Dalam khasanah intelektual pesantren, santri merupakan pioner peradaban literasi. Ketika seorang menjadi santri, maka saat itulah petualangan literasinya dimulai. Sosok santri identik dengan seorang pembelajar (learner).

Zamakhsyari Dhofier memaknai santri sebagai orang yang mendalami ilmu agama, atau orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci. Sementara antropolog Amerika, Clifford Geertz menyebut bahwa kata santri berakar dari bahasa Sansekerta “shastri”, yang berarti ilmuwan yang pandai menulis.

Menyebut santri sebagai pioner peradaban literasi tidaklah berlebihan, minimal jika ditilik dari kronika sejarah perkembangan tradisi keilmuan di nusantara. Santri adalah bagian penting dari eksistensi pesantren. Jauh sebelum sistem pendidikan modern atau sekolah-sekolah berdiri di nusantara pada jaman kolonial, pesantren dan sistem pengajarannya telah lebih dulu eksis beberapa abad sebelumnya.

Jika sejarah sekolah baru muncul pada awal abad 19, maka pesantren dan tradisi keilmuannya telah muncul sejak abad 16. Menurut catatan Gus Dur, silabus pengembangan kurikulum pendidikan pesantren bahkan sudah dirancang sekitar 500 tahun silam oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti dalam kitab Itmamul Dirayah. Jika sekolah muncul sebagai politik balas budi (politik etis) pihak kolonial terhadap rakyat akibat derita penjajahan, maka pesantren sejak awal kelahirannya telah menegaskan posisinya sebagai lembaga pendidikan dan suluh bagi masyarakat.

Ahmad Baso (2012) pegiat dan peneliti sejarah Islam nusantara melaporkan temuan yang sangat menarik dalam buku Pesantren Studies, bahwa sejak abad 16, tradisi literasi sudah sangat berkembang di nusantara. Jejak awal itu ditemukan di Banten, berupa gerakan wakaf kitab pesantren yang diprakarsai oleh Sultan Banten Maulana Muhammad. Kitab yang terkumpul tidak hanya terbatas pada kitab-kitab agama sebagai basis keilmuan pesantren saja, tetapi juga kitab-kitab yang terkait dengan ilmu hukum, ekonomi, politik, hinga kesusasteraan.

Baca Juga:  Arti Kepahlawanan bagi Seorang Santri

Di sisi lain, koleksi kitab yang dimiliki tersebut tidak hanya berbahasa Arab, tetapi juga berbahasa Persia, Melayu, Jawa, Sunda, juga Madura. Dari beberapa ragam bahasa tulis tersebut memberi arti bahwa tradisi ilmu pengetahuan juga sudah merambah daerah lain di nusantara. Maka tak mengherankan jika pada masa itu posisi strategis Banten sebagai kota maritim dan perdagangan makin gemilang karena ditunjang oleh peradaban literasi.

Tradisi keilmuan pesantren memotret bahwa kitab bukan sekedar obyek pengetahuan belaka, apalagi sebatas benda mati. Kitab merupakan suatu subyek yang terus-menerus dihidupkan sehingga dapat menghidupkan. Melalui literasi, kitab tidak hanya dikaji dan dipelajari, tetapi juga didialogkan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Melalui literasi, terbentuk jejaring pengetahuan yang terbentang luas di seluruh penjuru nusantara. Dari proses yang terus menerus ini, tradisi keilmuan pesantren terus tumbuh dan berkembang hingga pesantren menjelma menjadi pusat peradaban intelektual Islam pada masa lampau dan tetap bertahan hingga sekarang, meskipun sempat mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarahnya.

Literasi Pesantren di Era Digital

Pesantren merupakan salah satu benteng peradaban literasi umat Islam, bahkan mungkin tinggal satu-satunya di tengah gempuran peradaban literasi digital yang cenderung disruptif. Jejak literasi para ulama dalam menopang peradaban Islam di nusantara adalah fakta sejarah yang tak mungkin dielakkan. Tradisi keilmuan pesantren cukup unik dan berbeda dengan tradisi berpikir barat. Pesantren memiliki struktur metodologi berpikir yang rumit dan kompleks, tetapi mampu disajikan oleh para kiai-kiai pesantren dengan sangat sederhana dan dapat dinikmati oleh semua lapisan.

