, tapi ketakwaan kepada Allah SWT. Saya, Anda, dan siapapun saja yang memenuhi kualifikasi “taqwa”, menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama, otomatis keluarga Nabi. Bahkan, jika mampu menjalankan nilai-nilai Al-Qur’an, kita semua auto-keluarga Allah SWT, wow!

[dari buku Nabi Muhammad bukan Orang Arab] (IZ)

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka