Nama Ibn Taimiyyah tidak dapat dipisahkan dari gerakan reformasi Islam. Di kalangan Islam, nama Ibn Taimiyyah terkenal sebagai bapak reformasi, berkat upayanya membersihkan Islam dari daki-daki sejarah yang melekat pada ajarannya. Fokus kajian Ibn Taimiyyah tertuju pada penjelasan noda sejarah terhadap Islam. Namun dalam menerangkan adanya infiltrasi doktrin asing, ajaran Kristen yang dinyatakan sebagai salah satunya juga termasuk didiskusikan. Bagi Ibn Taimiyyah, dalam rangka mengembalikan kejayaan Islam, umat Islam harus kembali ke sumber otentik, al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam debut intelektualnya, tokoh yang satu ini berhadapan secara polemis dengan banyak kelompok, termasuk dalam lingkungan Islam sendiri. Ulama-ulama hukum, teologi, para politisi, apalagi ulama Tasawuf tidak terlepas dari kritikan penanya yang tajam. Karena pendekatannya yang oleh sementara pihak dinilai keras, menyebabkan ia berulang kali masuk penjara, bahkan akhir hayatnya pun dilaluinya di penjara. Namun demikian, keteguhan pendiriannya tidak pernah memudar.
Mungkin karena Ibn Taimiyyah menyaksikan sendiri invasi Mongol ke dunia Islam yang memporak-porandakan peradaban, ia menjadi sangat peka terhadap infiltrasi dan inovasi yang menggerogoti kemurnian Islam. Dari sekian banyak infiltrasi budaya asing yang menodai Islam, ajaran Kristen termasuk di dalamnya. Ibn Taimiyyah tergolong penulis yang produktif. Ia telah menulis sedikitnya enam buku dan risalah menyangkut Kristen.
Salah satu di antaranya yang sangat komprehensif berjudul Al-Jawab al-Sahih Li-man Baddala Din Al-Masih (Tanggapan yang Benar Terhadap Mereka yang Mengubah Agama Al-Masih). Buku ini, pada dasarnya berisi tanggapan terhadap sebuah surat yang ditulis oleh Uskup Saida, Paul of Antioch, yang ditujukan kepada umat Islam di daerahnya.
Syahdan, tujuan utama Ibn Taimiyyah menulis buku tersebut tidak lain untuk membuka mata umat Islam terhadap bukti konkret penyimpangan ajaran yang terjadi pada suatu agama yang menyesatkan penganutnya. Perubahan yang dilakukan penganut Kristen terhadap ajaran otentik Isa as telah mengantar mereka menjadi jauh dari kebenaran. Untuk itu, lanjut Ibn Taimiyyah, umat Islam harus belajar dari pengalam pahit tersebut agar terhindar dari kesesatan yang sama.
Ibnu Taimiyyah kemudian memperinci satu persatu aliran-aliran dalam Islam yang mulai menunjukkan penyimpangan-penyimpangan. Sasaran kritik Ibn Taimiyyah yang disebut dalam buku ini, selain pemeluk agama Kristen, terdiri atas kelompok Muslim yang menganut aliran wahdah al-wujud (panteisme aliran filsafat Aristoteles, Neoplatonisme, dan ishraqi (iluminasionisme), aliran tasawuf ekstrem yang tidak berpijak pada Syari’ah, aliran teologi spekulatif, dan paham Syiah.
Sebagaimana halnya terhadap kelompok-kelompok lain terhadap penganut Kristen pun kritikan Ibn Taimiyyah sangat tajam. Dalam ukuran masa kini, di mana pluralisme agama menjadi kecenderungan, Ibn Taimiyyah menunjukkan sikap yang bertolak belakang. Untuk memelihara kemurnian Islam dari kontaminasi ajaran luar, Ibn Taimiyyah mengajukan usulan yang cukup drastis.
Ia mengusulkan, antara lain, agar pemeluk agama Yahudi dan Kristen ditempatkan di kawasan tertentu khusus terhadap Kristen, ia memfatwakan larangan umat Islam untuk berpartisipasi dalam perayaan mereka. Ia bahkan lebih jauh melarang penjualan bahan-bahan yang digunakan juga untuk keperluan perayaan-perayaan tersebut. Ibnu Taimiyyah juga memfatwakan untuk membumihanguskan Gereja-Gereja di Cairo yang didirikan tanpa seizin penguasa.
Bukan hanya itu, Ibn Taimiyyah bahkan mempertanyakan keabsahan Hadits Nabi yang populer itu: “Barang mengganggu seorang zimmi (pemeluk Yahudi dan Kristen) seakan telah mengganggu aku”. Selanjutnya ketentuan yang membebaskan para pemuka agama Kristen dari kewajiban membayar jizyah, juga ia usulkan pembatalannya.
Namun, fatwa dan pendapat yang keras ini dapat dimengerti apabila kita menelusuri konteks sejarah semasa Ibnu Taimiyyah hidup. Bukan saja invasi Mongol, tapi juga serangan Kristen Barat terhadap dunia Islam yang beruntun melalui perang suci Krusada, rupanya telah membentuk karakter dan tempramennya. Latar belakang tersebut dapat terdeteksi dari karya-karya Ibnu Taimiyyah lainnya seputar hubungan Kristen-Islam.
Kristen-Islam Abad ke-20
Sebagaimana telah disinggung di atas, kecenderungan bersikap positif terhadap Islam oleh dunia Kristen mulai tampak pada pertengahan abad ke-19. Diantara maraknya kecenderungan suara negatif Kristen terhadap Islam, muncullah sedikit cendekiawan Kristen yang berusaha melepaskan diri dari belenggu sikap yang bersifat subjektif dan prejudis. Pada abad ke-19 dunia Kristen dikagetkan oleh ungkapan yang dilontarkan Carlyle bahwa Nabi Muhammad adalah “hero of humanity” (pahlawan kemanusiaan).
Bagaikan bola yang dilempar, pernyataan ini ternyata terus menggelinding dan menemukan tempatnya pada abad ke-20. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap pergeseran kecenderungan sikap dan pandangan masyarakat Kristen terhadap Islam. Satu hal yang perlu diingat dan disadari bahwa sejarah permusuhan telah berlangsung berabad-abad, yang tentu saja tidak dapat dihapus atau dibalikkan hanya dalam waktu satu abad saja.
Terdapat sekelompok cendekiawan Kristen yang mulai memberikan pengakuan terhadap besarnya peran al-Qur’an dalam pembentukan moral spiritual komunitas Islam. Mereka mengamati betapa umat Islam, dengan bimbingan al-Qur’an, berhasil melakukan transformasi ke arah yang positif. Dengan alasan demikian, para cendekiawan tersebut cenderung memberikan status kesucian terhadap kitab suci umat Islam. Namun bagi mereka, al-Qur’an tidak menunjukkan signifikansi yang sama pada umat Kristen.
Kendati pendekatan ini dapat dikatakan sebagai ciri utama sekelompok cendekiawan Kristen abad ke-20, dalam kenyatannya dapat dijumpai pendekatan serupa dari satu-dua pemuka Kristen masa lalu, terutama yang hidup dalam lingkungan penguasa Islam. Para cendekiawan Kristen, yang dikenal beraliran orientalis, meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda, telah berupaya membersihkan noda yang dengan sengaja dilekatkan pada ajaran Islam dan Nabi Muhammad. Wallahu a’lam bisshawab. []