Hal ini dibuktikan dengan peninggalan karya tulis para ulama pendahulu dalam bentuk kitab-kitab klasik yang masih dapat kita nikmati hingga sekarang, sekaligus menjadi bukti kecemerlangan para ulama dalam meneroka masa depan. Mengingat karya-karya tersebut masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi kekinian. Inilah modal besar yang dimiliki kalangan santri untuk mengarungi peradaban.

Baca Juga:  Syekh Yusuf al-Maqassari: Ulama Nusantara Par Excellence

Di era digital ini, kanal informasi terbuka semakin lebar, berbagai informasi mengalir deras tidak terbendung membanjiri ruang publik kita. Sayangnya, arus informasi tersebut juga disertai oleh sampah berupa berita bohong (hoax), fitnah, dan narasi kebencian yang mencemari pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat.

Di media sosial, hierarki keilmuan dianggap tidak penting, kepakaran seseorang tidak dihargai, semua orang merasa dirinya layak menjadi pakar, mengomentari segala hal meskipun untuk sesuatu yang sama sekali tidak diketahuinya, terlebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu agama. Akibatnya, masyarakat semakin terombang-ambing oleh gelombang informasi yang serba sumir, saling berdebat kusir tanpa pencerahan, sehingga bermuara pada terciptanya kesenjangan sosial dan perpecahan.

Di sinilah peran santri menemukan relevansinya. Santri memiliki modal dasar (literasi) yang cukup memadai untuk mewarnai dunia digital, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Di era milenial ini, santri tidak lagi identik dengan kaum sarungan yang ndeso dan lugu. Santri yang menapaki karir sebagai profesional tak terhitung jumlahnya, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga sebagai diaspora di berbagai belahan dunia. Mereka menjadi akademisi, peneliti, dokter, astronom, produser film, ahli hukum, dan profesi mentereng lainnya, uniknya tanpa harus kehilangan identitas kesantriannya. Artinya, mereka juga memiliki penguasaan ilmu agama yang cukup memadai.

Dalam istilah Ahmad Baso, santri harus melakukan writing back, menulis kembali tentang pesantren, tokoh-tokoh pesantren, tradisi keilmuan pesantren, yang dikemas dalam bingkai modernitas, untuk mengenalkannya kepada publik, memberikan pencerahan kepada masyarakat luas. Kemampuan santri dalam membaca sumber-sumber khasanah Islam harus diikuti juga oleh kemampuan menulis. Sebab pembaca yang baik baik belum tentu penulis yang baik, namun penulis yang baik pasti seorang pembaca yang baik. Sudah saatnya santri aktif menulis dan mengisi konten-konten positif di media sosial, facebook, instagram, twitter, youtube, dan kanal informasi lainnya.

Baca Juga:  Santri Pejuang

Peringatan hari santri nasional merupakan momentum kebangkitan literasi. Jika santri menghidupkan tradisi literasi, khazanah keilmuan pesantren akan terjaga dan akan menjadi warisan berharga bagi generasi berikutnya. Maka hidupnya tradisi literasi pesantren akan menjadi penjaga eksistensi pesantren sekaligus mempercepat terwujudnya kembali kejayaan peradaban Islam di masa depan. Selamat Hari Santri, Santri Unggul Indonesia Makmur. Wallahu a’lam bis shawab.

Muhammad Makhdum
Alumni Magister Pendidikan Sains Universitas Negeri Malang, Pengurus PC LTN NU Kabupaten Tuban dan Ahlul Ma'had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.

Rekomendasi

3 Comments

  1. Selamat hari santri pak makhdum. . .
    Santi unggul indonesia makmur.

  2. Sami-sami, selamat hari santri. Saya santri, tak berani poligami, hehe…

Tinggalkan Komentar

More in Santri