Hari ahad kemarin telah diresmikan MTS Futuhiyah Kwagean, sebuah lembaga formal baru yang menjadi jenjang selanjutnya dari MI Futuhiyah. Alhamdulillah, setelah proses panjang pewacanaan, kemudian perencanaan dan berujung pada pengusahaan setahun belakangan ini, akhirnya semua bisa terwujudkan.
MTS ini adalah salah satu wujud pelaksanaan visi bapak yang telah beliau utarakan puluhan tahun yang lalu, kepada para pengurus juga kepada anak-anaknya. Bahwa nanti pada saatnya, Kwagean akan berkembang dan membutuhkan beberapa lembaga formal. Mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Meskipun butuh waktu yang cukup lama setelah ada TK dan MI, tapi perwujudan MTS ini adalah bukti bahwa yayasan ini masih akan terus hidup dan berkembang.
Lamanya waktu yang dibutuhkan bagi langkah maju perwujudan madrasah formal ini bukan murni karena kelalaian pengurus ataupun kekurang fahaman kami akan visi bapak, namun karena memang keterbatasan sumber daya didalam pesantren Fathul Ulum. Disamping juga yang paling utama, karena sifat kehati-hatian bapak dan juga banyaknya garis filosofi yang tidak boleh dilewati dalam melangkah. Ketika bapak punya visi, dan banyak yang mendukung untuk segera mewujudkannya, maka bapak pasti akan belajar dulu pada banyak orang, kemudian mendiskusikannya dengan para pengurus dan kami anak-anaknya. Bapak akan dengan sabar menanti kami benar-benar siap.
Dan kesiapan kami inilah yang seringkali membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Dalam hal ini, saya masih harus belajar banyak dari beliau. Bagaimana bersikap mantap dan bersabar penuh pada setiap prosesnya. Tidak perlu memaksakan, tidak boleh memalsukan, dan juga tidak harus membebankan.
Disetiap obrolan santai tentang perkembangan lembaga di Kwagean, bapak seringkali memesankan garis filosofi yang beliau harapkan untuk tidak dilewati. Dan salah satu yang beliau pesankan adalah: “sesok lek ancen wes siap enek sekolah formal, ben gawe sekolah anyar ae. Utowo pondok seng model-model anyar yo gawe pondok neh anyar. Sekolah madrasah diniyah seng wes mlaku, seng salaf iki ben ngene ojo diowah-owah sisteme. Pondok e seng induk, pondok salaf iki yo podo ben ngene ae, gak usah diganti-ganti karo sistem anyar (nanti pada saatnya bila sudah siap ada sekolah formal, ya biar bikin sekolah yang baru saja khusus formal. Atau mungkin butuh pondok yang bersistem baru, ya bikin pondok baru lagi saja. Sekolah madrasah diniyah yang sudah berjalan ini, yang salaf murni, jangan diubah sistemnya. Pun dengan pondok yang induk, yang murni salaf ini juga sama. Jangan sampai diganti dengan sistem baru. Dijaga tetap salaf murni seperti ini)”.
Pesan yang bapak sampaikan ini mungkin akan disalahfahami oleh orang yang tak faham dengan kekolotan. Namun bagi saya pribadi, ini adalah wujud ijtihad bapak dalam mengamalkan dawuh: ”almuhafadzatu ala qadiimis sholih, wal akhdzu biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik)”. Bapak menyadari bahwa setiap zaman akan mempunyai kebutuhannya sendiri, namun beliau juga yakin bahwa apa yang sudah berjalan baik tidak perlu dihapuskan. Harus dijaga hingga sudah tidak sanggup lagi.
Mengambil sesuatu yang baru, tidak harus mengorbankan yang lama.
Sebagaimana dalam sebuah usaha, bila kita punya suatu usaha yang menjadi sumber penghasilan kita sehari-hari, namun kemudian usaha tersebut perlahan meredup dan turun drastis hasilnya. Menurut bapak, usaha yang awal ini tidak boleh ditutup atau dihentikan. Selama masih meneteskan rezeki, lebih baik usaha ini tetap dijaga keberlangsungannya. Bila memang ingin usaha baru, ya silahkan. Namun tidak perlu kemudian membuang usaha yang lama.
Karena memang kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Sedangkan usaha atau sistem lama sudah membuktikan manfaatnya, dan masih ada hingga saat ini. Inilah hakikat penjagaan.
Pesan lain yang beliau sampaikan kepada saya pribadi adalah tentang kebarokahan pondok. Beliau selalu menceritakan bagaimana seharusnya sabar membangun, sabar menemani proses santri, dan juga bagaimana ikhlas mengajar.
Tentang sabar membangun infrastruktur pondok, bapak pernah berpesan kepada saya: “lek bangun gak usah ngoyo, mlaku o sesuai karo kemampuan. Lan gak usah mekso cepet dadi, sak tutuke ae. Lek entek danane, yo mandek. Sok lek enek dana mlaku maneh (kalau membangun bangunan tidak usah memaksakan diri, berjalanlah sesuai dengan kemampuan. Dan juga jangan memaksa untuk cepat jadi, sesampainya saja. Kalau memang dananya habis, berhenti dulu sementara. Nanti kalau ada dana lagi, dilanjutkan perlahan-lahan)”. Kesabaran dalam membangun ini adalah hal yang lumayan sulit. Karena sifat dasar kita pengen bangunan megah, dan cepat jadi. Otomatis ambisi ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Namun ambisi tersebut akan menjadi masalah ketika pondok kita adalah pondok baru yang masih merintis. Maka kemudian meminta bantuan orang lain adalah jalan pintas yang ditempuh. Sedangkan bapak saya juga berpesan kepada saya pribadi: “ojo njalok, tapi lek dikeki tampani (jangan meminta, tapi kalau diberi jangan menolak)”.
Pesan untuk tidak meminta-minta ini, berlaku juga untuk tidak mengajukan proposal kepada pemerintah ataupun proposal kepada pihak lain. “ben pondoke barokah (agar pondoknya barokah)”, begitulah alasan sederhana beliau untuk tidak setuju proposal-proposal ini.
Meskipun masih banyak sekali pesan-pesan lain dari beliau, namun tidak pernah sekalipun beliau berpesan tentang menuntut hasil. Beliau tidak pernah meminta pengurus madrasah untuk meluluskan murid yang bisa baca kitab gundul ataupun santri yang menjuarai lomba hafalan alfiyah. Karena bapak yang saya kenal adalah seseorang yang selalu sabar menjaga kebaikan proses. Bukan sosok yang menuntut hasil dan tidak peduli jalannya.
Kualitas inilah yang saya serap dan copy paste di Assalam. Meskipun masih jauh panggang dari api. Tapi saya tidak akan pernah berhenti belajar dan meresapi.
Semoga kita selalu menjadi pribadi yang berfikiran terbuka, namun kokoh dalam menjaga. []
#salamKWAGEAN